Mohon tunggu...
Asep Sukarna
Asep Sukarna Mohon Tunggu... Freelancer

Penjaga aroma yang tidak pernah selesai. Menulis bukan untuk menjelaskan, apalagi mengejar rating. Aku menulis hanya untuk menyeduh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kerja-kerja Jurnalistik Ini untuk Siapa?

5 Agustus 2025   00:02 Diperbarui: 5 Agustus 2025   00:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Refleksi Diri (Ilustrasi by Oetoenk)

 Refleksi tentang jurnalisme personal, tradisi lisan, dan suara warga yang tertahan oleh regulasi

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."  

--- Pramoedya Ananta Toer

Aku membaca kutipan itu bukan sebagai nasihat, tapi sebagai peringatan. Di tengah riuhnya informasi, algoritma, dan narasi yang saling berebut ruang, aku bertanya pada diriku sendiri: Kerja-kerja jurnalistik ini untuk siapa?  

Pertanyaan itu bukan untuk dijawab dengan teori, melainkan untuk dirasakan. Ia muncul dari dorongan untuk menulis, bukan sekadar sebagai profesi, tapi sebagai bentuk tanggung jawab. Bukan hanya kepada publik, tapi juga kepada diriku sendiri---agar tidak tenggelam, agar jejakku tak lenyap begitu saja.

Ketika Jurnalisme Personal Terbentur Regulasi

Aku tidak menulis karena ingin disebut wartawan. Aku menulis karena ada sesuatu yang ingin disimpan, sesuatu yang ingin disuarakan. Tapi di negeri ini, menulis tentang kenyataan bisa jadi perkara hukum.

Jurnalisme personal---yang lahir dari pengalaman, pengamatan, dan keresahan individu---sering kali tidak diakui sebagai bagian dari kerja jurnalistik formal. Ia tidak mendapat perlindungan hukum, tidak masuk dalam definisi "pers" menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Maka ketika seseorang menulis tentang ketidakadilan, tentang trauma kolektif, atau tentang suara minor, ia bisa dianggap melanggar hukum.  

UU ITE menjadi bayang-bayang yang menakutkan. Pasal-pasalnya bisa menjerat siapa saja yang menyampaikan kebenaran tanpa stempel institusi. Bahkan jika niatnya adalah untuk kepentingan publik, jurnalisme personal tetap rentan terhadap tuntutan, intimidasi, dan penghapusan.

Bangsa yang Tidak Berkultur Literat

Indonesia bukan bangsa yang tumbuh dari tradisi menulis. Kita bukan masyarakat literat, melainkan masyarakat yang mendengarkan. Kita tumbuh dari dongeng para pendahulu, dari cerita rakyat yang disampaikan di beranda rumah, dari petuah yang diwariskan lewat lisan, bukan lewat tulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun