Penyataan Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang menyatakan Indonesia butuh pemimpin seperti Presiden Rusia, Vladimir Putin dan pernyataan DPP PKS Mardani Ali Sera yang mengidamkan pemimpin seperti Erdogan sah-sah saja kalau keinginan tersebut merupakan refleksi keinginan pribadi.
Akan tetapi apabila hal tersebut dikaitkan sebagai pernyataan yang mewakili jabatan sebagai wakil rakyat yang duduk di DPR, maka hal tersebut wajar saja menjadi tanda tanya di kalangan publik karena baik Putin maupun Erdogan pada prinsip nilai-nilai kepemimpinan yang dianutnya dianggap tidak sejalan dengan prinsip dan nilai demokrasi Pancasila .
Gaya Kepemimpinan Putin
Mainstream media seperti The Economist menggambarkan Putin sebagai reinkarnasi dari kepemimpinan Tsar. Tsar merupakan sistem kekaisaran di Rusia berkuasa selama 384 tahun sejak 1533 sampai tahun 1917 yang kemudian digulingkan dan diganti dengan sistem demokrasi.
Pemerintahan Tsar terkenal authoritarian, kejam dan korup terutama di bawah kepemimpinan dinasti Romanov. Tapi bahkan setelah ambruknya sistem kekaisaran di Rusia, tidak semerta-merta menghilangkan kultur kepemimpinan yang kejam, hal ini terbukti ketika Rusia dipimpin oleh Stalin yang membentuk Rusia dengan cara yang diktator, kejam, dan brutal. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak orang Rusia yang percaya bahwa hanya dengan pemimpin yang tegas dan kejam yang dapat meraih kejayaan nasional.
Putin sendiri sudah berkuasa selama 18 tahun sejak 1999. Gaya kepemimpinan Putin digambarkan sebagai pemimpin yang identik dengan authoritarian kleptocracy. Hal ini diungkap di salah satu buku Karen Dawisha, Professor Ilmu Politik di University of Miami, Ohio yang berjudul Putin's Kleptocracy: Who Owns Russia?.
Di buku tersebut menggambarkan bagaimana sumberdaya alam di Rusia dieksploitasi sedemikian rupa dan dicuri untuk memperkaya rezim yang berkuasa. Bahkan Dawisha berargumentasi bahwa sistem authoritarian kleptocracy didesain oleh intelligent dibawah Putin secara sengaja untuk memperkaya penguasa dan orang-orang yang loyal pada rezim tersebut serta untuk melanggengkan kekuasaan Putin.
Meskipun dibawah kepemimpinan Putin, Rusia berhasil merubah kekuatan politiknya menjadi salah satu negara dengan pengaruh politik terbesar didunia apalagi ditambah dengan munculnya dugaan pengaruh campur tangan Kremlin dipemenangan Donald Trump.
Kekuatan ekonomi Rusia di bawah Putin juga berhasil menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia bahkan GDP Rusia tumbuh hampir 4 kali lipat. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi itu sebagian besar ditopang oleh komoditas minyak dan gas sehingga pertumbuhan ekonomi tersebut tidak akan berkesinambungan.
Di samping itu, angka kesenjangan sosial juga sangat tinggi dan merupakan salah satu negara dengan angka kesenjangan tertinggi di dunia sebagaimana dilansir oleh Credit Suisse di tahun 2014.
Credit Suisse juga membeberkan fakta mengejutkan dimana 10% populasi menguasai 85% total kekayan negara di Rusia, dan 110 billionare mengontrol 35% seluruh kekayaan yang ada di Rusia bahkan median kekayaannya lebih rendah dari India.
Hal ini hampir serupa dengan kondisi di Indonesia, di mana 1% orang kaya menguasai 50% total kekayaan negara. Di samping itu indeks persepsi korupsi di Rusia juga sangat tinggi sejajar dengan Laos, Papua New Guinea di urutan 135, di atas Nigeria, Pakistan, Iran dan Sierra Leone, sementara Indonesia sendiri berada di urutan 96 di tahun 2017.
Gaya Kepemimpinan Erdogan
Sementara Tayyip Erdogan yang banyak diidolakan oleh garis kiri dan dicitrakan sebagai pemimpin yang idaman yang Islami, ternyata menoreh cerita yang berbeda dengan fakta lapangan.
Hasil referendum di April 2017 yang didesain secara politis untuk menjadikan Erdogan begitu authoritarian membuat Erdogan memiliki hak yang untuk mengatur militer dan anggarannya, menunjuk hakim, dapat membubarkan parlemen, dan bisa berkuasa sampai 2029.
Kekuasaan Erdogan mirip dengan pemerintahan Kemal Ataturk yang membentuk Turki menjadi pemerintahan yang sekuler dengan menguasai dan mengontrol kekuatan militer.
Oleh karena itu, baik Erdogan dan Ataturk berhasil melanggengkan kekuasaannya dengan mengontrol penuh kekuataan militer. Erdogan di segi ekonomi terbilang sangat sukses dengan pertumbuhan ekonomi diatas 7% pertahun tapi indeks kesenjangan juga sangat tinggi diangka 0.41 sama dengan indeks kesenjangan di Indonesia yang juga berada diangka 0.41 ditahun yang sama 2014.
Indeks persepsi korupsi di Turki juga cukup tinggi, bertengger di urutan 81Â sejajar dengan India, Ghana dan Marocco. Erdogan juga terkait skandal korupsi melalui putranya Bilal Erdogan yang diduga memiliki hubungan bisnis dengan Al-Qaeda.
Erdogan juga tidak segan-segan memecat 107 hakim yang terkait dengan kudeta di tahun 2016 dan angka itu meningkat menjadi 4238 di tahun 2017. Bahkan hampir 145.000Â pegawai negeri juga dipecat, 9.100 polisi diskors, 1.700Â anggota militer termasuk 87 Jenderal dipecat dengan tidak terhormat karena dianggap bersebrangan dengan pemerintahannya.
Bahkan ada PNS yang sedang tugas belajar juga dipecat karena berani menulis kritik tentang pemerintahan Erdogan. Belum lagi Erdogan sering dikaitkan dengan perang Suriah yang notabene merupakan tetangga Turki. Rusia menuduh keluarga Erdogan membeli minyak dari ISIS.
Dari fakta-fakta tersebut di atas, menjadi tanda tanya apabila ada tokoh dan wakil rakyat yang mendambakan Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang authoritarian dan korup, maka sama saja logikanya mendambakan pemimpin yang tidak demokratis dan jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI