Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengulik Seputar Perjanjian Pisah Harta

8 Juli 2025   17:49 Diperbarui: 8 Juli 2025   17:52 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto : Aslamuddin Lasawedy

Oleh :
Aslamuddin  Lasawedy CFP®

Perencana Keuangan Independen

MENGAPA perjanjian pisah harta atau perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement) itu penting bagi calon pasangan suami isteri ? Begini ceritanya, perjanjian pra-nikah atau perjanjian perkawinan itu membahas berbagai ketentuan mengenai pemisahan harta dalam perkawinan. Namun seiring kemajuan zaman, perjanjian perkawinan ini justru banyak memuat hal hal lainnya, yang tidak melulu menyangkut soal uang atau harta semata. Maksudnya tidak lain, agar perjanjian perkawinan ini bisa mengakomodir berbagai kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian perkawinan itu.

Belakangan, munculnya banyak kasus perceraian yang berujung pada perebutan harta gono gini atau harta bersama, membuat banyak pasangan pra-nikah tak yakin lagi bahwa pernikahan yang akan dijalaninya akan berlangsung mulus hingga akhir hayat. Ditengah jalan bisa saja perceraian terjadi, yang boleh jadi menimbulkan kerumitan tersendiri dari sisi hukum seputar pembagian harta, bila diawal pernikahan tidak dilakukan perjanjian pisah harta.

Perjanjian pra-nikah atau perjanjian perkawinan ini dilakukan untuk menegaskan secara transparan hak dan kewajiban suami-istri berkenaan dengan harta kekayaan mereka. Sekaligus melindungi harta kekayaan calon pasangan suami-istri, jika hal-hal yang tak diinginkan terjadi dalam perkawinan.

Kongkritnya, kita ambil contoh calon pasangan suami-istri yang berprofesi sebagai pebisnis dan punya pendapatan masing-masing. Bilamana mereka menjalankan bisnis bersama dan didalam perjanjian pra-nikah disebutkan secara tegas bahwa segala urusan bisnis mereka berdua itu menggunakan harta suami dan dijalankan oleh suami. Maka, sekiranya hal tak terduga terjadi hingga menyebabkan usaha bisnis mereka itu bangkrut atau pailit. Konsekwensinya untuk menutup kerugian sekaligus melunasi hutang-hutang yang masih menumpuk, maka harta suami yang akan disita. Namun, harta istri tak bisa disita, karena statusnya terpisah dengan usaha bisnis suami. Tentu saja, hal ini sangat menguntungkan bagi pasangan suami-istri tersebut, karena bisa bangkit lagi melanjutkan kehidupan dengan dana yang ada.

Nah, perjanjian perkawinan ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 (UUP) tentang Perkawinan dan pasal 147 KUH Perdata, yaitu perjanjian  yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 45, perjanjian perkawinan ini adalah taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Bila merujuk pada pasal 47 KHI, perjanjian perkawinan ini dapat meliputi percampuran harta pribadi atau pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Pun boleh juga menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Perjanjian perkawinan ini  harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi yang beragama Islam akan dicatatkan di KUA, sedang yang bukan beragama Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Perjanjian ini mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan tidak bisa diubah. Kecuali, kedua belah pihak setuju merubah, dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Bila sudah menikah, perjanjian seperti ini tak bisa lagi dilakukan. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama atau harta gono gini.

Terakhir dan terpenting, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 48 ditegaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 233 : "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun