Seberapa mahal harga pejabat yang malas membaca? Kita membayarnya dengan hal paling dekat sekaligus paling jauh, ompreng makan anak di sekolah dan dompet negara di kas pemerintah.
Di satu sisi, ada cerita susu instan yang bikin perut anak mual. Di sisi lain, ada kas yang menipis karena kebijakan dibaca tidak tuntas. Dua dunia yang tampak tak berhubungan sebenarnya disatukan oleh satu kebiasaan sederhana yang kerap diabaikan, yaitu membaca.
Ironisnya, di negeri yang gemar lebih banyak merayakan seremoni, kita jarang merayakan buku. Padahal satu dokumen yang benar-benar dibaca sampai tuntas bisa mencegah anak keracunan dan mencegah ekonomi kolaps.
Dari Piring Anak hingga Dompet Negara
Kita mulai dari yang paling dekat. Di banyak tempat di Indonesia, program Makan Bergizi Gratis (MBG) berubah jadi pembagian makanan instan. Anak muntah usai minum susu dalam kemasan, ayam goreng masih merah di bagian tengah, bubur instan dibagi tanpa melihat usia.
Panduan gizi sudah tersedia, spanduk besar tentang porsi dan usia sudah dicetak, buku saku posyandu sudah dibagikan ke kader. Mengapa di meja makan anak praktiknya berbeda? Jawabannya sederhana, dokumen hanya dibacakan saat rapat, tidak benar-benar dibaca untuk dipahami.
Ketika pejabat tidak benar-benar membaca, kebijakan terhenti di tumpukan kardus dan catatan belanja. Edukasi gizi hilang, pelibatan tenaga gizi di lapangan berkurang, dan sekolah serta posyandu berubah menjadi tempat antre paket program, bukan tempat belajar rasa sehat.
Kita melihat dua kubu yang saling berteriak, pedagang yang dagangannya laku melawan orang tua yang meminta menu lebih sehat. Padahal inti kebijakan bukan memenangkan salah satu pihak, melainkan membuat anak-anak aman dan berkembang. Bukan soal siapa sering tampil di TV, tapi siapa yang cermat membaca sebelum memutuskan.
Sekarang kita menengok ke sisi lain, yang tampak jauh tetapi berdampak pada harga beras, biaya logistik, hingga peluang kerja. Dalam beberapa bulan terakhir, publik mengenal istilah yang lagi ramai sebut sebagai Purbaya Effect, pernyataan, koreksi, dan langkah fiskal yang mendorong perubahan cara pemerintah mengelola uang.
Ini menyentuh hal-hal yang sering tidak dibaca tuntas, aturan penempatan dana, mekanisme perputaran kas, peran bank pemerintah, dan sinyal koordinasi fiskal - moneter. Semua itu tersedia dalam dokumen resmi. Dalam praktiknya, tidak sedikit pejabat yang keliru membaca arah atau hanya membaca judul lalu menyimpulkan sendiri.
Dampaknya terasa timpang, sebagian kebijakan berjalan, sebagian macet. Dana daerah diparkir terlalu lama, daya serap anggaran lemah, pelaku usaha menunggu kepastian.
Ketika uang mengalir tidak pada waktunya, toko di ujung gang, pojok kampung merasakan sepinya pembeli, nelayan menahan perbaikan perahu, dan pabrik kecil menunda lembur. Bukan karena kita kekurangan dokumen, melainkan karena dokumen tidak benar-benar dibaca.
Dalam dua kisah di atas, benang merahnya sama. Di skala mikro, anak menangis karena perutnya mulas. Di skala makro, masyarakat cemas karena uang beredar seret.
Keduanya lahir dari kebiasaan membaca yang dijalankan sekadar formalitas. Padahal literasi pejabat bukan hiasan di rak foto, melainkan kerja memahami konsekuensi. Membaca bukan untuk lulus presentasi, melainkan untuk menata dampak di lapangan.
Alasan dan Kenyataan
Sering kali kita mendengar alasan klasik, waktu pejabat padat, rapat tak henti, dokumen menumpuk, tugas menekan. Alasan ini manusiawi, tetapi rakyat tidak makan alasan. Rakyat makan hasil kebijakan.
Jika membaca satu buku saja sulit, bagaimana mengelola kompleksitas negara selama lima tahun? Jika ringkasan eksekutif saja tidak disentuh, bagaimana menimbang risiko di balik keputusan?
Membaca bagi pejabat tidak selalu berarti menamatkan novel setebal delapan ratus halaman. Membaca bisa berarti tiga hal sederhana.
Pertama, membaca dokumen kebijakan yang wajib, bukan basa-basi. Tuntaskan ringkasan eksekutif, pahami pasal kunci, tandai konsekuensi fiskal dan sosial.
Kedua, membaca data, bukan sekadar menatap angka. Data punya cerita, kadang bertentangan dengan narasi populer.
Ketiga, membaca manusia. Di balik angka ada anak yang perutnya mulas, ada pedagang yang cemas, ada guru yang bingung saat jadi "master bagi-bagi makanan".
Kita tidak kekurangan buku dan panduan. Kita kekurangan kebiasaan. Rak buku di ruang kerja tidak akan menolong kalau isinya tidak pernah dibuka apalagi di baca.
Pesan grup WhatsApp yang penuh dengan tautan tidak bermanfaat jika hanya dibaca judulnya. Kebijakan publik menuntut kebiasaan sederhana, meluangkan waktu sejenak untuk membaca dengan pikiran terbuka.
Dari Kebiasaan ke Perubahan
Darurat baca pejabat bukan ajakan romantis agar semua orang menjadi kutu buku. Ini seruan praktis. Ada beberapa langkah kecil yang bisa mengubah pola pikir menjadi pola kerja.
Pertama, ritual baca harian di kantor. Tiga puluh menit sebelum rapat dimulai digunakan untuk membaca dokumen rapat. Bukan paparan slide, melainkan naskah kebijakan, catatan risiko, dan opsi alternatif.
Kedua, ringkasan satu halaman untuk setiap keputusan. Jika keputusan tidak bisa dijelaskan dalam satu halaman yang jelas, mungkin kita belum memahami masalahnya. Ringkasan ini menyertai notulen dan menjadi jejak literasi kelembagaan.
Ketiga, uji literasi data. Bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk memastikan semua orang berbicara hal yang sama. Apa definisi realisasi atau dan terserap? Bagaimana indikator kemajuan gizi? Apa artinya dana mengendap? Menguji pemahaman membantu mengurangi salah tafsir yang mahal harganya.
Keempat, lingkar baca lintas fungsi. Pejabat teknis membaca bersama pejabat politis, birokrat daerah membaca bersama mitra sekolah, tenaga gizi duduk bersama kepala dinas. Tidak ada kebijakan yang lahir sehat jika dibuat dalam ruangan tertutup.
Kelima, katalog bacaan seratus hari. Isinya bukan teori yang mengawang-awang, melainkan bacaan yang menajamkan kerja, dasar gizi seimbang untuk anak sekolah, dasar fiskal - moneter untuk pengelolaan kas, dasar tata kelola untuk transparansi, dan satu dua buku kepemimpinan agar pidato tidak sekadar bunyi.
Seratus hari adalah waktu yang cukup untuk membangun kebiasaan baru yang sederhana namun menentukan.
Membaca bukan hobi tambahan. Ia adalah alat agar rasa dan nalar hadir dalam keputusan. Ketika pejabat membaca, kebijakan tidak lagi mengejutkan dari atas, tetapi tumbuh dari pemahaman yang pelan namun pasti. Dari sini, ompreng makan anak dan dompet negara tidak lagi jadi taruhan.
Pejabat yang suka membaca mungkin tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Namun pejabat yang tidak membaca hampir dipastikan melahirkan masalah baru.
Buku yang dibaca hari ini bisa menyelamatkan perut anak besok pagi dan menyelamatkan aliran uang masyarakat bulan depan.
Mungkin kita tak bisa memaksa pejabat membaca semua buku. Tetapi kita bisa terus mengingatkan bahwa satu halaman yang dibaca dengan sungguh-sungguh bisa menyelamatkan kehidupan banyak orang.
Bangsa yang besar bukan hanya yang banyak berbicara, melainkan yang rajin membaca. Semoga seruan kecil ini menggerakkan perubahan dari meja kerja pejabat hingga meja makan rakyat.
Sanana, 05 Rabi'ul Akhir 1447 H / 27 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI