REVOLUSI SPIRITUAL
Menyaksi keriuhan dan kegaduhan politik khususnya yang berkaitan hanya dengan pilkada DKI Jakarta 2017. Rasanya seperti menyaksikan seluruh rakyat Indonesia sedang terperangah terperanjat melihat kehebatan dirinya sebagai satu kesatuan bangsa yang bernegara.
Tersaksikan demikian banyak orang hebat yang tampak bebas mengebu-gebu berani melontarkan kata-kata seenaknya terhadap mereka yang mendapat kehormatan “dipercaya rakyat.”
Tersaksikan demikian banyak pula orang yang berusaha menjual dirinya agar dapat sebutan sebagai aktivis rakyat yang sangat sensitif (peduli) dengan nasib rakyat.
Sementara. Hampir seluruh sudut NKRI masih saja sering terjangkiti penyakit kronis yang disebut demonstrasi.
Demonstrasi agaknya biasa jadi alat siapa saja untuk mengganggu, memaksa siapa saja yang berwenang untuk mengambil tindakan yang dituntut para demonstran.
Demonstrasi yang awalnya dipakai sebagai sarana unjuk rasa bersama, berubah menjadi sarana seperti unjuk kekuatan oleh mereka yang punya kepentingan-kepentingan tertentu.
Demonstrasi dengan unjuk kekuatan pasti diramaikan dengan atraksi anarkisme sudah memuakkan. Tapi tampaknya masih ada yang ingin melestarikan.
Berbagai unjuk rasa dan ujuk kekuatan yang “disosialisasikan” para “aktivis” walau dengan berganti-ganti atribut mulai terasa menjenuhkan dan menganggu kehidupan warga masyarakat dan kerja aparat pemerintah. Banyak unjuk rasa yang ditayangkan televisi cuma jadi tontonan yang tak mendidik.
Rakyat melihat dan menyaksi. Zaman sudah berubah. Jika dulu pemimpin harus memberi komando kepada yang dipimpin. Sekarang. Khususnya di DKI, mereka yang memimpin dan yang dipimpin harus merasa “saling diawasi” supaya semuanya sadar harus bekerja benar. Setiap pemimpin harus siap dipimpin. Yang dipimpin harus siap jadi pemimpin tapi berpantang menjegal siapapun pemimpinnya.
Adalah Ahok yang terpaksa harus pernah menjadi kutu loncat yang melompat-lompat dari satu partai ke partai lain karena punya hobi menjadi pemimpin yang melayani rakyat.