Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Malam

7 Agustus 2020   16:41 Diperbarui: 7 Agustus 2020   16:33 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sebuah kisah. Seorang filsuf. Yang memiliki akhir hayatnya sungguh menyedihkan. Dia meninggal karena pekerjaan yang mengharuskan dia untuk bangun pagi-pagi. Karena selama ini dia biasa bangun siang. Karena malamnya begadang.

Aku tidak seperti itu. Ini hanya ilustrasi. Semacam pengingat bahwa dahulu ada seorang filsuf bahkan yang tidak bisa bangun pagi. Karena persoalan bangun kapan itu tidak penting bagi dia.

Bangun pagi itu sangat penting. Bagi kesehatan sudah tentu. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar. Bagiku sendiri sudah menjadi kebiasaan. Pagi itu relative. Pagi sekali seperti sebelum atau menjelang subuh atau setelahnya. Karena udara pagi itu yang sangat berharga sebenarnya. Menghirup udara pagi. Bersih dan sejuk. Berpengaruh besar dengan suasana hati.  

Kalau kata orangtuaku dulu. Jangan bangun siang nanti rezeki di patok ayam. Entah apa maksudnya saat itu. Semakin aku bertambah umur aku awalnya berpikir oh mungkin maksudnya kita harus bangun pagi agar dagangan kita cepat laku karena banyak orang yang mencari sarapan, karena mungkin ibuku seorang pedagang kue-kue basah buat sarapan. Jadi aku berpikir demikian maksud rezeki di patok ayam.

Ternyata semakin aku dewasa, maksudnya bukan sekedar rezeki dalam bentuk materi. Tapi lebih dari itu. Karena di pagi hari Cuma di pagi hari itulah kita mendapatkan udara segar yang baik untuk kesehatan paru-paru.

Karena cuma di pagi hari itulah matahari bermanfaat untuk tubuh karena vitamin D nya. Cuma bangun pagi lah yang membuat pikiran kita masih fresh untuk belajar. Dan ini sudah aku rasakan sejak masih sekolah dulu. Karena kebiasaanku dulu itu justru belajar di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Beda rasanya. Lebih mudah masuk.

Saat ini aku sudah dewasa dan sudah bekerja sendiri. Mencari nafkah sendiri. Mandiri sudah tidak di beri uang jajan lagi oleh orang tua ku. Justru saat ini aku jarang sekali bangun lebih pagi. Ya walaupun bangun pagi tapi sudah agak siang dan matahari sudah keburu naik. Walaupun khasiat sinar mataharinya masih baik untuk tubuh. Karena pekerjaanku yang menuntutku untuk melek sampai lewat tengah malam. Ya aku bekerja di malam hari sebagai perawat jaga di rumah sakit. Membuatku menjadi makhluk nocturnal. Ya makhluk yang jam biologisnya terbalik dari mamalia berkaki dua yaitu manusia pada umumnya. Malam jadi siang. Siang jadi malam. Begitulah setiap harinya. Pagi atau siang harinya aku justru istirahat. Tidur satu-satunya istirahat yang paling efektif.

Suatu ketika aku harus merawat salah satu pasien penyakit pneumonia. Penyakit yang menyerang  paru-paru. Pasien sulit bernafas. Maka dibantu oleh alat bernama ventilator. Melihatnya saja sudah membuatku ngilu. Mirisnya, penyakit ini menular lewat udara dan droplet. Cairan dari hidung atau mulut seperti air liur. Maka aku harus menggunakan perlengkapan yang lebih dari biasanya. Menggunakan masker, faceshield, dan lain-lainnya. Seperti orang yang bekerja di pabrik pembuatan microchip. Harus steril. APD lengkap. Ini standar umum menangani pasien penyakit menular. Untung bukan ebola. Amit-amit.

Aku bekerja dengan ekstra hati-hati agar tidak ada terjadi kesalahan dalam menangani pasien ini. Bahkan pada beberapa kesempatan aku harus membaca lebih dari satu kali dosis obat yang diberikan kepada pasien. Sampai-sampai rekan kerja ku menyebutku si super teliti. Ya ini bukan main-main penyakit ini kawan. Bahkan aku tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap kesalahan. Harus sempurna. Bukan untuk menutupi kelemahan diri seperti kata Gary Vee bukan! Ini untuk menolong orang lain. Demi nyawa orang lain.

Esoknya aku seperti biasa datang ke rumah sakit, absen. Lalu menuju ruang ganti pakaian. Aku melihat rekan kerjaku yang sedang duduk menghadapi loker pakaian. Sebuah bangku dari stainless panjang diantara deretan loker yang berhadapan. Cukup luas posisinya sehingga tidak akan saling berbenturan ketika membuka pintu loker. Dia tertunduk lesu dan menatapku. Baru saja aku mau mengenakan APD dia bilang kalau pasien ku itu sudah meninggal tadi sore dua jam sebelum aku berangkat ke rumah sakit. Akupun hanya tertunduk lesu. Mataku perlahan ber air. Buru-buru kuusap dengan kedua tanganku sambil duduk di samping rekanku itu.

Maut, siapa yang tahu kan. Kemaren kupikir kondisi pasien sudah mulai membaik. Terlihat begitu tenang. Raut wajahnya tidak seperti hari-hari sebelumnya yang muram. Terakhir kali dia tersenyum. Pria tua yang malang. Bahkan anak-anaknya tidak selalu bisa menemaninya seharian barang satu kali saja sejak di rawat. Mungkin itu ekspresi bahagianya. Ada orang lain yang mungkin seusia denganku. Rela begadang untuk merawat orang tua entah siapa. Dengan begitu telaten dan rajin. Tapi ini memang tugas kami sebagai perawat. Untuk merawat pasien tanpa mengenal ras, agama, suku, warna kulit, status sosial bahkan. Ini pekerjaanku dan aku mencintainya. Mungkin seperti pacar atau istri. Ya aku sudah menikahi pekerjaanku selama tujuh tahun sejak magang bahkan. Sebelum lulus dari akper. Aku sudah bekerja. Kata orang-orang di rumah sakit itu aku begitu ulet dan tidak pernah mengeluh plus ramah. Bukannya seharusnya begitu? Entahlah itu hanya orang lain yang bisa menilai kerjaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun