Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Muntinghe

28 Juli 2020   09:01 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:09 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi yang menekuni sejarah Subang, agaknya lebih akrab dengan Pieter Willem Hofland. Seorang yang dianggap sebagai peletak dasar atau cikal-bakal Subang menjadi sebuah kota sekarang.

Ya, memang benar. Bahwa ditangannya lah, bersama saudaranya yang bernama Thomas Benyamin Hofland, pada tahun 1840 mengambil alih P&T Land dari tangan Inggris. Di tahun 1845, saham Thomas Hofland dibeli sehingga akhirnya Pieter Hofland menjadi penguasa tunggal P&T Land.

Nama perusahaan perkebunan itu pun berganti menjadi Maatschapij tot Exploitatie van de Pamanoekan en Tjiasem. Dan dibawah kepemimpinannyalah, ia kemudian berhasil membawa perusahaan ini pada lajur kesuksesan.

Komoditas perkebunan mengalir ke Batavia. Mungkin nila, kopi, dan lainnya. Diperdagangkan di sana. Dan Hofland pulang membawa bergepok uang yang banyak. Kini, jejak kesuksesannya masih bisa kita lihat. Untuk mengenangnya, bahkan ada patung Hofland yang dulu ditempatkan di depan Societeit Subang. Itulah sekeping informasi yang kami baca di buku "Preanger Planters".

Namun, tahukah siapa orang-orang yang pertama kali membeli tanah menjadi asal muasal Subang ini? Ya. Ada tiga orang. Muntinghe, Sharpnell, dan Skeleton. Trio inilah yang mengusai tanah asal muasal Subang.

Kali ini kami hanya akan membahas Muntinghe. Salah satu dari tiga orang itu. Kebetulan kami baru saja membaca tulisan di Jurnal Humaniora. Ada naskah menarik berjudul "Korupsi dan Kolusi Pada Masa Raffles". Ditulis oleh seorang dosen UGM. Machmoed Effendhie.

Mengapa Muntinghe bisa membeli tanah seluas ini? Ternyata Muntinghe bukan orang biasa dan sembarangan. Nama lengkapnya adalah Herman Warner Muntinghe. Lahir di Amsterdam. Dan di akhir hidupnya ia menutup mata di Pekalongan Jawa Tengah. Usianya tak terlalu panjang, hanya 54 tahun.

Ia seorang birokrat tulen yang lolos dan terpakai terus dalam dua rezim. Masa Daendels dan juga Raffles. Barangkali ia seorang yang lihai dan mampu beradaptasi di zaman yang terus berubah. Mungkin karena kepandaiannya dan kemampuan lobi, sehingga ia bisa terus eksis di masa Daendels yang Perancis, dan masa Raffles yang Inggris.

Pada masa Daendels, ia menjabat sekretaris gubernur jenderal dan ketua dewan Hindia. Dua jabatan penting yang memungkinkan ia berada dalam ring satu Daendels. Dan pada masa Daendels pula lah ia menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sebuah jabatan yang tak main-main, dan karena memang Muntinghe ini adalah seorang ahli hukum ketika belajar di Belanda sana.

Musim pun berganti. Nama Muntinghe tetap saja mencorong. Raffels bahkan menaruh kepercayaannya pada Muntinghe yang dianggap mumpuni dalam mengeksekusi programnya kelak. Termasuk ketika ia berkonsultasi dengan Muntinghe dalam hal ihwal penjualan sejumlah tanah persil di daerah Bandung Cianjur Karawang dan pesisir Jawa Tengah.

Waktu itu, Pamanukan dan Ciasem berada dalam Keresidenan Karawang, dengan residennya bernama W. Offers. Kebijakan Raffles salah satunya adalah sewa tanah, walaupun pada hakikatnya itu adalah jual beli yang diberikan hak penuh pada perseorangan untuk memiliki tanah tersebut, lengkap dengan penduduk yang ada didalamnya.

Raffles mungkin saja menganut faham kuno bahwa  semua tanah adalah milik penguasa. Sebagian tanah persil itu, khususnya nomor 3 dan 4 berlokasi di Pamanukan dan Tjiasem. Dengan batas utara Laut Jawa dan sebelah selatan Gunung Tangkuban Perahu.

Alangkah luas tanahnya. Alangkah menderitanya rakyat pada waktu itu. Dalam proses pelelangan tanah persil ini, Muntinghe masuk ke dalam komisi penjualan sebagai wakil sipil. Kedekatannya secara pribadi dengan Raffles, membuatnya mempungai previlege bisa membeli satu tanah persil di Pamanukan tanpa proses lelang.

Nah, persil nomor 3 dan 4 inilah yang kemudian dilelang dan berhasil dibeli oleh Sharpnell dan Skelton dengan jumlah biaya yang harus dibayar puluhan ribu dollar Spanyol. Muntinghe tak berhenti di situ. Ia juga membeli tanah lelang persil no 5 dan 6 yang kemudian hari menjadi tanah partikelir Indramayu barat. Kayaknya sih ini cikal bakal daerah Indramayu sekarang.

Pada akhirnya, tak ada kolonialisme yang "mending". Belanda, Perancis, dan Inggris sama saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun