Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belahan Jiwa yang Retak dan Terabaikan

6 Oktober 2025   04:37 Diperbarui: 6 Oktober 2025   04:37 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ARIA duduk di tepi ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya. Hatinya begitu galau. Sepertinya ada lubang menganga dihatinya. Malam itu, ketika matanya terpejam, ia seperti berada di sebuah tempat yang asing. Seperti berada di sebuah padang yang luas, yang langitnya kelabu. Di sana, berdiri sosok yang mirip dirinya. Sorot matanya lebih hidup, lebih jernih.

Aria tertegun.
"Kamu siapa ?" tanyanya, penasaran

Sosok itu tersenyum getir.

"Aku adalah dirimu yang kamu abaikan. Belahan jiwamu yang engkau buang entah sejak kapan."

Aria menunduk. "Mengapa tanpamu, aku merasa kosong ?"

"Kosong, lantaran dirimu memilih hidup dengan angka-angka, janji palsu, dan topeng yang tak pernah engkau lepaskan. Engkau mengusirku saat dirimu berhenti mendengar tangisanmu sendiri."

Aria menelan ludahnya. Dadanya bergetar. Jantungnya berdetak cepat. 

"Tapi aku butuh dirimu. Aku tak bisa terus melangkah dengan rongga kosong tanpa dirimu di hatiku."

Sosok itu menatapnya tajam. Tatapannya menembus dinding hatinya.

"Apakah dirimu benar-benar siap menerimaku ? Aku membawa luka-luka yang pernah engkau abaikan, mimpi yang kau kubur, serta keberanian yang kau takuti. Jika aku kembali, dirimu harus menanggung semua itu."

Aria menggenggam tangannya sendiri. "Lebih baik aku terluka, daripada merasa hampa, tak berguna. Pulanglah. Aku ingin belajar menanggung bebanmu, meskipun itu berat."

Sosok itu tersenyum lembut. Perlahan, cahaya dari tubuhnya merembes masuk ke dada Aria. Hangat, tapi juga perih. Aria meringis, namun tidak menolaknya. 

Sebelum lenyap, sosok itu berbisik, "sebetulnya, aku tak pernah benar-benar pergi. Aku selalu hadir tatkala engkau membuka ruang untukku. Karena itu, jangan lagi menutup pintu untuk diriku, dengan alasan kesibukan dan ketakutan."

Aria segera tersadar. Dadanya terasa penuh. Air mata membasahi pipinya. Ia sadar, belahan jiwanya telah kembali, meski rapuh dan butuh dirawat.

Malam itu, ia berbisik ke dalam dirinya:
"Aku berjanji takkan mengusir mu lagi."

Pagi itu, cahaya matahari masuk ke jendela kediaman Aria. Biasanya, ia hanya melihatnya sebagai tanda waktu untuk bergegas ke kantor. Tapi kali ini berbeda, cahaya itu terasa seperti tangan halus yang mengusap wajahnya. Membangunkan sesuatu dalam dirinya yang lama tertidur.

Aria bangkit, berjalan ke dapur, lalu menatap secangkir kopi yang masih mengepul. Dulu, ia hanya meneguk kopi sebagai bahan bakar tubuhnya, tanpa rasa apa-apa. Kini, aroma pahitnya seperti membisikkan pesan, bahwa menikmati hidup itu, tak mesti selalu manis.

Di kantor, tumpukan laporan menunggu. Dilayar komputernya, angka-angka berbaris kaku. Namun, ia tak lagi melihatnya hanya sebagai beban. Ia mendengar suara samar di dalam dirinya, suara belahan jiwanya yang telah kembali, "Kerja boleh, tapi jangan biarkan pekerjaan mencuri hatimu. Ingat, aku ada di sini."

Hari-hari berikutnya, Aria mulai melakukan hal kecil yang dulu ia abaikan. Ia pulang berjalan kaki melewati taman, sekadar menyapa bunga yang bermekaran. Ia menulis, meski hanya satu kalimat saja, catatan kecil tentang perasaannya yang berjejal sesak di dadanya. Ia bahkan duduk lebih lama bersama ibunya, seraya mendengarkan ibunya bercerita hal yang sama untuk kesekian kalinya. Namun kali ini responnya berbeda, ia sabar mendengarnya dengan senyum yang tulus.

Belahan jiwa itu kadang berbisik lembut, kadang berteriak marah, seraya mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal target. Pun keberanian untuk menjalani dan merasakan, meski itu kadang terasa perih. Aria menyadari bahwa luka pun adalah bagian dari dirinya yang utuh.

Sore itu, Aria menatap langit jingga yang begitu indah. Angin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Ia menutup matanya, lalu berbisik, "Terima kasih sudah pulang. Meski aku belum sempurna, aku janji akan menjagamu."

Di dalam dirinya, belahan jiwa yang dulu hilang itu, bergetar, seperti senyum yang tak terlihat. Untuk pertama kalinya, Aria merasa hidupnya memang tak pernah bisa sempurna,  namun itulah alasan terpenting, mengapa ia merasa benar-benar hidup. Weleh, weleh, weleh.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun