Sosok itu tersenyum lembut. Perlahan, cahaya dari tubuhnya merembes masuk ke dada Aria. Hangat, tapi juga perih. Aria meringis, namun tidak menolaknya.Â
Sebelum lenyap, sosok itu berbisik, "sebetulnya, aku tak pernah benar-benar pergi. Aku selalu hadir tatkala engkau membuka ruang untukku. Karena itu, jangan lagi menutup pintu untuk diriku, dengan alasan kesibukan dan ketakutan."
Aria segera tersadar. Dadanya terasa penuh. Air mata membasahi pipinya. Ia sadar, belahan jiwanya telah kembali, meski rapuh dan butuh dirawat.
Malam itu, ia berbisik ke dalam dirinya:
"Aku berjanji takkan mengusir mu lagi."
Pagi itu, cahaya matahari masuk ke jendela kediaman Aria. Biasanya, ia hanya melihatnya sebagai tanda waktu untuk bergegas ke kantor. Tapi kali ini berbeda, cahaya itu terasa seperti tangan halus yang mengusap wajahnya. Membangunkan sesuatu dalam dirinya yang lama tertidur.
Aria bangkit, berjalan ke dapur, lalu menatap secangkir kopi yang masih mengepul. Dulu, ia hanya meneguk kopi sebagai bahan bakar tubuhnya, tanpa rasa apa-apa. Kini, aroma pahitnya seperti membisikkan pesan, bahwa menikmati hidup itu, tak mesti selalu manis.
Di kantor, tumpukan laporan menunggu. Dilayar komputernya, angka-angka berbaris kaku. Namun, ia tak lagi melihatnya hanya sebagai beban. Ia mendengar suara samar di dalam dirinya, suara belahan jiwanya yang telah kembali, "Kerja boleh, tapi jangan biarkan pekerjaan mencuri hatimu. Ingat, aku ada di sini."
Hari-hari berikutnya, Aria mulai melakukan hal kecil yang dulu ia abaikan. Ia pulang berjalan kaki melewati taman, sekadar menyapa bunga yang bermekaran. Ia menulis, meski hanya satu kalimat saja, catatan kecil tentang perasaannya yang berjejal sesak di dadanya. Ia bahkan duduk lebih lama bersama ibunya, seraya mendengarkan ibunya bercerita hal yang sama untuk kesekian kalinya. Namun kali ini responnya berbeda, ia sabar mendengarnya dengan senyum yang tulus.
Belahan jiwa itu kadang berbisik lembut, kadang berteriak marah, seraya mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal target. Pun keberanian untuk menjalani dan merasakan, meski itu kadang terasa perih. Aria menyadari bahwa luka pun adalah bagian dari dirinya yang utuh.
Sore itu, Aria menatap langit jingga yang begitu indah. Angin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Ia menutup matanya, lalu berbisik, "Terima kasih sudah pulang. Meski aku belum sempurna, aku janji akan menjagamu."
Di dalam dirinya, belahan jiwa yang dulu hilang itu, bergetar, seperti senyum yang tak terlihat. Untuk pertama kalinya, Aria merasa hidupnya memang tak pernah bisa sempurna, Â namun itulah alasan terpenting, mengapa ia merasa benar-benar hidup. Weleh, weleh, weleh.(*)