Naluri itu melekat, bahkan sebelum anak dilahirkan. Ia tumbuh bersama detak jantung yang pertama kali terdengar lewat alat USG, dan terus hidup bahkan ketika anak itu telah tumbuh menjadi manusia dewasa, punya rumah sendiri, bahkan punya anak sendiri.
Itulah mengapa, seorang ibu masih saja memberi nasihat ketika anaknya sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun. Karena di benaknya, anak tetaplah anak... selamanya. Tak peduli setinggi apa jabatannya, sejauh apa perjalanannya, di mata ibu, ia tetap anak kecil yang dulu harus diajari cara memakai sepatu.
Naluri inilah yang membuat ibu tidak menunggu anak meminta bantuan. Ia langsung datang dengan segelas air hangat ketika mendengar suara batuk. Ia muncul dengan doa, bahkan sebelum anak sadar sedang butuh pertolongan.
Nasihat Sebagai Warisan Emosional
Waktu akan terus berjalan. Anak-anak tumbuh, rumah berganti, dan suara ibu suatu hari akan pelan, bahkan mungkin tak terdengar lagi. Tapi yang tak pernah pudar adalah warisan emosional dari nasihat-nasihat yang dulu mungkin dianggap sepele.
Nasihat ibu seringkali menjadi gema yang datang diam-diam di kepala kita. Saat hendak mengambil keputusan besar, kita mendengar suaranya, meski tak sedang menelepon. Saat hidup terasa berat, kita teringat ucapannya, yang dulu kita anggap terlalu remeh untuk didengar. Dan saat kita menjadi orang tua, kalimat-kalimat itu keluar kembali dari mulut kita sendiri, mungkin dengan nada dan irama yang mirip, seolah kita menghidupkan ibu sekali lagi.
Nasihat ibu adalah semacam pusaka batin. Ia tak diwariskan lewat harta, tapi lewat kebiasaan, nilai, dan keyakinan yang tertanam perlahan. Kita mungkin pernah menolak, mengabaikan, bahkan melawan. Tapi nasihat-nasihat itulah yang diam-diam mengarahkan langkah kita, membentuk cara berpikir, dan menuntun hati agar tidak tersesat.
Antara Rasa Lelah Anak dan Ketulusan Ibu
Tidak bisa dipungkiri, ada masa ketika nasihat ibu terasa berulang dan melelahkan. Anak yang sedang tumbuh dan mencari ruang sering kali merasa dikekang. Kalimat seperti "jangan begini" dan "jangan begitu"Â terdengar seperti pembatas, bukan perlindungan.
Kadang kita menjawab dengan nada tinggi, kadang memilih diam, bahkan tak jarang pura-pura tidak mendengar. Kita lupa, bahwa di balik setiap nasihat yang terdengar cerewet itu, ada ketulusan yang tidak mengharap imbalan. Seorang ibu tidak menasihati karena ingin dipuji, atau karena ingin merasa benar. Ia hanya ingin anaknya baik-baik saja.
Bagi anak, nasihat bisa terasa seperti beban. Tapi bagi ibu, memberi nasihat adalah cara untuk bertahan. Itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat tangan tak lagi mampu memeluk, saat jarak tak bisa lagi dijangkau kaki. Ia memilih kata-kata sebagai jembatan cinta.
Dan pada akhirnya, ketika anak sudah mulai memahami dunia dengan segala liku dan luka, ia akan sadar: apa yang dulu dianggap membatasi, justru yang menyelamatkannya dari banyak hal yang tak perlu dialami.
Kenangan dan Doa yang Tak Pernah Usang
Waktu boleh menghapus banyak hal, warna rambut ibu yang dulu hitam legam, kekuatan tangannya saat menggendong, atau suara nyanyiannya yang menemani tidur. Tapi ada yang tak bisa dihapus waktu: kenangan dan doa.