Mohon tunggu...
Asfarina Amanda Putri
Asfarina Amanda Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Administrasi Publik, FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bantuan Dunia Yang Terkorupsi: Luka Indonesia di Masa Pandemi

4 Juli 2025   00:52 Diperbarui: 4 Juli 2025   12:53 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi COVID-19 pernah membawa kita ke masa paling sulit dalam sejarah modern. Di tengah kesedihan dan ketakutan, bantuan berdatangan. Negara-negara sahabat, lembaga internasional seperti World Health Organization (WHO) dan Bank Dunia, ikut membantu Indonesia lewat dana, alat kesehatan, hingga dukungan teknis. Tapi apa yang terjadi?

Bantuan yang seharusnya menyelamatkan justru dikorupsi. Salah satu kasus paling mencolok adalah bansos COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Skandal itu membuka mata kita bahwa bahkan di masa darurat pun, korupsi bisa tetap tumbuh, menyakiti orang-orang yang paling membutuhkan.

Sebagai mahasiswa Administrasi Publik, saya mempelajari kasus ini dalam mata kuliah Pendidikan Antikorupsi. Dosen saya pernah berkata, “Korupsi tidak dimulai dari niat, tapi dari celah.” Dan nyatanya, sistem pengadaan bantuan yang tertutup tanpa pengawasan, menjadi ladang subur praktik kotor itu.

Saya membayangkan wajah mereka yang seharusnya mendapat bansos, tapi hanya menerima sebagian. Atau tidak sama sekali. Lalu bagaimana perasaan para donor luar negeri yang memberikan kepercayaan, tapi malah dikhianati?

Korupsi bantuan internasional bukan hanya soal uang yang hilang. Tapi juga soal kepercayaan global, reputasi bangsa, dan solidaritas yang ternodai.

Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan bantuan internasional adalah lemahnya sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat. Banyak bantuan yang seharusnya langsung menyasar masyarakat justru terhambat di tingkat birokrasi karena kurangnya keterbukaan data dan ketidakhadiran sistem pelaporan publik yang mudah diakses. Transparansi bukan hanya soal dokumen yang diumumkan, tetapi juga bagaimana informasi itu dapat dipahami dan digunakan oleh masyarakat untuk mengawasi.

Oleh karena itu, upaya untuk mencegah korupsi bantuan internasional harus dilakukan secara menyeluruh. Pertama, dengan memperkuat mekanisme audit independen terhadap dana bantuan luar negeri. Kedua, membangun sistem pelaporan digital yang dapat diakses masyarakat luas secara real time. Ketiga, memperluas pendidikan antikorupsi di tingkat masyarakat, bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga melalui media sosial, kampanye publik, dan kegiatan komunitas. Dan yang terpenting, pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi bantuan asing yang masuk ke Indonesia.

Kini saat dunia bergerak ke arah pemulihan, Indonesia punya peluang jadi pemimpin baru di kawasan. Tapi untuk itu, kita harus memperbaiki cara kita mengelola bantuan. Data pengadaan harus terbuka, masyarakat harus bisa mengawasi, dan pejabat harus punya sistem pertanggungjawaban yang jelas.

Kini di tahun 2025, saat pandemi telah berlalu, kasus-kasus korupsi bantuan internasional di masa krisis tetap menjadi luka yang belum sembuh. Kita memang mulai menata ulang sistem pengadaan, memperkuat transparansi, dan memperbaiki reputasi diplomatik. Tapi pertanyaan besarnya masih menggantung: apakah kita sudah belajar cukup? Tulisan ini lahir dari keresahan saya sebagai generasi muda yang menyaksikan, mencatat, dan ingin ikut memperbaiki agar kesalahan serupa tidak terulang dalam bentuk bantuan global berikutnya.

Korupsi adalah luka. Tapi saya percaya integritas bisa menyembuhkannya, dimulai dari kita.

Asfarina Amanda Putri
Mahasiswa Administrasi Publik
FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun