Kita sering terkecoh oleh tampilan luar. Sekolah-sekolah swasta di kota besar, dengan gedung bertingkat, banner digital, dan jargon "unggulan", memberi ilusi kemapanan. Tapi mari kita tengok ke ruang guru, buka lemari gaji, dan dengarkan suara para pengajarnya. Maka akan kita temui sebuah kenyataan yang sering luput dari sorotan: kemiskinan yang terorganisir dalam bentuk gaji kecil dan ketidakjelasan status guru honorer.
Ini bukan cerita dari desa terpencil. Ini terjadi di tengah kota. Di bawah bayang-bayang mal, di samping apartemen, di belakang taman kota yang instagramable.
Guru-guru honorer di sekolah swasta kecil---yang sering digadang sebagai pilihan alternatif bagi kelas menengah---menghadapi tekanan yang tak kalah berat dari rekan-rekannya di pelosok. Bahkan sering kali lebih kompleks: beban tinggi, ekspektasi besar, tapi hak yang menyusut.
Coba bayangkan: guru lulusan sarjana pendidikan, mengajar enam mata pelajaran, ikut semua rapat staf, mendampingi lomba siswa di akhir pekan, dan tetap harus tersenyum sopan ketika menerima amplop gaji Rp1.500.000. Tanpa BPJS. Tanpa THR. Tanpa janji peningkatan kesejahteraan. Kadang, bahkan tanpa kontrak tertulis.
Dan lucunya, sekolah tempat mereka mengajar masih bisa membayar influencer untuk promosi di Instagram.
Kota seharusnya jadi tempat peluang. Tapi bagi banyak guru honorer swasta, kota hanya menyisakan ruang hidup yang makin sempit. Biaya kos naik, harga bahan pokok melonjak, transportasi makin mahal. Sementara gaji stagnan, dan bahkan rawan dipotong jika jumlah siswa menurun.
Di beberapa sekolah swasta kecil, sistem penggajian guru masih menggunakan pendekatan "berapa siswa, segitu gajimu." Ini logika dagang, bukan logika pendidikan. Guru dijadikan beban operasional, bukan aset strategis.
Mereka yang bertahan bukan karena sekolah memberikan harapan, tapi karena mereka belum menemukan pintu keluar.
Mengapa ini bisa terjadi?
Karena ada anggapan keliru yang diwariskan terus-menerus: bahwa guru swasta adalah "pengisi kekosongan." Karena tidak lulus PNS, maka "cukuplah" mengajar di swasta. Padahal banyak guru swasta justru punya kompetensi dan dedikasi yang luar biasa, bahkan lebih tangguh karena terbiasa serba terbatas.
Tapi sistem tidak memberi mereka penghargaan yang setimpal. Tidak ada perlindungan hukum yang memadai. Tidak ada regulasi tegas yang melindungi guru swasta dari eksploitasi. Banyak sekolah dikelola sebagai unit bisnis keluarga, yang mempekerjakan guru dengan aturan semau manajemen, tanpa standar penggajian yang adil.