Oleh :
Aslamuddin Lasawedy CFP®
Perencana Keuangan Independen
PAGI itu, seperti biasa Farid duduk di teras belakang rumahnya. Tatapannya kosong. Secangkir kopi di meja belum jua ia sentuh. Di depan layar laptop-nya, angka-angka menganga seperti jurang yang dalam. Dompetnya tergeletak di sampingnya. Diam seperti sedang menyimpan sesuatu yang paling rahasia. Saldonya Menipis. Cicilannya sudah beberapa bulan menunggak. Tagihannya membengkak.
“Aku lelah,” gumamnya pelan. Meski tidak ada siapa-siapa yang mendengar.
Di luar, matahari sudah tinggi. Namun di dalam kepalanya, seperti ada kabut tebal yang tak kunjung reda. Farid sebetulnya bukanlah orang yang boros. Ia selalu mencoba hidup teratur. Mencatat semua pengeluarannya, dan menabung sedikit demi sedikit. Tapi hidup kadang seperti pasar malam yang penuh lampu gemerlap, pun suara yang membujuk membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan. Sesuatu yang dibeli hanya untuk membuktikan bahwa kita ‘cukup.’
Satu waktu, ia pernah membeli sepatu mahal hanya karena semua orang di kantornya memakai model terbaru yang sama. Lain waktu, ia memaksakan liburan demi “membalas lelah,” meski tabungannya sekarat. Setiap transaksi seperti manis di awal, pahit di belakang. Dan kini, ia duduk di pagi yang sunyi, dikejar rasa bersalah dan rasa takut yang datang bersamaan.
Di tengah diam itu, saat jemarinya menggulir layar gawainya, matanya jatuh pada sebuah tulisan di Kompasiana, berjudul : "Mindfulness Keuangan Bermanfaat Meningkatkan Kesadaran Finansial, " Sambil lalu, ia baca tulisan itu. Tetiba matanya membaca kalimat yang entah kenapa menarik perhatiannya ; "Mindfulness bukan soal menolak uang. Tapi hadir utuh saat kita memegangnya. Uang bukan tujuan, ia hanya kendaraan."
Hari-hari berikutnya, Farid mulai melakukan sesuatu yang berbeda. Setiap pagi, ia meluangkan waktunya untuk duduk selama lima menit saja, agar bisa menutup matanya dan menarik napas panjang, hanya untuk mendengar suara pikirannya dan menenangkan dirinya.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa stres yang ia alami bukan karena saldo rekeningnya menipis. Itu terjadi karena rasa takut yang terus menghantuinya lantaran tak mampu memenuhi standar hidup yang justru ditetapkan orang lain.
Farid mulai mencatat setiap Pengeluarannya, bukan hanya angkanya, pun alasan di baliknya.