Mohon tunggu...
Asikin Hidayat
Asikin Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah di SMP 4 Satap Sumberjaya, Majalengka

Hanya suka, semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Masa Depan Lewat Budaya

18 Mei 2017   06:28 Diperbarui: 18 Mei 2017   07:12 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jatiwangi Arti Factory dapat dimunculkan sebagai sebuah studi kasus. Menurut beberapa orang, atau mungkin pula menurut keyakinan para pelaku di dalamnya (JAF), mereka sudah mampu berkiprah bahkan hingga internasional. Para wisatawan asing berdatangan dari berbagai Negara untuk menyaksikan “apa yang ada” di JAF. Sepertinya dunia Majalengka adalah dunia JAF yang “hanya” sebuah desa di Jatisura. Atau malah lebih sempit lagi “hanya sebuah sanggar” saja, di tempat yang kecil dan sederhana. Pertanyaannya, sudah cukupkah Jatiwangi dengan JAF-nya mewakili Majalengka secara keseluruhan? Sudah cukupkah kebudayaan Majalengka yang kompleks ini terwakili oleh JAF di ranah nasional dan Internasional?

Fakta ini mémang tidak harus dibantah dengan argumentasi membabi buta. JAF adalah fakta. Harus pula diakui bahwa kawan-kawan di JAF sudah berupaya mengangkat sebagian kecil dari Majalengka yang luas ini. Betapa indahnya jika kawan-kawan di tempat lain juga bergerak dengan kualitas dan intensitas yang sama dengan JAF, kemudian pula bersedia duduk bersama di sebuah majelis untuk berpikir (brain storming) tidak hanya tentang wilayah dan wewengkonnya, namun lebih kepada upaya mengangkat Majalengka secara komunal.

Untuk sampai kepada pembuktian gerak factual itu mémang dibutuhkan komitmen, sikap, dan pun arah niat yang sama. Kijoen – seorang budayawan senior Majalengka – menyatakan bahwa pada akhirnya kita mémang membutuhkan sebuah lembaga tempat berkumpul, berbagai, dan sekaligus berkarya. Dewan Kesenian (Dekma) mémang sudah ada, namun stagnasi sedang melanda satu-satunya dewan kesenian yang dimiliki Majalengka ini. Diperlukan revitalisasi atau re-struktrurisasi agar kemudian dewan kesenian hidup kembali menjadi wadah seniman budayawan Majalengka. Dewan ini kemudian menjadi muara ketika berbagai pandangan tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan Majalengka harus muncul ke permukaan.

Muncul mémang pertanyaan, perlukan kita sebuah dewan kesenian atau dewan kebudayaan atau apa pun itu namanya? Membicarakan sebuah lembaga kesenian pada saat ini sebenarnya merupakan sebuah antitesa, atau bisa jadi sebuah konotasi paradox yang mempertentangkan antara butuh dan tidak butuh sebuah dewan atau lembaga kesenian itu. Jika pun mémang butuh, proses pembentukannya tidak harus serta merta dan terkesan buru-buru, karena hanya akan melahirkan sebuah lembaga yang premature dan tidak mampu bekerja. Sebaliknya, jika tidak butuh, harus disertakan alas an argumentative ilmiah mengapa lembaga tidak dibutuhkan.

Proses masih sedang berlangsung. Pemikiran belum final sampai kepada sebuah kesimpulan. Kita, seniman budayawan Majalengka, masih harus bertemu, berpikir, dan sekaligus menanti ajakan sang “birokrasi” untuk segera membuktikan pemenuhan kebutuhan ini. Karena, bagaimanapun, sinergitas dari semua unsure dan semua pihak yang berkepentingan harus pula terjalin.

Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun