Namun, pencapaian ini lebih dari sekadar angka dan sertifikat. Ia menjadi jejak sejarah sosial. Di hari ini, tidak ada sekat antarprofesi, tak ada batas usia atau status. Semua orang menikmati rasa yang sama, cokelat dari kebun sendiri, hasil kerja kolaboratif, dan simbol kebanggaan yang lahir dari dalam, bukan dari luar.
Makan cokelat bersama menjadi bahasa universal: tentang kebersamaan, tentang keterlibatan, dan tentang harapan. Sula tidak hanya memecahkan rekor. Ia sedang menegaskan bahwa dari produk lokal pun, rasa persatuan bisa tumbuh dan dirayakan.
Dari Kepulauan untuk Dunia: Ekspor dan Jejak Rasa yang Menembus Benua
Apa yang bermula dari kebun kecil di ujung timur Indonesia, kini telah sampai ke rak toko di luar negeri. Cokelat Sulamina bukan lagi sekadar kebanggaan lokal, tapi telah menembus batas geografis, membawa nama Kepulauan Sula sampai ke Inggris.
Sejak 2022, Sulamina tercatat beberapa kali diekspor ke Inggris, menjadikannya salah satu produk khas Maluku Utara yang mampu bersaing secara kualitas dan rasa. Proses produksinya dilakukan dengan metode fermentasi alami, tanpa pengawet atau tambahan buatan, dan dikemas dengan standar yang menjunjung rasa tropis khas Indonesia Timur.
Yang membuat Sulamina berbeda bukan hanya rasanya, tapi juga ceritanya. Di balik setiap batang cokelat, ada petani yang mulai percaya diri, ada pemuda yang belajar pengolahan kakao, dan ada semangat kolektif bahwa Sula bisa lebih dari sekadar daerah penghasil bahan mentah.
Cokelat ini pernah dijadikan hadiah Valentine, oleh-oleh wisatawan, bahkan dikirim ke luar negeri sebagai buah tangan diplomasi rasa. Namun satu hal yang tak pernah hilang: label "asal Sula, Maluku Utara" yang menjadi bukti bahwa produk dari daerah kepulauan pun bisa berdiri sejajar di pasar global.
Simbol Sula Berbenah: Ketika Inovasi Tak Harus dari Kota
Kita terbiasa menyamakan inovasi dengan kota: dengan teknologi, dengan modal besar, dan dengan pusat-pusat kekuasaan. Tapi Kepulauan Sula menawarkan narasi berbeda. Inovasi mereka lahir dari kebun, dari relasi antara petani dan investor, dari kepercayaan diri yang tumbuh pelan-pelan.
Cokelat Sulamina bukan proyek besar yang datang dari atas. Ia tumbuh dari bawah, dari keterlibatan warga dan kemauan untuk belajar bersama. Tanpa hingar-bingar startup atau buzzword digital, Sulamina menjadi representasi nyata bahwa transformasi bisa dimulai dari rasa: dari apa yang dihasilkan, diolah, dan dirayakan sendiri oleh masyarakat.
Hadirnya Sulamina juga menunjukkan bahwa pembangunan tidak selalu harus menunggu instruksi pusat. Kadang, yang dibutuhkan adalah ruang untuk mencoba, dukungan terhadap keberanian lokal, dan kolaborasi yang setara. Ketika masyarakat merasa dihargai, mereka tak sekadar jadi objek pembangunan, mereka menjadi aktor utama.
Kini, tantangan utamanya adalah keberlanjutan. Apakah cokelat Sulamina bisa menjadi ekosistem ekonomi yang stabil bagi warga? Apakah ekspor bisa ditingkatkan? Apakah pemerintah daerah siap menjadikannya sebagai bagian dari kebijakan strategis jangka panjang?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Tapi yang lebih penting lagi: Sula sudah memulainya. Dan langkah pertama ini cukup besar untuk menginspirasi banyak daerah lain di Indonesia.