Mohon tunggu...
Asih Perwita Dewi
Asih Perwita Dewi Mohon Tunggu... -

Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara perempuan dari pasangan Alm. Bp. Syamsudin Selamet dan Ibu Roro Rahayu. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (S1) di Universitas Tanjungpura Pontianak, Program studi Pendidikan Biologi. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan Strata 2 (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Biologi Tumbuhan. Penulis sangat menyukai hujan, pantai, dan tidur di bawah langit berbintang. Kegemaran penulis lainnya adalah menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebaya Putih

21 April 2015   11:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk di barisan kursi paling depan. Memandangi panggung catwalk yang putih bersih dan berbentuk U. Memerhatikan lampu-lampu yang sebelum show dimulai ini hanya berwarna putih kekuningan. Berulang kali kulakukan, dan meski acaranya masih berlangsung setengah jam lagi, aku tak ingin beranjak. Aku, tak ingin kehilangan tempat duduk ini. Aku, harus berada sedekat mungkin dengan panggung. Harus.

Sudah berapa banyak fashion show yang kudatangi? Tak terhitung. Beruntung aku bekerja di bidang yang memiliki relasi dengan dunia permodelan ini, walau hanya sebagai perusahaan konveksi yang mensuplai aneka material kain kepada perusahaan konsumen. Tapi aku memang harus melakukannya. Aku tak ingin melewatkan setiap acara fashion show yang ada. Bukan karena aku penggila wanita-wanita cantik yang berlenggak-lenggok diatas panggung itu. Bukan pula karena aku penikmat mode pakaian dari musim ke musim, dari tahun ke tahun. Bukan. Aku hanya ingin kembali menemukannya. Ya, kembali menemukannya.

“Kamu baik-baik saja?” sapa sebuah suara lembut disisiku. Aku menoleh, dan kudapati wajah bulat berponi itu tengah mengamati raut wajahku. Aku mengangguk sekilas, lalu kembali menatap ke panggung.

“Aku baik-baik saja,” lirihku pelan. Dalam hati aku kembali berbisik, Jangan memandang kemanapun. Lihat saja kedepan. Jangan sampai terlewatkan.

“Kamu selalu begini, San,” katanya lagi. Aku melirik sedikit dari ekor mataku, tanpa berniat memalingkan wajahku sepenuhnya.

“Maksud kamu?” tanyaku.

“Iya, selalu begini. Wajah itu, adalah raut wajah yang selalu kulihat setiap kali kamu datang kesini. Ke setiap fashion show ini. Seperti... tegang, menunggu sesuatu, mencari sesuatu... Entahlah, mungkin itu hanya prasangkaku saja. Benar kan?” tanyanya lagi. Aku tak menoleh, takut ia menangkap kegelisahan dimataku. Tak perlu, orang lain tak perlu tahu, bisik hatiku.

“Itu hanya prasangkamu saja,” tandasku cepat. Seperti biasa. Kata mereka, aku adalah “pembunuh” obrolan paling sadis. Jika aku sedang tak ingin melanjutkan obrolan, aku akan langsung menandaskannya begitu saja. Entah itu dengan kata-kata tajam dan dinginku, atau dengan sikap diamku.

Lampu yang menyala masih berwarna putih kekuningan. Ah... betapa lamanya acara ini dimulai. Tiba-tiba kurasakan diriku sendiri yang tak sabaran. Selalu sama, selalu sama. Aku mendesah pelan. Kurasakan tanganku berkeringat, dan mataku masih menatap lurus pada panggung. Harus berapa banyak lagi rasa yang kutanggung? Kegelisahan ini, penantian ini? Hari demi hari yang berlalu begitu saja. Panggung demi panggung yang tak pernah memberi jawaban dari rasa ini. Tapi mengapa aku bertahan? Benarkah... aku hanya perlu sedikit bersabar dan menunggu “dia” lagi?

Saat kupejamkan sesaat mataku, kelibat itu muncul diingatanku. Kelibat yang sudah berpuluh tahun lalu berlalu. Kelibat seorang gadis kecil yang tersenyum manis menunggu kedatanganku disamping parkiran sepeda. Seorang gadis kecil, yang sebenarnya hari itu ia tidak cukup berbeda dari teman-temannya yang lain. Tapi dia, berbeda dimataku.

Aku kembali membuka mataku, tidak ada yang berubah. Penat dengan keteganganku sendiri, kularikan tatapanku berkeliling. Para tamu undangan dan penonton acara semakin ramai. Hampir tak ada kursi kosong yang tersisa. Semoga, semoga ketika kursi-kursi itu telah terisi penuh, acara ini akan segera dimulai. Kuseka peluh yang tetiba mengalir di dahiku dengan sapu tanganku.

Lalu perlahan lampu meredup, dan sebuah lampu sorot dinyalakan tepat diatas panggung. Aku hampir bersorak! Akhirnya... it’s show time! Tentunya aku masih perlu sedikit bersabar mendengarkan celotehan dua orang MC yang membuka acara. Mereka menjelaskan tentang konsep fashion show hari ini, mengucapkan terima kasih pada beberapa pihak sponsor, termasuk nama perusahaanku disebut di dalamnya. 10 menit yang sangat lama. Ya, terkadang seseorang yang sedang menunggu itu, 1 menit pun akan terasa seperti 1 jam baginya. Tapi aku, bukankah aku sudah menunggu berpuluh tahun? Mengapa aku masih saja punya gejolak perasaan yang sama? Rasa gelisah ini, tak sabaran ini, semuanya masih sama kurasakan sejak berpuluh tahun yang lalu.

Saat aku menatap gadis kecil yang tersenyum manis di samping parkiran sepeda itu. Gadis kecil, dalam balutan kebaya putihnya.

Lalu kulihat lampu warna-warni mulai dinyalakan. Acara fashion show pun dimulai. Aku hampir berdiri dari kursiku, jika aku tak diingatkan oleh Kalin yang duduk disebelahku. Ah... aku terlalu kekanakan. Sabarlah... sabarlah dulu.

Satu demi satu para model keluar. Melenggak-lenggok diatas panggung, menebar senyum khas dan menatap sekilas pada penonton. Konsep fashion show malam ini adalah kebaya klasik, karena fashion show ini masih merupakan serangkaian acara workshop dalam memperingati Hari Kartini yang jatuh tepat di hari ini. Karena itulah, para model itu memperagakan aneka model kebaya klasik dari seluruh Indonesia. Bukan kebaya dengan model modern rancangan masa kini, tapi benar-benar kebaya klasik. Mulai dari kebaya untuk para perempuan-perempuan ningrat keraton, hingga kebaya harian masyarakat biasa. Para penonton seperti diajak melihat keagungan kebaya sejak masa lampau, ketika di Indonesia sendiri masih berdiri kerajaan-kerajaan agung nan makmur. Dalam hati aku memuji pekerjaan Mega, leader yang menyelenggarakan workshop ini. Ketika ia mengemukakan konsep fashion show yang berbeda dari biasanya dalam rapat internal kami beberapa waktu yang lalu, usulnya pun langsung diterima oleh para atasan dan menyerahkan tanggung jawab acara sepenuhnya pada dia.

Dan aku masih ingat, kata-kata yang ia ucapkan beberapa hari sebelum penyelenggaraan fashion show ini.

You need to come, Ikhsan. Kali ini, walaupun aku tahu kamu nggak pernah melewatkan acara fashion show manapun, tapi kamu benar-benar harus datang.”

Sekali lagi kupejamkan mataku, dan kelibat gadis kecil yang tersenyum itu kembali melintas. Gadis berkebaya putih.

Aku kembali memandang ke arah panggung. Peragaan kebaya belum selesai. Tetapi aku cukup heran mengapa hanya kebaya dengan aneka warna saja yang mereka tampilkan. Tak ada satu pun model yang mengenakan kebaya berwarna putih. Apakah memang, di masa lampau, kebaya putih bukan merupakan salah satu pilihan kebaya yang digunakan oleh perempuan Indonesia?

“Dan inilah model kebaya kita yang terakhir. Model kebaya ini dikenal dengan nama Kebaya Kartini. Dengan warna dasar putih, kebaya ini melambangkan kekuatan sejati perempuan Indonesia yang diibaratkan berhati putih, bijaksana, dan anggun. Diperagakan oleh model ternama kita, Anjhani Kusuma, inilah dia Kebaya Kartini.”

Aku tertegun.

Bagai gerakan slow motion, aku melihat seorang perempuan berjalan anggun diatas panggung. Dengan kebaya putih, kain jarik berwarna cokelat dan selendang dengan motif serupa, rambut yang disanggul dengan sanggul khas jawa... Aku sudah pernah melihatnya, bisik hatiku. Perempuan itu terus melangkah, sesekali berhenti untuk berpose dan melemparkan senyum menyapa penonton, lalu kembali melangkah anggun. Hingga ia tiba di barisan panggung didepanku, ia melakukan hal yang sama.

Dan, ia menatapku.

Masa sepersekian detik itu terasa berharga untukku. Kelibat gadis kecil diingatanku berpuluh tahun lalu kembali muncul dan bersanding dengan wajah perempuan yang menatapku itu. Mata bulatnya tampak membulat kaget untuk beberapa saat, tapi kemudian ia tersenyum lembut dan kembali melangkah. Lututku lemas, dan tatapanku tak lepas memandangnya hingga ia kembali ke belakang panggung dan menghilang. Aku telah menemukannya... aku, telah menemukannya...

Dan seperti itulah pertemuan kami. Usai acara, aku berlari ke belakang panggung untuk mencarinya. Aku menemukannya juga seperti sedang mencari-cari seseorang. Aku terdiam memandanginya dari kejauhan. Begitu pula ia, saat ia melihatku, ia tertegun begitu saja.

Lalu kulihat senyum itu. Senyum, yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya berpuluh tahun yang lalu.

***

“Ikhsan...,” lengking sebuah suara ketika aku baru memarkirkan sepedaku di parkiran. Aku menoleh mencari-cari sumber suara, dan kulihat Anjhani melambai padaku sambil tersenyum sumringah. Untuk sesaat aku balas tersenyum, tapi kemudian aku menyadari penampilannya yang tampak berbeda hari itu.

Hari ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, semua siswa diwajibkan mengenakan pakaian tradisional. Siswa perempuan diwajibkan mengenakan kebaya, sedangkan siswa laki-laki diwajibkan menggunakan batik safari. Karena peraturan sekolah itu, aku sampai bolak-balik memilih batik yang tersedia di toko kain milik ibuku dan memintanya menjahitkan batik itu dua minggu sebelum acara Hari Kartini ini dimulai.

“Kamu baru datang?” tanyanya ketika aku dan teman-temanku sudah keluar dari parkiran sepeda dan akan memasuki gedung sekolah. Aku masih tak melepaskan pandanganku darinya.

“I-iya...,” jawabku gugup. Ia yang tampak bingung melihatku memandanginya seperti itu, lantas mematut dirinya sendiri dari ujung kaki hingga pada kebaya yang ia kenakan.

“Aku aneh ya pakai kebaya ini? Ini kebaya ibuku, San. Namanya Kebaya Kartini. Bagus nggak?” tanyanya bingung. Aku mengangguk kaku. Kebaya itu... bukan. Kamu, Jhani. Kamu cantik mengenakan kebaya ini.

“Bagus kok. Kamu cocok pakai kebayanya,” pujiku tulus. Sekali lagi ia tersenyum sumringah, sementara aku merasakan gemuruh hebat di dadaku. Hingga kemudian ia kembali berceloteh tentang serangkaian perlombaan yang diadakan hari ini, aku hanya mendengarnya seperti angin lalu. Hari itu, kusadari aku telah jatuh cinta pandangan pertama padanya.

***

Dan cinta itu tak pernah terungkapkan hingga berpuluh tahun telah berlalu.

Kini aku melihat gadis kecil berkebaya putih itu berdiri didepanku dan telah menjadi perempuan dewasa. Kebaya putih yang ia kenakan masih sama, juga kain jarik dan selendang itu. Ah... sebegitu ingatnya aku dengan kelibatnya dalam wujud gadis kecil itu. Kali ini, aku yang terlebih dahulu tersenyum.

“Kebaya Kartini,” ucapku singkat. Ia pun ikut tersenyum, dan seperti yang dilakukannya dulu, ia mematut dirinya dari ujung kaki hingga ke kebaya yang ia gunakan.

“Aku masih pantas mengenakan kebaya ini?” tanyanya kemudian, dan terdengar ditelingaku masih seperti pertanyaan yang sama dengan pertanyaannya dulu. Aku mengangguk.

“Ia, kamu masih tetap cantik mengenakan kebaya ini,” pujiku tulus. Pujian yang untuk seorang anak laki-laki berusia 11 tahun akan sangat memalukan untuk dikatakan. Tetapi bagi seorang pria berusia 31 tahun, merupakan sebuah kebanggaan bisa mengungkapkan pujian itu secara langsung, terutama untuk perempuan yang ia sukai. Anjhani, perempuan itu, tersenyum.

“Sudah sangat lama ya?” lirihnya malu-malu. Begitu pula aku, hanya bisa menatapnya dengan gemuruh perasaan yang sama.

Mungkin cinta tak pernah menghitung waktu untuk menghilang. Cinta itu, hanya berputar dan berpasang-surut dalam ingatan juga hati kita. Terkadang ketika ia kita ingat, ia akan mengambil seluruh pemikiran kita untuk mengenang dan merasakan cinta itu lagi. Ketika kita melupakannya, ia seperti terlelap sementara dan menunggu kita untuk membangunkannya lagi. Begitulah cinta. Sepertiku, yang masih bisa mencintainya hingga sekian kurun tahun berlalu sejak aku masih seorang anak laki-laki berumur 11 tahun.

“Apakah... kamu menungguku?” sebuah pertanyaan yang diucapkan Anjhani. Aku tahu, atau mungkin aku hanya sok tahu, kalau ia juga menungguku. Selama itu. Selama kurun waktu itu. Berharap kami bertemu kembali. Entah seperti apa cinta itu bekerja hingga kami, para manusia yang menanti cinta masih bisa bertahan dan percaya jika kami akan menemukan cinta lama itu lagi.

Ketika aku menganggukkan kepalaku, kulihat ia kembali tersenyum dan sebutir bening air mata mengalir di pipinya. Kuhapus air mata itu, yang dulu selalu kulakukan dengan memberinya sebungkus tisu dan membiarkannya menyeka sendiri air matanya. Tapi kali ini, dengan kedua tanganku inilah aku menghapus air matanya. Dan dengan kedua tanganku ini pula, aku menggenggam kedua tangannya dan tak akan melepaskannya lagi.

***SELESAI***

Bogor, 21 April 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun