Ketika uang mengalir tidak pada waktunya, toko di ujung gang, pojok kampung merasakan sepinya pembeli, nelayan menahan perbaikan perahu, dan pabrik kecil menunda lembur. Bukan karena kita kekurangan dokumen, melainkan karena dokumen tidak benar-benar dibaca.
Dalam dua kisah di atas, benang merahnya sama. Di skala mikro, anak menangis karena perutnya mulas. Di skala makro, masyarakat cemas karena uang beredar seret.
Keduanya lahir dari kebiasaan membaca yang dijalankan sekadar formalitas. Padahal literasi pejabat bukan hiasan di rak foto, melainkan kerja memahami konsekuensi. Membaca bukan untuk lulus presentasi, melainkan untuk menata dampak di lapangan.
Alasan dan Kenyataan
Sering kali kita mendengar alasan klasik, waktu pejabat padat, rapat tak henti, dokumen menumpuk, tugas menekan. Alasan ini manusiawi, tetapi rakyat tidak makan alasan. Rakyat makan hasil kebijakan.
Jika membaca satu buku saja sulit, bagaimana mengelola kompleksitas negara selama lima tahun? Jika ringkasan eksekutif saja tidak disentuh, bagaimana menimbang risiko di balik keputusan?
Membaca bagi pejabat tidak selalu berarti menamatkan novel setebal delapan ratus halaman. Membaca bisa berarti tiga hal sederhana.
Pertama, membaca dokumen kebijakan yang wajib, bukan basa-basi. Tuntaskan ringkasan eksekutif, pahami pasal kunci, tandai konsekuensi fiskal dan sosial.
Kedua, membaca data, bukan sekadar menatap angka. Data punya cerita, kadang bertentangan dengan narasi populer.
Ketiga, membaca manusia. Di balik angka ada anak yang perutnya mulas, ada pedagang yang cemas, ada guru yang bingung saat jadi "master bagi-bagi makanan".
Kita tidak kekurangan buku dan panduan. Kita kekurangan kebiasaan. Rak buku di ruang kerja tidak akan menolong kalau isinya tidak pernah dibuka apalagi di baca.
Pesan grup WhatsApp yang penuh dengan tautan tidak bermanfaat jika hanya dibaca judulnya. Kebijakan publik menuntut kebiasaan sederhana, meluangkan waktu sejenak untuk membaca dengan pikiran terbuka.