Jalan Berliku Program Makan Bergizi Gratis: Antara Janji, Realita, dan Solusi di Lapangan
Program Makan Bergizi Gratis, atau yang lebih dikenal dengan singkatan MBG, kini tengah menjadi sorotan dan cukup populer di berbagai kalangan. Program ini hadir bukan sekadar sebagai wacana, tetapi sebagai upaya nyata untuk menghadirkan akses makanan bergizi yang layak bagi masyarakat.
Popularitas program pemerintah ini bagai rollercoaster. Di puncaknya, ada embel-embel "janji kampanye Prabowo" dan angka-angka fantastis dari APBN yang menjulang tinggi, menciptakan ekspektasi masyarakat akan perubahan yang masif. Namun, di titik terendah, program ini harus menghadapi ujian getir di lapangan.
Layar televisi kini kerap menayangkan berita pilu: puluhan siswa terjangkit keracunan usai mengonsumsi menu yang seharusnya menyehatkan. Seperti yang terjadi di Garut, insiden tersebut bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerita tentang anak-anak yang menjadi korban, yang menggeser narasi indah program ini menjadi pertanyaan besar tentang keamanan dan kualitas eksekusinya.
MBG di SDN 4 Air Kumbang
Setelah melalui berbagai uji coba di sejumlah sekolah, akhirnya program MBG resmi diluncurkan di Kecamatan Air Kumbang. Meski begitu, tidak semua sekolah langsung mendapat kesempatan merasakan manfaatnya.
Alasannya, di wilayah ini baru tersedia satu Dapur MBG, tepatnya di Desa Kumbang Padang Permata. Kapasitas dapur tersebut pun dibatasi sesuai dengan ketentuan, hanya boleh melayani maksimal 3.000 siswa.
Di tengah aturan pembatasan itu, kami dewan guru dan staff merasa begitu bersyukur, karena SDN 4 Air Kumbang, tempat saya mengabdi, termasuk dalam kelompok pertama yang beruntung mendapatkan program ini.
Sejak 25 Agustus, siswa-siswi SDN 4 Air Kumbang mulai merasakan manfaat dari program unggulan Presiden Prabowo ini. Karena baru pertama kali, suasana begitu meriah, anak-anak tampak gembira bisa makan bersama di sekolah. Yang paling bahagia justru mereka yang biasanya tidak pernah jajan, karena keterbatasan ekonomi. Kini, dengan adanya program ini, mereka pun dapat menikmati santapan bergizi layaknya teman-temannya.
Mempertahankan Mutu, Perlu
Sebuah program, layanan, ataupun produk, hanya akan bertahan lama dan dicintai oleh penggunanya jika mampu menjaga kualitas. Tanpa kualitas yang konsisten, sebaik apa pun ide dan sebesar apa pun promosi, semuanya akan cepat kehilangan daya tarik.
Berbicara tentang kualitas, hampir sebulan sejak program MBG berjalan di sekolah kami, mulai bermunculan beragam komentar dari para orang tua wali murid. Ada yang bernada positif, ada pula yang menyampaikan kritik.
"Alhamdulillah, lumayan bisa mengurangi pengeluaran uang jajan," ungkap seorang ibu yang tengah mengantar anaknya di kelas 1 ketika ditanya tentang manfaat program ini.
Namun, suara lain muncul dengan nada berbeda. "Kok, rasanya makin ke sini makin berkurang, ya? Buktinya sisa makanan yang terkumpul semakin banyak," ujar seorang wali murid sambil menunjuk wadah khusus berisi nasi dan lauk yang tak habis disantap anak-anak.
Alhamdulillah, lebih dari sebulan pelaksanaan MBG di sekolah kami berjalan cukup baik. Memang ada sedikit riak ketidakpuasan, namun masih dalam batas wajar, jauh berbeda dengan pemberitaan di televisi yang sering terdengar heboh dan penuh sorotan.
Guru, Tambah Pekerjaan
Dalam pelaksanaan MBG, banyak pihak yang ikut terlibat, bahkan guru pun secara tidak langsung turut ambil bagian. Mengapa demikian? Sebab, tim MBG hanya bertugas menurunkan dan menyusun makanan di teras sekolah, sementara urusan membagikannya diserahkan sepenuhnya kepada guru.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu keluhan, karena menambah beban di luar tugas utama mereka. "Padahal tugas guru itu hanya mendidik," ungkap seorang guru dengan nada sedikit keberatan.
Ada sebuah cerita yang cukup menggelitik dari seorang guru. Dengan nada heran ia berkata, "Masa, Pak, kalau takut keracunan, makanan yang akan diberikan kepada siswa harus dicicipi dulu oleh guru? Masa guru disamakan dengan kelinci percobaan."
Selidik punya selidik, ternyata, guru tersebut sebelumnya sempat membaca sebuah berita di portal detikJogja yang memuat pernyataan Sekda Sleman, Yogyakarta. Dalam berita itu disebutkan bahwa guru diminta mencicipi makanan bergizi gratis (MBG) terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada siswa.
Pernyataan tersebut muncul setelah insiden keracunan yang menimpa ratusan siswa SMP di Kapanewon Mlati, Sleman, usai mengonsumsi makanan dari program MBG. Saat itu, disampaikan bahwa guru sebaiknya mencicipi hidangan MBG lebih dulu sebagai bentuk kehati-hatian sebelum sampai ke tangan para siswa.
Bahkan, menurut guru yang lainnya, pernah terjadi di sebuah daerah, wadah nasi MBG hilang di sekolah, dan akhirnya gurulah yang harus menggantinya. Mendengar cerita itu, kami pun semakin berhati-hati. Di sekolah kami, pengawasan diperketat agar hal serupa tidak terjadi. Kami selalu mewanti-wanti siswa, begitu selesai makan, wadah harus segera dikumpulkan, tentunya di bawah pengawasan guru.
MBG, Perlu Dievaluasi ?
Akhir-akhir ini, berita mengenai kasus siswa yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan bergizi gratis (MBG) semakin sering muncul, baik di televisi maupun di portal berita online.
Di Garut nisalnya, dilansir dari Media Indonesia (https://mediaindonesia.com), Kepala Seksi Humas Polres Garut, Ipda Susilo Adhi, menyampaikan bahwa berdasarkan data yang diperoleh terdapat 649 pelajar masuk dalam kategori populasi berisiko. Dari jumlah tersebut, 150 pelajar mengalami gejala, sementara 30 orang harus menjalani perawatan di Puskesmas.
Sementara itu di Bandung Barat, dilansir dari CNN Indonesia (https://www.cnnindonesia.com), Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat jumlah korban keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dalam dua hari terakhir mencapai 842 siswa dari beberapa sekolah. Rinciannya, terdapat 393 siswa di Cipongkor pada Senin hingga Selasa, lalu bertambah lagi 449 siswa di Cipongkor dan Cihampelas pada hari berikutnya.
Situasi ini membuat kami, para guru di SDN 4 Air Kumbang, merasa was-was, bahkan tidak bisa menutupi rasa takut jika hal serupa menimpa siswa kami.
Berita tersebut pun memancing beragam tanggapan. Ada yang berpendapat program ini sebaiknya dihentikan, ada pula yang mengusulkan dialihkan ke bentuk lain asalkan tetap bermanfaat bagi siswa.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, angkat bicara, beliau menyerukan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah menjadi sorotan setelah muncul kasus keracunan di beberapa daerah.
Meski demikian, Puan menegaskan bahwa persoalan ini tidak seharusnya menjadi ajang saling menyalahkan. Menurutnya, program MBG harus dijadikan bahan evaluasi bersama agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi.
Dilansir dari iNews.id, setelah memimpin rapat paripurna DPR pada Selasa (23/9), Ketua DPR menyampaikan pernyataan penting terkait program MBG. Ia menegaskan, "Evaluasi itu harus dilakukan secara total. Jangan saling menyalahkan, tapi mari kita evaluasi bersama supaya kejadian ini tidak terulang."
Dicari Solusi, Bukan BerhentiÂ
Di satu sisi, pihak sekolah menyambut baik program MBG dengan harapan bahwa implementasinya tidak justru menjadi beban tambahan bagi para guru. Kekhawatiran utama adalah agar tugas utama guru, yaitu mendidik dan membimbing murid, tetap menjadi fokus utama. Untuk itu, diperlukan solusi yang tepat dalam hal pendistribusian bekal agar proses tersebut dapat berjalan lancar sampai ke tangan murid tanpa mengganggu konsentrasi mengajar guru.
Di sisi lain, wali murid melihat program ini sebagai terobosan yang sangat positif. Program ini tidak hanya meringankan beban pengeluaran keluarga untuk menyiapkan bekal anak, tetapi juga mendapat apresiasi dan harapan agar dapat berlanjut secara berkelanjutan. Syarat utamanya adalah program ini harus dipastikan aman dan tidak berisiko bagi kesehatan anak-anak mereka. Pada akhirnya, solusi untuk memenuhi harapan kedua belah pihak (sekolah dan orang tua) serta menjamin keberhasilan dan keamanan program ini, berada di tangan pemangku kebijakan untuk merancang mekanisme yang optimal.
Sebagai upaya untuk meminimalisir kejadian keracunan yang marak terjadi pasca konsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG), sebuah alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan adalah dengan menyerahkan proses memasak kepada orang tua murid masing-masing. Logika dasarnya sederhana: orang tua tentu akan menyajikan yang terbaik dan paling higienis bagi anaknya sendiri.
Kebijakan seperti ini akan menyederhanakan sistem secara signifikan. Pemerintah tidak lagi dibebani oleh kompleksitas logistik pendistribusian yang melibatkan banyak pihak. Alur pendanaannya dapat dilakukan dengan mentransfer dana langsung kepada wali murid atau melalui sekolah untuk kemudian disalurkan. Di sisi pendidikan, guru dapat kembali fokus pada tugas utamanya, yaitu mengajar.Â
Pada waktu makan siang, peran guru hanya mengkoordinasikan dengan memimpin sesi makan bersama, seperti mengajak siswa membuka bekalnya dan berdoa. Selain itu, keluhan siswa tentang rasa makanan yang "tidak enak" atau "basi" dapat dihindari karena makanan dimasak pada pagi harinya, sehingga lebih fresh dan sesuai selera anak.
Yang tidak kalah pentingnya, pendekatan ini memiliki dampak ekonomi lokal yang sangat positif. Bayangkan, dalam satu sekolah dengan 200 siswa, berarti ada 200 kepala keluarga yang akan memasak setiap harinya. Aktivitas ini akan mendorong sirkulasi ekonomi di level desa. Para orang tua akan berbelanja ke warung-warung atau pedagang sayur keliling, yang pada gilirannya membeli hasil tani langsung dari petani lokal. Sebaliknya, jika masak dilakukan oleh Dapur MBG terpusat, besar kemungkinan bahan baku dibeli secara borongan dari pasar induk di kota. Hal ini justru memutus rantai ekonomi desa dan membuat pelaku usaha lokal tidak ikut menikmati manfaat dari program tersebut.
Dengan demikian, melibatkan orang tua secara langsung bukan hanya solusi untuk masalah keamanan pangan dan efisiensi, tetapi juga menjadi katalisator untuk memutar roda perekonomian di tingkat akar rumput.
Penutup
Sebenarnya, ide semacam ini bukanlah hal yang baru dan telah banyak dibahas oleh para pakar dan orang-orang yang berilmu. Saya hanya menyampaikan sudut pandang pribadi seorang yang biasa saja, yang kebetulan menjalani profesi sebagai guru sekaligus petani. Dari posisi saya inilah, harapan yang terdalam terlahir: semoga program mulia ini tidak terhenti dan dapat terhindar dari berbagai kegaduhan yang terjadi saat ini.
Impian besarnya adalah agar setiap pihak dapat berkonsentrasi pada peran utamanya. Guru bisa fokus mencerdaskan anak didik, sementara jajaran Dinas dan instansi terkait dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dengan optimal. Dan untuk urusan yang paling mendasar seperti memasak, mari kita percayakan sepenuhnya kepada wali murid. Dengan skema ini, kita semua berharap agar kejadian pilu seperti keracunan pada siswa dapat dihapus dari catatan kita untuk selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI