Dana publik yang terlalu lama mengendap perlu dipulangkan ke rakyat agar manfaatnya lebih terasa. Bukan hanya rindu pada seseorang, melainkan juga manfaat kebijakan yang seharusnya benar-benar sampai ke rumah rakyat. Intinya, dana besar tidak boleh hanya tercatat di angka atau dokumen, tetapi harus hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Masih hangat dalam ingatan kita semua. Pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Istana Merdeka ikut bergoyang ketika Presiden Prabowo hadir dalam pesta rakyat diiringi lagu Tabola Bale. Momen itu menegaskan bahwa sebuah lagu sederhana bisa menjembatani ruang formal kekuasaan dengan kegembiraan rakyat biasa.
Ada kalanya sebuah lagu mampu berbicara lebih jelas tentang ekonomi dibanding laporan setebal ratusan halaman. Lagu Tabola Bale, dengan campuran logat dan bahasa yang riang namun mudah salah dimengerti, menggambarkan rasa yang makin kuat, jarak yang dipendekkan, dan janji yang menuntut bukti.
Saat pemerintah mengalihkan sekitar Rp200 triliun dari rekening di Bank Indonesia ke bank-bank umum milik negara atau Himbara, kebijakan ini bertujuan agar dana tidak lagi pasif. Dana tersebut diharapkan benar-benar dekat dengan aktivitas rakyat sehari-hari. Pesannya jelas, kebijakan yang baik harus hadir dan menyentuh kehidupan nyata.
Ekonomi Rp200 Triliun dan Relevansi Tabola Bale
Lagu ini bercerita tentang tatapan gugup seorang kaka yang tabola-bale setiap kali melihat Ade Nona. Ada kenangan rambut kepang dua yang kini berubah jadi rambut merah, ada kepulangan dari rantau yang mengubah gaya, ada tawa yang menutupi debar, dan ada harap yang ingin diwujudkan menjadi belahan jiwa. Campuran bahasa NTT dan Minang, membuat liriknya terasa akrab sekaligus berwarna. Namun maknanya tetap satu, yaitu jarak perlu dijembatani.
Kebijakan publik pun demikian. Kita sering membahasnya hanya dengan angka yang kaku, padahal kehidupan rakyat bergerak dinamis. Ketika pemerintah memutuskan menggerakkan dana raksasa agar lebih produktif melalui perbankan, publik berharap ada jembatan nyata dari angka ke kebutuhan dapur, dari rapat ke pasar, dan dari kabar ke rasa aman di dompet.
Konteksnya sangat jelas. Selama ini ada dana yang mengendap, aman dan steril, tetapi terlalu jauh dari kegiatan sehari-hari rakyat. Pemerintah memilih memindahkan sekitar Rp200 triliun ke bank-bank umum milik negara agar likuiditas mengalir ke sektor riil, misalnya modal kerja, kredit UMKM, dan pembiayaan produktif. Tujuannya agar dana ini hadir langsung di meja warung, bengkel kecil, perahu nelayan, dan mesin produksi rumahan.
Kita juga tahu, kebijakan ini tidak lepas dari aturan. Melalui KMK No. 276 Tahun 2025 tentang penempatan dana pemerintah di lima bank BUMN, Menkeu yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, melakukan terobosan dengan sangat cepat, empat hari setelah pelantikan (12/09/2025).
Penempatan dana diwajibkan tidak dipakai hanya untuk membeli surat berharga atau sekadar parkir di instrumen keuangan, melainkan harus dialirkan ke kegiatan yang memberi nilai tambah. Pemerintah pun sudah menyiapkan batas dan kanal, termasuk mitra bank serta limit penempatan, agar pelaksanaan jelas arahnya. Namun kekhawatiran tetap ada. Negara kita yang masih rentan dengan persoalan korupsi dan moral hazard dalam pengelolaan dana publik. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi yang berlapis, kebijakan sebesar Rp200 triliun bisa saja melenceng dari tujuan awalnya.
Detailnya, BRI sebesar Rp55 triliun, BNI sebesar Rp55 triliun, Bank Mandiri sebesar Rp55 triliun, BTN sebesar Rp25 triliun, dan BSI sebesar Rp10 triliun.