Mohon tunggu...
asri sidaryanti
asri sidaryanti Mohon Tunggu... Dosen

Hobi menonton film

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Mendongeng" Kembalinya Filsafat Klasik untuk Manusia Modern

13 Oktober 2025   17:24 Diperbarui: 13 Oktober 2025   17:24 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia modern sering kehilangan sesuatu yang paling penting, yaitu keheningan berpikir dan makna hidup, di tengah hiruk pikuk notifikasi, algoritma, dan kecerdasan buatan. Kita berlari mengejar efisiensi konektivitas dan kesuksesan, tetapi kerap lupa menanyakan pertanyaan paling klasik dari para filsuf Yunani: "Siapa aku?" dan "Untuk apa aku hidup?" Di sinilah mendongeng seni kuno yang sarat nilai bisa menjadi pintu kembalinya filsafat klasik dalam jiwa manusia modern.

Plato menganggap mendongeng lebih dari sekedar hiburan. Ia menggunakan mitos dan alegori, seperti "Mitos Gua," untuk menjelaskan kebenaran tentang realitas dan pengetahuan. Cerita membantu manusia memahami konsep abstrak. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon logon echon, berbahasa, dan berpikir melalui kata dan cerita. Kini, ribuan tahun kemudian bentuk mendongeng berevolusi menjadi podcast, film, webtoon, dan digital storytelling. Tetapi esensinya sama yaitu manusia masih mencari makna melalui cerita. Hanya saja di era media sosial kisah sering kali kehilangan kedalaman digantikan oleh konten cepat dan citra palsu. Inilah yang membuat refleksi filsafat klasik penting dihidupkan kembali agar manusia tak kehilangan keutuhan dirinya di tengah kecepatan dunia digital.

Manusia sebagai homo complexus yang multidimensi tidak bisa dipahami hanya dari aspek rasional atau ekonomi saja. Manusia adalah makhluk biologis, psikis, sosial, kultural, sekaligus spiritual. Dalam diri kita hidup kontradiksi rasional dan irasional, egois dan altruistik, tradisional dan modern. Namun manusia modern cenderung mereduksi dirinya. Identitas sering disederhanakan menjadi profil, angka pengikut, atau jumlah suka di dunia digital. Namun Morin mengingatkan bahwa kompleksitas adalah ciri khas manusia. Dengan ajaran tentang keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan etika, filsafat klasik mengajarkan kita untuk hidup dengan bijak dan juga reflektif.

Kisah klasik seperti Iliad, Odyssey, atau dongeng rakyat nusantara bukan sekedar hiburan untuk anak-anak tidur. Ia berfungsi sebagai alat untuk memberikan pelajaran moral, sosial, dan spiritual. Dalam perspektif antropologi pendidikan, enkulturasi pertukaran nilai dan kebijaksanaan melalui budaya adalah proses yang dikenal sebagai pendidikan sejati. Dengan demikian mendongeng sebenarnya adalah bentuk praksis filsafat. Ia mengajarkan etika, keutamaan, dan makna hidup tanpa menggurui. Di tengah dunia yang semakin mekanistik, mendongeng menumbuhkan paideia pendidikan jiwa yang pernah menjadi cita-cita Yunani kuno. Bayangkan seorang ibu menceritakan kisah tentang kancil yang cerdik, atau seorang guru yang menceritakan tentang bagaimana Socrates meneguk racun demi kebenaran. Nilai-nilai tentang keberanian, kebijaksanaan, dan refleksi moral ditanamkan dalam cerita-cerita ini. Nilai-nilai ini sebanding dengan apa yang diajarkan Aristoteles dalam Ethica Nicomachea. 

Teknologi memberi kita kecepatan, tetapi sering mencuri kedalaman. Dunia digital membentuk manusia baru yang multitugas namun mudah lelah, terkoneksi namun kesepian. Sherry Turkle menyebut fenomena ini sebagai alone together bersama di ruang maya, tetapi terasing di ruang batin. Di sinilah filsafat klasik menemukan relevansinya. Socrates mengajarkan gnothi seauton kenalilah dirimu. Stoisisme mengingatkan untuk hidup sesuai alam dan menerima hal-hal di luar kendali. Morin menegaskan bahwa manusia perlu berpikir kompleks, bukan linier. Semua ini adalah bentuk perlawanan terhadap reduksionisme digital yang menilai manusia hanya dari data dan algoritma. Mendongeng bisa menjadi ritual baru untuk menghidupkan kebijaksanaan itu. Setiap kali kita mendengar kisah, otak manusia bekerja bukan hanya secara logis tetapi juga emosional dan empatik. Cerita memulihkan keseimbangan antara akal dan rasa, antara logos dan pathos dua aspek utama dalam filsafat klasik. 

Lawrence Saha seorang sosiolog menyatakan bahwa sekolah adalah tempat untuk membangun nilai sosial dan kemanusiaan dan bukan hanya tempat untuk mentransfer pengetahuan. Namun aspek reflektif dan moral sering terpinggirkan oleh orientasi akademik dan ujian. Mengembalikan tradisi mendongeng berarti mengembalikan dimensi humanistik dalam pendidikan. Anak-anak perlu belajar berpikir filosofis melalui cerita, bukan hanya menghafal rumus. Mereka perlu memahami bahwa kehidupan bukan sekedar kompetisi tetapi juga refleksi dan relasi.

Kita tak perlu menjadi Plato untuk menjadi filsuf. Menurut filsuf klasik, kebijaksanaan dimulai dengan bertanya, mendengarkan, dan merenung. Baik orang yang bercerita maupun orang yang mendengar memiliki kesempatan untuk melakukannya. Mungkin inilah yang dimaksud Morin ketika dia menyebut manusia sebagai homo complexus, makhluk yang tidak hanya berpikir dan bekerja tetapi juga berimajinasi, berempati, dan mencari makna. Mendongeng adalah upaya untuk mengembalikan keseimbangan diri manusia yang mulai kehilangan arah.

Manusia modern hidup dalam paradoks semakin terkoneksi semakin kesepian, semakin pintar, semakin gelisah. Dalam situasi seperti ini dongeng seperti filsafat klasik menawarkan jalan pulang. Ia mendorong kita untuk kembali ke sifat manusia kita bukan sekedar pengguna teknologi. Mendongeng bukan tentang masa lalu sebaliknya, mereka berbicara tentang masa depan yang lebih cerdas. Filsafat juga menemukan cara baru untuk hidup bersama dengan kembalinya cerita ke ruang digital kita. Menurut Plato, "Manusia tidak belajar dari angka dan rumus, tetapi dari cerita yang mengubah jiwanya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun