Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tabola Bale, Prabowo, dan Rp200 Triliun: Antara Joget Istana dan Janji Ekonomi

15 September 2025   13:37 Diperbarui: 16 September 2025   16:23 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tabola Bale, Prabowo, dan Rp200 Triliun (Sumber: canva.com/dream-lab)

Lirik Tabola Bale kembali terasa relevan. "Aduh, Ade Nona, jangan terlalu pasang gaya depan kaka." Publik, seperti si kaka, tidak ingin hanya melihat gaya kebijakan tanpa hasil nyata. Rakyat menuntut manfaat konkret, berupa bunga yang masuk akal, prosedur yang sederhana, dan akses yang terbuka. Jika manfaatnya benar-benar sampai, barulah lahir kepercayaan dari pengalaman, bukan sekadar janji.

Renungan

Bagian ini ingin menekankan bahwa kebijakan Rp200 triliun tidak cukup berhenti pada headline. Kebijakan harus mendekat ke rakyat melalui tiga hal utama: informasi yang jelas, kelembagaan yang terukur, dan layanan yang inklusif. Dengan begitu, kebijakan benar-benar terasa manfaatnya, bukan sekadar angka di laporan.

Cinta dalam lagu itu tidak berhenti di khayalan. Ia bergerak dengan melacak nama, bertanya pada mama, dan memantapkan niat. Kebijakan pun seharusnya sama. Setelah headline "Rp200 triliun" beredar, pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. Menurut penulis, ada empat jarak yang perlu dipendekkan.

Pertama, jarak informasi. Kebijakan perlu dikomunikasikan dengan bahasa sederhana, siapa yang bisa mengakses, apa syaratnya, kanal mana yang dipakai, kapan realisasi, dan bagaimana mekanisme pengaduan. Tanpa ini, angka besar hanya membuat hati berdebar tanpa hasil nyata.

Kedua, jarak kelembagaan. Bank sebagai mitra tidak cukup diberi mandat, mereka butuh target konkret yang mudah diukur, misalnya porsi kredit untuk UMKM, pembiayaan sektor prioritas, layanan inklusif di wilayah kepulauan, dan pembatasan ke aktivitas nonproduktif. Insentif dan sanksi harus jelas agar pelaksanaan tidak berhenti di siaran pers atau media sosial.

Ketiga, jarak geografis dan sosial. Indonesia adalah negara kepulauan. Pengalaman mengakses kredit di kota besar berbeda dengan di pulau-pulau kecil. Tanpa adaptasi layanan, rakyat di pesisir hanya akan mendengar kabar dana, bukan merasakannya. Inklusivitas harus diwujudkan dalam praktik.

Keempat, jarak pengawasan dan evaluasi. Masalah klasik di Indonesia bukan hanya soal aturan, tetapi juga bagaimana aturan itu diawasi dan dievaluasi. Teknologi kecerdasan buatan (Ai) dapat menjadi alat untuk memangkas jarak ini, karena memungkinkan monitoring dan evaluasi berbasis data real-time, transparansi publik, serta perbaikan cepat jika ada penyimpangan.

Apa yang Bisa Kita Pelajari

Lagu Tabola Bale mengajarkan kita tentang bahasa yang akrab dan keberanian untuk mendekat. Dari situ, saya menawarkan tiga kata kunci yang bisa menjadi alat uji kebijakan.

  1. Dekat (Efektivitas). Apakah mekanisme penyaluran membuat rakyat merasa dilayani, bukan dihakimi? Dekat artinya formulir yang manusiawi, jam layanan yang realistis, dan petugas yang bersahabat.
  2. Efektif (Efisiensi dan Produktivitas). Apakah dana benar-benar masuk ke kegiatan yang menambah kapasitas ekonomi, bukan sekadar berpindah angka di layar? Efektif artinya produktif, misalnya alat kerja, mesin, gudang, bibit, kapal, atau pelatihan.
  3. Berkelanjutan (Sustainabilitas). Apakah kebijakan menumbuhkan kepercayaan baru bahwa negara hadir bukan sesekali melainkan berkelanjutan? Berkelanjutan artinya ada umpan balik, pemantauan, dan perbaikan.

Jika tiga hal ini terpenuhi, kita tidak lagi berbicara tentang dana yang dipindahkan, melainkan nilai yang dikembangkan. Dana yang sebelumnya jauh menjadi dekat, yang semula dingin menjadi hangat, dan yang awalnya samar menjadi nyata.

Pada titik ini, angka Rp200 triliun bukan sekadar angka. Ia menjadi ujian apakah kita mampu menjahit kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Seperti lirik yang bercampur logat, negeri ini memang beragam, tetapi rasa adil dan manfaat yang sampai ke tangan rakyat adalah bahasa yang dipahami semua orang.

Ada kalimat yang selalu terngiang dari lirik lagu itu. Setelah kaka melihat Ade, "tidur malam bola-bale." Begitu pula rakyat ketika mendengar kabar baik. Hati berharap, pikiran sibuk membayangkan. Agar rakyat bisa tidur lebih nyenyak, negara harus memastikan kabar baik berubah menjadi pengalaman baik. Jangan biarkan tabola-bale hanya jadi kerisauan. Pulangkan manfaat sampai ke depan pintu, lalu tegaskan dengan kalimat, "Ini janji yang kami tunaikan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun