Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ratap Tangis Sang Nenek

13 Maret 2015   23:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merataplah Nek Asyani didepan Hakim pengadilan Situbondo, makhluk Tuhan yang lemah tak berdaya itu menumpahkan air matanya sesaat melihat sosok lelaki manteri Kehutanan yang telah mengantarkannya keruang pesakitan itu. Dia dituduh mencuri Kayu Jati milik perhutani dan akibat perbuatannya negara dirugikan senilai  4 juta rupiah, saya ulangi EMPAT JUTA RUPIAH.

Benar atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh nenek tua itu bukanlah sesuatu yang ingin kita perbincangkan, tapi ratap tangis nenek berusia 63 tahun itu sungguh sangat memilukan, suaranya bagaikan sembilu yang mengiris-iris rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa yang katanya menjunjung tinggi prikemanusiaan yang adil dan beradab.

Hukum memang harus ditegakan, yang bersalah tidak boleh dibiarkan bebas dengan begitu saja, namun harus diingat bahwa tujuan akhir dari penegakan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan bagi setiap orang.

Kini, rasa keadilan itu sendirilah yang sedang terusik, manakala kita membandingkan seorang nenek tua (diduga) maling kayu Jati dengan pelaku kejahatan lainnya yang merugikan negara milyaran rupiah.

Nenek tua itu terjerembab meratapi nasibnya sambil meneteskan air mata, tangannya gemetar seakan ingin menggapai keadilan yang tergantung jauh diawang-awang,  sementara diluar gedung pengadilan, para pengempelang  pajak, penilap duit rakyat dan para pembegal anggaran tersenyum didepan kamera, dan terkadang berdebat pula soal hukum dan keadilan. Mereka bebas melenggang meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan pengadilan telah pula membuka pintu kebebasannya dari status tersangka lewat pintu praperadilan.

Para penjarah uang negara lewat BLBI bisa hidup tenang bersama keluarganya dengan mengantongi surat pengakuan lunas hutang dari negara. Pencoleng uang negara lewat kasus Century hingga kini tak tentu rimbanya. Tersangka kasus korupsi dana haji sampai hari ini belum ditahan, bahkan dengan bebasnya melenggang lenggok didepan umum, menebar senyum sambil mengaku tidak bersalah. Sementara Nek Asyani harus meringkuk dalam bui, meskipun baru sebatas diduga merugikan negara sebesar Rp. 4 juta rupiah. (saya ulangi EMPAT JUTA RUPIAH )

Rasa kemanusiaan kita benar benar menjadi terganggu, pisau hukum amat tajam kebawah, melukai rakyat miskin, dan atas nama keadilan yang seadil-adilnya pisau itu menjadi tumpul terhadap para elite yang berada dipusaran kekuasaan dan atau mereka yang berduit.

Adalah sesuatu yang sangat bijak, bila kasus Nek Asyani ini diselesaikan secara damai  dengan mengedepankan rasa kekeluargaan, bukankah dalam ratapnya sempat terucap bahwa dia sudah minta maaf, dan keterangan masyarakat tempatan juga menyebutkan bahwa kayu yang diambilnya bukan milik Perhutani, tetapi dari lahan miliknya sendiri.

Tapi, yang terjadi justeru sebaliknya, tanpa menenggang rasa kemanusiaan sang nenek langsung dijebloskan kedalam tahanan, dan 3 bulan kemudian dia harus duduk sebagai pesakitan diruang pengadilan, menghadap Hakim dan Jaksa dengan jubah kebesarannya,  sungguh sangat mengerikan baginya, hingga meledaklah tangisnya,  dan ratap tangisnya itu membuat kita tersentak, sadar bahwa hari ini kita sudah kehilangan makna sebagai sebuah bangsa yang beradab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun