Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Wadah

1 September 2025   00:01 Diperbarui: 31 Agustus 2025   22:58 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wadah (Sumber: canva.com/dream-lab)

Saat seorang penari angklung mengangkat kedua tangannya, langit di atas panggung memantulkan cahaya aneh. Cahaya itu muncul begitu cepat, seperti kilat yang berlari tanpa suara. Dari kegelapan, cahaya membentuk siluet keris lalu menukik ke arah tempat Raga berdiri. Semua terjadi begitu singkat, sebelum otaknya sempat menyadarinya.

Ia tidak sempat menutup mata. Cahaya menembus dadanya, hangat seperti air jahe yang baru diseduh. Kakinya limbung. Orang-orang berseru pelan, beberapa bahkan memegang pundaknya. Raga mendengar suara keluar dari mulutnya, namun jelas itu bukan suaranya sendiri.

Kata-kata pun keluar dari lidahnya seperti pohon yang tiba-tiba berbuah. Kalimat-kalimat asing muncul, suku kata terasa berusia ratusan tahun. Nama-nama mengalir deras, satu per satu meluncur... Ajar Sukmadi, Ki Wirauta, Linggabuana.

Seseorang bertanya siapa dirinya. Raga bergerak seperti boneka yang baru disadarkan. Ia berkata lirih, "Aku hanya lah wadah. Aku bukan pemilik."

***

Malam itu kabar cepat menyebar di kota kecil seperti berita tentang hujan pertama di tengah kemarau. Orang-orang menulis, merekam, dan mengirim. Sosial media menjadi rame. Ada yang menyebutnya kebetulan. Ada pula yang mengaitkannya dengan kejadian sebelumnya... suara mirip gamelan dari arah gunung Slamet, cahaya merah tipis yang terlihat nelayan di pantai selatan, hingga anak-anak yang tiba-tiba melafalkan bahasa kuno yang bukan milik mereka.

Di beranda rumah kecil itu, ibunya hanya menempelkan telapak tangan ke kening Raga. "Hangat," ucapnya pelan, lalu ia menatap mata anaknya yang bening namun terasa jauh di lorong waktu.

***

Esoknya datang dua orang asing. Yang pertama seorang lelaki tua berjalan pelan namun gagah. Kulitnya gelap kecoklatan, rambutnya memutih di sisi kepala. Orang memanggilnya Kidrajat. Tangan kirinya tak pernah lepas dari tas kain berisi kertas-kertas lontar. Kehadirannya membuat siapa pun ingin berbicara dengan suara pelan.

Yang satu lagi lebih muda, suaranya jernih seperti air. Orang memanggilnya Kang Dedi. Mereka tidak banyak basa-basi. Kidrajat duduk di lantai, meminta Raga menulis apa pun yang melintas di kepalanya.

Raga menatap kertas kosong. Tangannya mulai bergerak tanpa sadar, menggores garis demi garis. Gambar itu perlahan membentuk pulau, lalu muncul garis api dan titik-titik yang berpendar di matanya. Nama-nama tempat tergores begitu saja: Tangkuban Parahu, Merapi, Parangtritis, Danau Toba. Ada satu lagi di timur yang tidak ia kenali. Ia hanya menuliskannya dengan sebutan Raja yang jauh (Raja Ampat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun