Mohon tunggu...
Asep Sukarna
Asep Sukarna Mohon Tunggu... Freelancer

Penjaga aroma yang tidak pernah selesai. Menulis bukan untuk menjelaskan, apalagi mengejar rating. Aku menulis hanya untuk menyeduh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tumbuh Miring: Estetika dari Ketidakseimbangan

9 Agustus 2025   06:05 Diperbarui: 9 Agustus 2025   06:05 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menanam pohon Mahoni itu pada tahun 2015. Tingginya kira-kira satu meter kala itu---rapuh, tegak, dan penuh kemungkinan. Kini, sepuluh tahun berlalu, ia tumbuh miring ke arah utara. Bukan karena kesalahan, bukan karena kelalaian, tapi karena sesuatu yang tak bisa kutentukan: mungkin angin, mungkin cahaya, mungkin tanah yang perlahan bergeser.

Utara bukan arah yang hangat. Ia bukan tempat matahari terbit, bukan tempat matahari tenggelam. Tapi pohon itu condong ke sana, seolah memilih arah yang tak dijanjikan kenyamanan. Setiap pagi, bayangannya menyilang jalan setapak di depan rumah. Tidak sejajar, tidak simetris. Tapi justru dari kemiringannya, aku belajar tentang arah yang tidak dipaksakan---tentang bentuk yang lahir dari tekanan, bukan dari rencana.

Kini, pohon itu menjulang sekitar enam hingga sembilan meter. Tingginya bukan hasil dari garis lurus, tapi dari garis yang condong ke utara. Ia tumbuh sambil melawan gravitasi, menyesuaikan diri dengan angin, cahaya, dan mungkin juga bayangan rumahku sendiri. Setiap meter yang ia capai adalah tahun yang berlalu---dan setiap kemiringan yang ia pilih adalah keputusan yang tak pernah kuambil, tapi tetap kuizinkan.

Di hadapannya, aku belajar bahwa pertumbuhan tidak selalu berarti naik. Kadang ia berarti condong. Kadang ia berarti memilih arah yang tidak populer, tidak nyaman, tapi tetap dijalani. Dan barangkali, dalam kemiringan itu, ada estetika yang tak bisa dijelaskan oleh simetri.

Simetri sebagai Norma, Miring sebagai Tafsir

Dalam banyak kebudayaan, simetri dianggap sebagai tanda keteraturan. Arsitektur klasik dibangun dengan poros tengah yang seimbang; tubuh manusia dinilai ideal jika proporsional; bahkan dalam bahasa, kita cenderung menyukai kalimat yang berimbang. Simetri memberi rasa aman, seolah dunia bisa dikendalikan jika bentuknya teratur.

Namun, kemiringan mengganggu kenyamanan itu. Ia menolak garis tengah, menolak keseimbangan yang dipaksakan. Dalam seni rupa kontemporer, kemiringan menjadi bahasa ekspresi: lukisan yang tidak sejajar, instalasi yang menggantung miring, atau bangunan yang tampak oleng tapi tetap berdiri. Dalam pertanian, ladang di lereng bukit tidak bisa ditanami dengan pola simetris---ia menuntut adaptasi, bukan keseragaman.

Kemiringan bukan cacat. Ia adalah tafsir. Ia menunjukkan bahwa bentuk bisa lahir dari tekanan, bukan dari rencana. Bahwa arah bisa dipilih bukan karena nyaman, tapi karena perlu. Seperti pohon Mahoni di depan rumahku, yang tumbuh miring ke utara bukan karena ingin, tapi karena harus.

Dan barangkali, dalam kemiringan itu, ada keberanian yang tak terlihat: keberanian untuk tetap tumbuh meski tidak lurus, untuk tetap berdiri meski tidak seimbang, untuk tetap menjadi meski tidak sesuai.

Ketidakseimbangan sebagai Proses

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun