Ingin rasanya menangis atas perbincangan sore tadi. Harapan pertengkaran itu tak di perpanjang lagi seperti yang sudah sudah tapi ternyata jauh dari harapan.
Hati yang tenang tadi kembali disulut emosi, bagaimana tidak perkataannya membuat egoku bangkit.
" Mas, tak akan tinggalkan adek, jika adek sendiri yang minta mas akan tinggalkan," berulang kali dia katakan itu
" Maksudnya," kataku seakan tak paham perkataannya.
" Kalau adek minta mas pergi, mas akan pergi tapi jangan berharap kenangan itu akan hilang dan akan tetap membelenggu," katanya kembali.
"Benarkah? emang bisa? sanggup? kataku. Maksud hati mencoba melunakkan hatiku saja, namun di luar apa yang diperkirakan.
"Mas, tekankan! mas sanggup melakukan kalau itu adek yang pinta.
Aku tak habis pikir kenapa mesti terjadi hal seperti ini, apa aku salah untuk mengingatkan, bahwa perbincangan selama ini antara aku dan dia sudah merasa tak nyaman. Mungkin di awal aku yang salah yang membuka lebar pintu untuk dia masuk dan bercerita apa saja yang dia alami atau yang aku alami selama kita tak bertemu.
Apakah aku terlalu naif atau lugu, hingga tak menjadi peka akan situasi yang sebenarnya, atau aku terlalu terlena dengan kenangan kita selama ini, semasa sekolah dahulu.Â
Kenangan kita memang kenangan yang tak saling menyakiti, kenangan yang indah untuk di kenang. Tapi salahkah aku hanya sekedar mengingatkan agar langkah kita tidak terlalu jauh dalam kenangan.
Kenapa kenangan itu kita jadikan garis lurus untuk kita pada pasangan kita, mencoba memaknainya dengan baik, berpikir lebih baik. Tak membandingkan satu sama lain. Aku masalah lalu mu, mungkin di matamu aku sempurna tanpa cela. Hingga kau terobsesi agar pasanganmu seperti aku.