Mohon tunggu...
Asra Sinta
Asra Sinta Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca dan penulis yang sedang belajar

Satu gagasan yang kubaca menambah satu temanku, satu gagasan yang kutulis menambah sejam usiaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terima Kasih Kenangan

9 Agustus 2020   23:25 Diperbarui: 9 Agustus 2020   23:25 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

‘ kenapa nggak bilang kamu ada disini, ini kesibukan kamu mulai membohongi aku dengan sejuta kesibukan yang semu?’

 Tanya Vino di suatu taman yang biasa kami kunjungi. Aku tidak tahu bagaimana ia tahu aku ada ditaman itu, padahal semua jaringan telepon dan sosmedku sedang ku nonaktifkan dalam waktu tiga hari, aku benar benar hilang dari peredaran, aku tidak main dengan temen tongkronganku, dan tak juga mengambil kelas belajar atau mengajar, seminggu ini juga aku tak mengunjungi rumah sepupuku tempat ku berlibur dikala senggang dari waktu kuliah kerja dan pacaran, aku mulai tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku terbawa bawa dalam roh yang tak menentu aku hanya mengikuti alur kakiku. Otakku sudah tidak sinkron bahkan bisa dikatakan sudah lumpuh untuk berpikir, sehingga tidak ada perbantahan antara hati dan otak. Rasanya kami tidak ada janjian ketemuan disana, aku juga sedang tidak merindukan momen dengannya, tanganku sibuk dengan pencil dan kertas putih sejak tadi aku hanya mengorat arit kertas itu.

Vino memegang tanganku mencoba menyelaraskan pandangan kami, aku tersenyum riang seolah mengejek dunia. Dia mencubit pipiku dengan halus dan tersenyum dalam kepahitan.

‘ sa aku kangen tawa riuhmu seperti ini. Kamu kenapa ,ceritain ke aku masalahnya apa kenapa kamu jadi berubah nggak jelas seperti ini? Apa kabar kuliah kamu, pekerjaan mu, teman temanmu, adakah sesuatu yang nggak baik? Apa kamu butuh sesuatu,uang atau apa, ayo ngomong.’

Air mataku mulai tak terkontrol, lebih gila dari banjir bandang menumpas semua bendungan. Ternyata aku tidak sekuat yang kuperkirakan, aku rapuh hatiku lemah, aku butuh tangan, aku menundukkan wajahku di depannya, aku tak berani menembus matanya yang sudah menginterogasiku, kebohonagan apa lagi yang akan aku beritakan. Dia mendekapku, sedikit embun menyusup ke otakku, tubuhku terasa ringan, hatiku lega. Aku memeluknya, hatiku bersorak riang ini tempatku ini tahtaku, dengan bangganya hati bilang disini aku berkuasa, ini milik pusakaku. Isakan dan jeritan kecil keluar dari bibirku. Bayangan wajah ibuku yang sedang bermain di bawah terik matahari di ujung barat indonesia untuk sesuap nasi menghampiri bilang, kamu nggak usah kuliah nak bantu dulu mama supaya adikmu bisa lulus SMA saja. Hatiku pedih tercabik cabik, bayangan wajah mamanya Vino yang selalu ada untuk dia dalam dua puluh empat jam seminggu dengan ribuan perhatian, sedang dimana sudah makan apa, mau beli apa juga menghampiri, tubuhku terasa di libas cambuk cambuk kecil. Aku lelah setiap kali aku membandingkan kesulitanku dan kemudahan Vino, aku lelah menyetarakan derajatku dengan Vino, ucapan mamanya begitu menekanku hingga aku hilang daya untuk menjelaskan kepada Vino apa sebenarnya yang aku rasa, aku tak mau Vino tahu sumber keresahanku yang sebenarnya, aku tidak mau Vino menyalahkan sosok yang ia bangga banggakan selama ini, aku tidak mau kesalahan itu berasal dari dirinya jikalaupun semua harus berakhir, aku sedemikian sayang pada Vino, sedikitpun aku tak ingin menyalahkannya, bagiku dia adalah pangeran kebenaranku.

‘ Vin aku lelah kalau kamu tanya tanya terus, kan aku sudah bilang, rasa rinduku sudah nggak ada lagi, hatiku sudah berpaling ke laki laki yang lain’. Sentakan di dada Vino beitu kencang seperti dentuman mercusuar mencampakkanku dari pelukannya. Deras airmatanya tidak kalah dengan air bah dizaman nabi Nuh, dan luapan emosi wajahnya tidak kalah dengan hiruk panas tragedi Bandung lautan api.

‘ kalau memang itu alasannya, aku tak bisa mengganggu gugat, kadang aku sendiri juga tak mengerti perasaanku, apalagi perasaanmu, kapan kamu harus jatuh cinta, kapan merasa nyaman, atau kapan perasaan itu hilang, semua orang berhak atas perasaannya, makasih banyak untuk beberapa dekade ini, kamu sangat berarti di sejarahku, aku sayang kamu, dan aku percaya sosok yang terbaik pasti menghampiri pribadi yang terbaik seperti kamu walaupun aku berharap orang itu aku dan ternyata bukan aku.’ Seketika Vino berubah menjadi pangeran yang begitu bijaksana berbeda sebelumnya dia kelihatan begitu manja dan lemah. Dia pun pergi meninggalkanku sendiri ditaman itu. Airmata dan keringatku berpacu seolah berada di arena balapan, hatiku sedemikian perih mau mati rasanya aku tersungkur, kekuatan benar benar hilang.

Sebulan aku masih terlihat baik baik saja dan di akhir yang ketiga bulan aku rindu dia. Setelah tiga bulan berlalu sekalipun dia tak pernah coba negosiasi denganku mungkin sedemikan pasrahnya dia, ahh waktu andai bisa diputar kembali. Aku tidak akan semanja itu, kata berakhir itu tidak seharusnya dariku, aku tidak setakut itu harusnya, wawasanku harus luas aku nggak seharusnya patah dengan ucapan mamanya, bukankah dia begitu memberiku kekuatan untuk hidup. Kemana semua materi yang Vino ajarkan, bahwa di dunia ini manusia setara dihadapan Tuhan tidak ada yang perlu dibanggakan tidak ada yang terlalu atau begitu lebih, terlalu baik atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan, semuanya biasa saja, karna itu kita harus menanggapinya dengan biasa saja. Ahh ternyata aku kurang komunikasi kurang bimbingan, aku merasa aku terlalu paham masalahku, ternyata tidak.

‘ Vin, aku kangen kamu.’ pesan singkat itu ku kirimkan, seharian aku menunggu balasan WAnya, padahal timeline aktif.

‘ mulai sekarang kamu tidak perlu lagi kangen kangen aku atau siapapun, kamu harus belajar memantaskan diri untuk siapa yang kamu rindukan, jangan terlalu diburu nafsu perasaanmu. Belajar lebih baik lagi untuk masa depan kamu seperti yang selalu kamu ceritakan selama ini, untuk masa depan yang cerah karir yang menajak dan status sosial’. Balesnya.

Aku benar benar tersindir dengan ucapannya, dia begitu cepat berubah,dia bukan lagi Vino yang aku kenal dulu, benarkah dalam tiga bulan karakter seseorang bisa berubah sedemikian cepat. dia bukan lagi sosok yang rendah hati dia berubah jadi arogan dan paham perbandingan sosial. Aku salah, salah jatuh cinta salah membanggakan, dia yang kubanggakan selama ini hidup dalam bungkusan semu, luar dalamnya beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun