Tanah yang Liar, Benih yang Gelisah: Catatan dari Ruang Tumbuh
Di banyak sudut desa, di antara warung kopi dan perpustakaan kecil, pencarian makna berlangsung diam-diam. Tidak semua datang dari ruang akademik. Banyak yang belajar dari jalan, dari puisi yang tidak diajarkan, dari keheningan yang tidak diberi panggung.
Pencarian itu tidak selalu dimulai dengan niat besar. Kadang hanya dari satu kalimat yang menggugah, seperti yang ditulis W.S. Rendra:
"Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."
Kalimat itu menjadi penanda batin. Bukan untuk menjawab, tapi untuk membuka ruang bertanya---tanpa tergesa, tanpa peta, tanpa janji akan sampai.
Tanah tempat pencarian itu tumbuh tidak selalu rapi. Ia liar. Ia menolak format. Ia tidak tunduk pada sistem. Tapi justru di sanalah benih-benih makna mulai menggeliat: dari luka yang tidak diumbar, dari dialog yang tak selesai, dari komunitas yang belajar merawat kehadiran tanpa pamrih.
Kesadaran tidak datang sebagai kilatan, tapi sebagai cahaya yang pelan. Ia menyentuh, bukan menyuruh. Ia mengajak, bukan menggurui. Dan kesabaran menjadi tanah tempat belajar menunggu---bukan untuk hasil, tapi untuk pemahaman yang tumbuh perlahan. Di sana, keberanian bukan tentang melawan, tapi tentang melangkah meski arah belum jelas.
Perjuangan, akhirnya, bukan tentang hasil. Ia adalah kesetiaan pada kata-kata yang diyakini, meski dunia tidak selalu mendengarkan. Ia adalah tindakan kecil yang terus dilakukan, meski tidak viral, meski tidak diberi panggung. Ia adalah pelaksanaan nilai, bukan pencapaian angka.
Ijazah tidak selalu digantung di dinding. Sertifikat tidak selalu membenarkan langkah. Tapi jalan tetap menjadi ruang belajar. Obrolan warung, puisi yang tidak selesai tapi terus hidup, komunitas yang tidak menguji tapi menemani, buku yang tidak menggurui tapi mengajak berdialog---semuanya menjadi ruang tumbuh.
Salah satu puisi yang paling menggugah datang dari Umbu Landu Paranggi, dalam Sajak Dalam Angin:
"Sebelum langkah pengembara (hati buruan cakrawala) Â
Sebelum selaksa kata (sesaji upacara duka) Â
Sebelum cinta itu bernama (sukma menguji cahaya)"
Di sana, tidak ada kesendirian. Ada jejak sunyi yang mendahului. Ada puisi yang membuka jalan. Ada keheningan yang mengajak berdialog. Dari Umbu, puisi bukan sekadar bentuk, tapi cara hidup. Keheningan bisa lebih mendidik daripada pidato. Menjadi guru tidak harus memiliki panggung---cukup memiliki kesetiaan.