Senandung Pagi dan Hikmah Guru: Ilmu Sebagai Pelita Kehidupan
Pagi itu, langit April 2025 membentang cerah di atas teras rumahku. Udara sejuk Sabtu pagi menemani saat aku duduk santai di kursi rotan, tangan menggenggam Tafsir Al-Mishbah Jilid 15, karya monumental Prof. Dr. Quraish Shihab, sang maestro tafsir Indonesia. Perlahan, kubuka lembaran yang mengupas Surah Al-'Alaq, ayat-ayat awal yang memantik revolusi ilmu dalam sejarah manusia.Â
Setiap kata, setiap penjelasannya, kusimak dengan khidmat. Aku larut dalam samudra makna yang dalam, berusaha mencerna tafsir demi tafsir, seolah tak ingin ada satu pun mutiara hikmah yang terlewat.
Di tengah heningnya pagi, tiba-tiba terngiang suara guru ngajiku dahulu, saat aku masih belajar "ngaji kitab gundul". Suaranya berat, penuh wibawa, mengingatkan:Â
"Hirup kudu luhung ku elmu, jembar ku panalar, jeung sugih ku pangarti, ngarah teu dibobodo batur." (Hidup harus tinggi ilmu, luas nalar, dan kaya pemahaman, agar tidak dibodohi orang lain).Â
Kalimat itu seperti petir di siang bolong, mengingatkanku betapa pengetahuan bukan sekadar hafalan, tapi tangga untuk meraih kebijaksanaan. Guru itu tak hanya mengajariku membaca kitab, tapi juga mendidikku tentang cara berpikir, tentang pentingnya mendalami ilmu, memperluas logika, dan memperkaya pemaknaan. Agar hidup tak sekadar dijalani, tapi dipahami.Â
Nasihat-nasihatnya tak sekadar kata-kata, melainkan aliran semangat yang mampu menembus hati dan membangkitkan jiwa yang lesu. Beliau adalah sosok yang tak pernah jemu mengingatkan, bahwa mencari ilmu adalah tugas mulia yang tak dibatasi oleh ruang dan waktu (usia), atau keadaan. Baginya, setiap detik dalam hidup adalah kesempatan untuk belajar, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada kebenaran.
"Belajarlah sepanjang hayat," katanya suatu hari setelah selesai mengajar tentang "Piqh", dengan tatapan yang menyiratkan keyakinan mendalam. Ucapannya sederhana, namun sarat makna. Ia percaya, selama hayat masih dikandung badan, manusia tak boleh berhenti tumbuh, baik dalam pengetahuan maupun dalam kebijaksanaan. Ilmu bukan hanya milik bangku sekolah atau ruang kuliah, tapi milik siapa pun yang haus akan pemahaman dan kemanfaatan hidup.
Di setiap kesempatan, beliau menanamkan nilai penting: hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi tentang seberapa jauh kita dapat memberi arti bagi orang lain. "Jadilah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya," ucapnya lembut, namun tegas. Sebuah kalimat yang terpatri kuat dalam ingatan siapa pun yang pernah mendengarnya. Ia lalu mengutip sabda mulia dari Rasulullah saw., "Khoiru an-naasi anfa'uhum lin-naas", sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Nasihat itu tidak hanya menjadi pengingat, tetapi juga menjadi arah, bahwa ilmu bukan untuk disimpan dalam lemari pengetahuan, melainkan untuk dibagikan, untuk menerangi jalan orang lain, untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan zaman. Dan dari beliau, kita belajar bahwa menjadi manusia yang bermanfaat bukanlah pilihan, melainkan panggilan suci dalam hidup ini.
Ilmu, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat, jika diamalkan, akan membawa manfaat yang besar bagi orang lain. Ilmu ibarat cahaya (sebagaimana ungkapan Al-'ilmu nrun) yang menerangi jalan kehidupan. Dengan ilmu, kita mampu menjelaskan dengan jernih, membimbing dengan benar, dan memberikan penerangan bagi mereka yang tengah berjalan dalam gelapnya ketidaktahuan. Ilmu yang diamalkan tak hanya menyinari diri sendiri, tetapi juga menjadi lentera bagi sekelilingnya.