Ada jenis hubungan yang tidak pernah meledak, tapi selalu membuat kita lelah. Bukan karena konflik terbuka, tapi karena kebaikan yang terlalu sering datang dengan tanda tanya. Saya pernah berada di situ---berulang kali. Diberi banyak hal, dibantu dengan tulus katanya, tapi setiap kali saya ingin berkata "tidak," rasanya seperti menolak kemanusiaan itu sendiri.
Lama-lama saya sadar: bukan saya yang tidak tahu berterima kasih, tapi ada pola yang membuat saya merasa bersalah secara tidak adil. Kebaikan itu bukan sekadar pemberian, tapi alat kontrol. Dan saya bukan satu-satunya yang pernah mengalaminya.
Ketika Kebaikan Menjadi Tali Tak Terlihat
Dalam sebuah proyek kolaborasi, saya pernah menerima bantuan teknis dari seseorang yang tampak sangat suportif. Ia menawarkan akses, waktu, bahkan tenaga, tanpa diminta. Awalnya saya merasa beruntung---dukungan seperti itu jarang datang. Tapi seiring waktu, saya mulai merasakan tekanan yang tidak diucapkan. Setiap keputusan yang saya ambil, setiap arah yang saya pilih, seolah harus mendapat persetujuannya. Ketika saya mencoba menetapkan batas, muncul sindiran halus: "Saya sudah bantu banyak, masa kamu nggak bisa kompromi sedikit?"
Saya tidak langsung menyadari bahwa ini bukan sekadar dinamika kerja. Ada rasa bersalah yang ditanam pelan-pelan. Saya mulai mempertanyakan keputusan saya sendiri, bukan karena salah, tapi karena takut dianggap tidak tahu berterima kasih.
Pola yang Terlalu Umum untuk Dianggap Kebetulan
Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam relasi personal. Dalam banyak konteks sosial---kerja, komunitas, bahkan keluarga---kebaikan sering kali datang dengan harga tersembunyi. Bukan uang, tapi kendali. Ketika seseorang memberi terlalu banyak tanpa ruang untuk menolak, relasi itu berubah dari setara menjadi hierarkis. Penerima bantuan tidak lagi punya otonomi penuh, karena setiap pilihan bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap "kebaikan."
Secara psikologis, rasa bersalah adalah alat kontrol yang sangat efektif. Ia tidak memaksa secara langsung, tapi membuat kita memaksa diri sendiri. Kita menunda keputusan, mengorbankan arah, bahkan membungkam intuisi---semata agar tidak dianggap tidak tahu diri.
Belajar Membaca Ulang Kebaikan
Kebaikan seharusnya membebaskan, bukan mengikat. Namun dalam praktiknya, banyak relasi membungkus kontrol dengan empati. Kita perlu belajar membaca ulang bentuk-bentuk kebaikan yang kita terima: apakah ia memberi ruang untuk berkata "tidak"? Apakah ia hadir tanpa ekspektasi balasan?