Friedrich Nietzsche  sering  dikaitkan  dengan  post-modernisme dan  dikenal  sebagai  "sang pembunuh Tuhan" dalam Also Sprach Zarathustra; ia dikenal dengan pemikiran yang  kontroversial, radikal, frontal, ateistik dan hidup dalam kesederhanaan. Bersama dengan Karl Marx dan Søren Kierkegaard, mereka adalah pemikir revolusioner dalam filsafat abad ke-19, sebab Nietzsche tampil memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya [dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten] yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Platon dan tradisi kekristenan. Nietzsche juga mengkritik gereja Lutheran Jerman yang menurutnya juga tidak lebih baik. Beberapa pemikir mengatakan bahwa Nietzsche ingin berfilsafat dengan palu demi mendobrak dan membongkar semua tradisi dan nilai kebudayaan Barat. Sedangkan bagi Nietzsche sendiri, ia lebih mengakui diri sebagai penghancur, kalimatnya yang cukup fenomenal; Aku bukan manusia, aku dinamit... Aku menentang sebagaimana belum pernah ada yang melakukannya.  Yang juga menarik dari Nietzsche, sebenarnya ia tidak pernah menulis buku etika. Tulisan-tulisannya justru diwarnai oleh kecaman pada etika maupun moralitas. Namun meski demikian, justru sebagai anti-etika, kecaman-kecaman Nietzsche termasuk etika; etika dalam etika, moralitas dalam moralitas. Dalam buku Smtliche Werke, tertulis bahwa the beginning of Nietzsche's central philosophical project: a revaluation of all values, a thorough-going critique of morality itself.
Nietzsche lahir di Rcken, di Saksonia, Jerman Tengah pada 15 Oktober 1844. Ayahnya, Carl/Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849) adalah seorang pendeta Lutheran yang saleh di desa Rcken, dekat Ltzen. Ibunya, Franziska Oehler (1826-1897), juga seorang Lutheran yang berasal dari keluarga pendeta. Ayah Nietzsche meninggal pada 1849 karena sakit keras ketika Nietzsche baru berusia empat tahun. Lalu terpukul kembali ketika adik Nietzsche, Joseph pada tahun berikutnya meninggal dunia. Situasi tersebut menyisakan Nietzsche satu-satunya anak lelaki dalam keluarganya; sementara anggota keluarga yang lain adalah ibu, kakak perempuan, kedua tante dan neneknya. Menjelang umur enam tahun, Nietzsche masuk sekolah Gymnasium. Ketika itu sebenarnya dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab dia sudah diajar oleh ibunya. Di sekolah, Nietzsche tergolongan orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat dia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melalui teman-temannya inilah ia diperkenalkan dengan karya-karya Goethe dan Wagner. Pada umur empat belas tahun Nietzsche pindah ke sekolah yang bernama Pforta, sekaligus berasrama di sana. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Selama di Pforta, Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif; dari sinilah ia mendapatkan bekal untuk menjadi seorang ahli filologi yang brilian di kemudian hari. Selain itu, di Pforta juga menjadi tempat di mana Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani, terhadap kejeniusan para pengarang Yunani. Sampai pada tahun-tahun terakhir di Pforta, Nietzsche sudah mulai mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami lewat karyanya yakni Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman).
Pada Oktober 1864 Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Tetapi pada 1865 Nietzsche memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi. Keputusan ini amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzsche yang sudah mulai pudar sejak ia masih tinggal di Pforta. Ia belajar teologi hanya semata-mata karena cintanya kepada ibu dan ayahnya dan agar ia dapat melanjutkan profesi kependetaan ayahnya. Sejak di Pforta Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan percobaan (Versuch) dengan hidupnya, dan keputusannya adalah dengan melepaskan teologi. Di Bonn Nietzsche hanya bertahan selama dua semestar. Pada pertengahan 1865 ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Pada waktu itu, Nietzsche sudah melepaskan iman Kristianinya. Pada akhir Oktober 1865 Nietzsche membaca karya Schopenhauer - yang kemudian memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan intelektual Nietzsche - (1788-1860) yang berjudul Die Welt als Wille und Vors-tellung (Dunia sebagai Kehendak dan Ide). Nietzsche melihat dirinya sebagai pengganti Schopenhauer yang karena superioritas Schopenhauer terutama sekali dalam konsistensi dan hubungan doktrinnya. Buku lain yang juga mempengaruhi pemikiran Nietzsche adalah buku karya seorang neo-Kantian, Friedrich Albert Lange (1828-1975) berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegenwart (Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada zaman sekarang).
Pada tahun 1868, Nietzsche benar-benar merasa tertarik kepada musikus Jerman, Richard Wagner. Dalam musik Wagner, Nietzsche melihat adanya semangat kebudayaan Yunani sebagaimana terlihat dalam karya-karya tragedi. Kebudayaan Jerman, katanya, dapat menjadi perwujudan kembali kebudayaan Yunani, asal diresapi dengan semangat Wagner. Lebih-lebih karena ia tahu bahwa Wagner adalah seorang pengagum Schopenhauer. Sejak saat itu Nietzsche menggabungkan dua tokoh itu menjadi agama barunya. Pada tahun 1869 Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel Swiss untuk menjadi dosen (profesor) filologi di sana. Ia sendiri merasa heran, karena ia masih belum berusia 25 tahun dan juga ia belum bergelar doktor. Namun ternyata itu semua atas rekomendasi profesornya di Leipzig, yaitu Friedrich Ritschl. Bahkan kemudian, sebulan setelah ada panggilan itu ia mendapat gelar doktor dari Leipzig tanpa ujian dan formalitas apa pun. Masa kariernya sebagai dosen (profesor) di Basel diwarnai dengan kondisi kesehatannya yang bertahap memburuk dan ia sama sekali tidak disenangi oleh profesor lainnya. Berkali-kali ia harus cuti dan istirahat demi kesembuhan dirinya. Pada masa istirahat karena sakitnya, ia justru menjadi sangat produktif menghasilkan karya-karya terbaiknya. Prestasi Nietzsche ini sangat mengagumkan, karena tahun 1879 merupakan tahun kelabu baginya: ia menderita sakit yang paling berat selama 118 hari. Keadaan ini memaksa Nietzsche mau tidak mau mengundurkan diri sebagai dosen, bahkan profesor. Â Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche banyak diwarnai kesuraman dan kesepian. Untuk itu, ia menempuh hidup yang nomad atau berpindah-pindah di beberapa kota di Swiss, Prancis, dan Italia. Tahun 1889 adalah tahun yang paling menyedihkan bagi Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Oleh Franz Overbeck, sahabat karibnya, ia dibawa ke klinik Universitas Basel. Kemudian di pindah ke Universitas Jena akan tetapi usaha pengobatan itu sia-sia. Akhirnya, tahun 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat sendiri di sana. Akan tetapi, keluarga ini semakin malang, ketika pada tahun 1897 sang ibu meninggal. Saat-saat hidup Nietzsche sungguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Bahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan juga tidak tahu bahwa ia mulai diakui sebagai figur yang masyhur.
Metode Filsafat Nietzsche
Hampir semua buku Nietzsche tidak ada yang ditulis secara sistematis. Untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, ia menulis dalam bentuk aforisme. Gaya penulisan tersebut sangat berbeda dengan gaya filsuf-filsuf sebelumnya seperti Spinoza, Hegel, dan Immanuel Kant. Namun, meski tidak sistematis, pemikirannya merupakan peristiwa yang menggetarkan alam pikiran Eropa dan getarannya terasa sampai sekarang. Ciri eksperimen Nietzsche ditandai dengan kualitas eksistensial. Eksperimen ini tidak berpretensi mau mensistematisasi pengalaman-pengalaman manusia yang penuh kontradiksi. Menurut Nietzsche, sistematika dari dalam dirinya tidak dapat menetapkan kebenaran premis-premisnya. Kebenaran ini diterima begitu saja. Dengan demikian, seorang sistematikus, menurut Nietzsche, mereduksi sistemnya. Walau terlihat sepertinya etika tidak dapat belajar apa pun dari Nietzsche yang anti moralitas, namun ia tetap sangat pantas dibahas dalam etika.Â
Beberapa Intisari Pemikiran Nietzsche
Pusat filsafat Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa. Dengan konteks peradaban yang menurutnya nihilisme, ia melakukan penjungkirbalikan semua nilai termasuk mencetuskan gagasan Gott ist tot! Karena Allah hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Dengan kematian Allah maka akan lahir Übermensch yang bisa dengan bebas mewujudkan kehendak untuk berkuasa.
1. Nihilisme
Berawal dengan kritiknya terhadap dunia Barat yang menurutnya terlalu lama dan terlalu berat sebelah karena dikuasai oleh sikap Apollonis (Apollo), dalam tulisannya yang pertama Die Geburt der Tragödie (Kelahiran Tragedi), Nietzsche membedakan dua sikap fundamental, sikap "Apollonis dan sikap Dionisis". Apollo itu dewa Yunani yang mewakili segala sesuatu yang terang, harmonis, logis, teratur, indah, jernih, positif, dsb. Sedangkan Dionysos mewakili ekstase, nafsu, malam, negasi hidup sebagai jalan keluar dari sengsara. Terhadap keduanya, Nietzsche yang berorientasi pada die Umwertung aller Werte (Penjungkirbalikan semua nilai) sangat menekankan gaya Dionisis yang berkait dengan kehendak, nafsu, ekstase, segala sesuatu yang berlawanan dengan rasio, intelek dan keseimbangan. Mengapa demikian? Bisa dikatakan,  Die Geburt der Tragödie merupakan alarm Nietzsche terhadap Nihilisme yang berpotensi muncul dalam cakrawala zaman modern. Dalam buku kumpulan aforismenya der Wille zur Macht Nietzsche mengawali tulisannya dengan gagasan tentang nihilisme. Kali ini, ia berpretensi meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Dengan tema ini, Nietzsche hendak menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai dan bermakna kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Tetapi bukan berarti filosofi Nietzsche menjadi filosofi nihilisme. Justru sebaliknya, yaitu filosofi untuk menaklukkan nihilisme (berwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung) dan memosisikan manusia sebagai manusia purna atau Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa der Wille zur Macht.Â
Renungan tentang nihilisme pada intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan, khususnya kebudayaan Eropa. Di mana orang-orang Eropa sudah tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri. Terlebih lagi pada awal abad ke-16, modernitas dan kristianitas telah menunjukkan diri sebagai pasangan yang tidak sejalan yang pada akhirnya pada pemikiran di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 perpecahan itu tak terhindarkan. Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang kehidupan ini terbagi menjadi dua yaitu keagamaan (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan hidupnya, termasuk aku-nya. Singkatnya, nihilisme mengantarkan manusia kepada situasi krisis atau kepada hari yang menjadi "malam terus-menerus" karena seluruh kepastian hidupnya telah runtuh. Dalam situasi inilah Nietzsche meneriakkan Gott is tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet! (Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya!). Ucapan ini dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Bentuk-bentuk jaminan kepastian itu yang pertama adalah Tuhan yang diwariskan oleh agama Kristen dan yang kedua adalah model-model Tuhan seperti ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah dan kemajuan. Untuk merumuskan runtuhnya dua bentuk jaminan itu, Nietzsche lantang meneriakkan "Tuhan sudah mati".
Nietzsche juga mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang gila, di mana ia mau menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu di anggap mapan, biasa, dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Dengan berseru "Tuhan sudah mati", Nietzsche tidak bermaksud mau membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bahwa Tuhan tidak ada bagi Nietzsche merupakan "kebenaran" yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Dengan matinya Tuhan kini orang seolah "merasa menghirup udara kosong (der leere Raum) dan seluruh cakrawala dihapuskan. Ini menunjukkan pentingnya peran Tuhan dalam perjalanan sejarah sebelum Nietzsche. Sejak zaman Yunani sampai Renaissance manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut, Tuhan, untuk memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bahwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Namun, proses kematian Tuhan tidak dapat dielakkan karena jaminan absolut sudah kehabisan darah, maka nilai-nilai yang diturunkan dari padanya pun runtuh. Maka terjadilah proses nihilisme. Nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan akibat yang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tak terelakkan dari seluruh gerak dan sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Sepintas gagasan Nietzsche tentang pudarnya Tuhan ini mirip dengan pemikiran Auguste Comte (1798-1857); tokoh positivistik asal Perancis ini membagi perkembangan sejarah menjadi tiga tingkatan atau zaman: teologik atau mitologik, metafisik dan positivistik. Dalam teologik atau mitologik orang masih percaya pada kekuatan adi kodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang kita hadapi. Pada tahap kedua peran Tuhan diganti dengan metafisik yang bersifat abstrak seperti misalnya substansi dan kodrat. Pada tahap positivistik, orang meninggalkan baik kekuatan-kekuatan adi kodrati maupun konsep-konsep metafisik, kemudian membatasi diri hanya pada fakta yang disuguhkan (positus) dan dihadapinya. Tetapi Nietzsche masih menolak gagasan Comte yang seolah-olah berhasil memudarkan Tuhan. Mengenai hal ini Nietzsche mengatakan bahwa Comte ingin menghantar orang-orang Perancis ke Roma melalui jalan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, Comte secara tidak sadar telah menciptakan agama baru bagi dirinya dan bangsanya dengan jalan memutlakkan ilmu pengetahuan.
Untuk itu secara singkat dapat dikatakan dalam arti sempit bahwa matinya Tuhan menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut yaitu Tuhan, yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia dan peristiwa ini dinilai merupakan peristiwa penting zaman ini. Kalau nihilisme merupakan perkembangan yang harus terjadi, maka persoalan yang segera muncul dan harus dijawab adalah apa yang harus dilakukan manusia? Dst. Nietzsche menolak sikap diam dalam menghadapi nihilisme. Diam bukanlah netral. Dalam hal ini memang tidak ada sikap netral. Sikap diam berarti membiarkan diri didikte oleh keadaan nihilistik atau krisis terus-menerus. Sikap ini akan mengantar manusia ke dalam situasi dekaden yang tak tertahankan. Dekaden adalah sikap tak berani berkata "Ya" pada hidup. Kalau situasi ini dibiarkan terjadi terus-menerus, maka nihilisme yang dianut adalah nihilisme pasif. Alternatif yang diajukan Nietzsche adalah sikap tidak tinggal diam yaitu mengatasi nihilisme tanpa harus menolak nihilisme. Usaha ini dilakukan dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai atau yang kemudian disebut nihilisme aktif. Maksudnya tidak menolak nihilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap model "Tuhan", yang melaluinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apapun. Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu telah, sedang dan khaos. Dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai, Nietzsche bermaksud mengadakan penilaian kembali seluruh nilai-nilai yang sudah ada sampai sekarang, yang cenderung memfosil menjadi karang. Dengan cara ini, Nietzsche tidak mau mencari nilai-nilai itu sendiri, melainkan lebih suka mencari cara untuk dapat berkata "Ya" pada dunia yang  khaos dan nihil, yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral.
2. Ateisme Jujur?
Sebelumnya, menarik untuk membahas mengenai gagasan Nietzsche yang seringkali disalah mengerti yaitu Gott ist tot (Romo Magnis-Suseno menerjemahkannya dengan "Allah telah mati"). Bagi Nietzsche, Allah tepatnya kematiannya, merupakan peristiwa baru paling besar, dan Nietzsche-lah pemaklum kematian Allah itu. Tetapi akibat dari kematian Allah pertama-tama adalah deretan panjang pembongkaran, penghancuran, keruntuhan, penggulingan akan ada logika raksasa kekagetan, penggelapan dan gerhana matahari. Kematian Allah menjadi nafiri terbitnya nihilisme. Dan nihilisme tidak lagi dapat ditangani manusia. Karena itu, manusia harus [dibuat]menjadi persona yang meng-atas. Maka, Nietzsche "mengajarkan sang atas-manusia", sang Übermensch, manusia yang melampaui masa lampau yang juga masih manusia zaman sekarang, "manusia yang di atas manusia". Tetapi mengapa Allah harus dibunuh, dan bagaimana pembunuhan Allah dilakukan?Â
Sebenarnya, Allah tidak dibunuh, Nietzsche tidak mau mengatakan bahwa Allah pernah ada, Allah tak pernah ada, "manusia yang menciptakan Allah". Allah yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan manusia. Tetapi Allah itu, itulah yang ditegaskan Nietzsche, harus, dan akhirnya jadi, dibunuh. Karena sesudah Allah diciptakan oleh manusia, ia menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya sendiri dan dari dunianya. Allah membuat manusia menjadi kerdil, mengkorupsikan moralitasnya. Allah dipasang sebagai kebenaran dan dengan demikian membuat manusia tenggelam dalam kebohongan. Penilaian Nietzsche begitu keras karena baginya agama tak lain adalah pelarian dari dunia yang seharusnya dihadapi apabila ia jujur. Agama adalah ciptaan mereka yang kalah, yang tidak berani melawan, tidak berani berkuasa. Agama menurut Nietzsche adalah sentimen mereka yang dalam hidup nyata kalah, maka mengharapkan bahwa pernah, sesudah hidup ini, mereka akan dimenangkan oleh kekuatan di alam baka. Agama itu berkaitan erat dengan moralitas 2000 tahun terakhir yang oleh Nietzsche dicirikan sebagai moralitas budak. Moralitas itu menjunjung tinggi kerendahan hati, sikap rela, menerima dan manut, kesediaan untuk tidak membalas, untuk menawarkan "pipi kiri". Moralitas ini meluhurkan mereka yang sakit, bengkok, lumpuh, kaum gagal. Moralitas itu kemenangan sentimen mereka yang diperbudak atas para tuan mereka karena nilai-nilainya justru menjunjung tinggi sifat-sifat para budak. Maka, bagi Nietzsche agama dan moralitasnya, "sosok busuk hibrid yang membenarkan semua naluri dekaden, semua pelarian dan kecapaian jiwa", harus ditolak dengan jijik oleh orang yang masih mempunyai harga diri. "Kejujuran menuntut untuk mempertahankan diri bersih dari kepercayaan akan Allah".
Karena itu, sudah tiba waktunya bagi "ateisme yang mutlak jujur, yang menolak ikut dalam kebohongan kepercayaan pada Allah". Sekarang "Allah kuno telah mati semati-matinya". Sebenarnya Allah tidak mati, karena ia memang tak pernah ada. Yang mati adalah Allah yang ribuan tahun lamanya membelenggu hati dan pikiran manusia. Baru sesudah kebenaran itu terbongkar manusia akan berhadapan dengan situasinya yang sebenarnya, kekosongan. Kematian Allah membuka pintu ke kerajaan nihilisme. Kematian Allah akan mengantar zaman baru, zaman nihilisme yang akan menguasai dua abad mendatang. Akan tetapi, nihilisme ini bukan akibat kematian Allah. Sebaliknya, kematian Allah dapat menjadi peristiwa karena di bawah permukaan agama dan moralitas budak nihilisme sudah lama semakin terasa. Nilai-nilai semula diciptakan oleh manusia. Ialah yang pernah "meletakkan nilai-nilai ke dalam benda-benda". Benda-benda disekelilingnya dinyatakan bernilai sejauh menunjang kehidupannya. Tetapi dengan pelarian ke dalam agama nilai-nilai manusia itu diasingkan dan diberi arti metafisik dan religius yang semakin yang menyangkal kehidupan. Padahal naluri hidup adalah satu-satunya dasar nyata suatu nilai. Karena itu, nilai-nilai manusia beragama menjadi tak lain suatu penutup kekosongan, nihilisme. Nilai-nilai manusia berketuhanan sebenarnya adalah kosong dan karena itu bohong. Nilai-nilai itu sebenarnya makin lama sudah tidak dipercaya lagi, melainkan hanya diakui secara muluk dan munafik, sedangkan dunia semakin dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak luhur. Agama dan moralitas semakin hanya berfungsi sebagai topeng untuk menyembunyikan nafsu dan kepentingan-kepentingan yang sama sekali lain. Karena itu, Nietzsche bisa mengatakan bahwa nihilisme merupakan "logika nilai-nilai dan cita-cita besar kita". Dengan sobeknya aura kesucian pancaran Allah - Allah akhirnya mati - kekosongan nilai yang sudah lama ada menjadi kentara bagi semua. Maka, kematian Allah bukannya menyebabkan nihilisme, melainkan hanya membuka tabir kebohongan yang begitu lama menyembunyikannya.
Dengan kematian Allah, nihilisme akan berkuasa yang menurut Nietzsche diramalkan selama 200 tahun. Tetapi nihilisme bukan kata terakhir. Akan muncul manusia yang akan menuliskan nilai-nilai baru di atas papan baru. Sejak kepercayaan bahwa ada Allah yang menguasai nasib dunia dalam keseluruhan habis, manusia sendiri harus menentukan tujuan-tujuan ekumenis yang mencakup seluruh dunia. Nilai-nilai itu adalah iya kepada dunia seadanya, tanpa dipotong, kekecualian, dan pilih-pilih. Karena itu, Nietzsche mengajarkan tidak terhadap apa saja yang melemahkan, yang melelahkan. Aku mengajarkan "iya" terhadap apa saja yang membuat kuat, yang menyimpan tenaga, yang membenarkan perasaan kekuatan. Namun bukan manusia lama, dan manusia sezaman masih manusia lama itu, yang mampu ke luar dari nihilisme. Karena itu, manusia adalah sesuatu yang harus diatasi. Yang dapat mengatasi nihilisme harus manusia yang mengatasi manusia, "sang atas-manusia". "Allah mati; sekarang kami menghendaki, agar sang atas-manusia hidup. Dialah yang akan berani menentukan sendiri apa yang bernilai baginya dan dengan demikian menjadi "pengalah Allah dan nihilisme".Â
3. Kehendak untuk Berkuasa
Gagasan Nietzsche mengenai kehendak untuk berkuasa telah menarik perhatian banyak orang pada awal abad ini, baik para pemikir maupun orang-orang yang secara langsung terlibat dalam dunia politik karena gagasan ini juga ditafsirkan dengan arti suatu provokasi politik. Salah satu ahli yang menafsirkan gagasan ini sebagai suatu provokasi politik adalah Alfred Bumler, ia meyakinkan bahwa Nietzsche di samping sebagai seorang metafisikus, ia juga seorang politikus.[21] Namun ternyata penafsiran itu tidak tercermin dalam karya-karya Nietzsche, dia tidak pernah memperlihatkan diri sebagai seorang filsuf sosial atau filsuf politik. Perlu diketahui bahwa Nietzsche sebenarnya bukan ahli filsafat dan tidak pernah menulis uraian yang sistematis. Untuk itu, mengartikan pemikirannya secara metafisik sudah pasti menyesatkan atau keliru. Ia tidak peduli apakah yang ditulisnya konsisten atau kontradiktif, dan sedikit pun tidak tertarik memberi pembuktian atau legitimasi pada penilaian-penilaiannya.[22] Justru filsafat Nietzsche sangat dekat dengan gaya hidupnya sendiri yang dapat diberi nama: individualisme, vitalisme, voluntarisme dan eksistensialisme (St. Sunardi 1999:38). Sulit membayangkan Nietzsche mencita-citakan untuk melembagakan kehendak untuk berkuasa dalam apa yang disebut negara. Baginya negara justru dipandang sebagai musuh besar, karena negara merupakan penghambat kebebasan untuk merealisasikan diri. Ia menolak negara, karena negara hanyalah merupakan kesatuan orang-orang yang hidupnya setengah-setengah dan harus dipandang sebagai godaan yang harus diatasi supaya orang dapat mencapai dirinya sendiri.
Kalau begitu, apa itu kehendak untuk berkuasa? Perlu diketahui bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa ini bagi Nietzsche adalah pusat filsafatnya.[23] Dalam bukunya Beyond Good and Evil, Nietzsche menyebutkan bahwa hakekat dunia adalah kehendak untuk berkuasa. Dan dalam The Genealogy of Morals dikatakan bahwa hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan lagi, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa hakekat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari dunia, hidup, dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari segala-galanya (St. Sunardi 1999:41). Kalau kehendak untuk berkuasa merupakan hakekat dari dunia, hidup dan ada, ini jangan seperti dipahami kaum metafisis. Kehendak untuk berkuasa bukanlah merupakan substansi atau substratum yang mendasari segala-galanya. Bagi Nietzsche kehendak untuk berkuasa merupakan khaos yang tak mempunyai landasan apapun. Dan khaos ini berada di bawah segala dasar seperti dibayangkan kaum metafisis. Kehendak berkuasa ini juga berarti bahwa segala sesuatu merupakan dinamisme yang masih berada dalam status khaos. Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa dan nihilisme merupakan dua sisi dari satu mata uang (St. Sunardi 1999:43).
Apa artinya bahwa dunia adalah kehendak untuk berkuasa? Di sini tidak akan dibicarakan tentang ke-apa-an dari kehendak untuk berkuasa, tetapi akan lebih pada konteks penolakan Nietzsche terhadap dunia yang dualistik.[24] Nietzsche menolak adanya dunia sejati seperti dipahami Schopenhauer atau dunia idea menurut Plato. Bagi Nietzsche dunia fenomenal yang berubah-ubah ini adalah satu-satunya dunia. Segala sesuatu yang ada dan terjadi adalah gejala atau penampakan atau topeng saja. Tetapi ia mengartikan gejala atau fenomena secara berbeda dari, misalnya, Schopenhauer atau Kant. Fenomena itu sendiri menurut Nietzsche adalah kenyataan sejati. Fenomena jangan dihubungkan dengan suatu "dunia sejati" yang lain, yang metafisik atau transendental. Fenomena ini tidak menyembunyikan suatu apa pun; tidak ada substratum; tidak ada realitas di belakang fenomena ini. Bagi Nietzsche fenomena harus dipahami dalam proses interpretasi. Fenomena ini merupakan manifestasi yang paling mencolok dari khaos, dan bukan dari kosmos atau suatu sistem dan manifestasi ini selalu berada dalam proses.[25] Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa Nietzsche memakai gagasan kehendak untuk berkuasa bukan sebagai prinsip metafisika melainkan hanya sebagai prinsip untuk menjelaskan atau menafsirkan dunia, karena dia hanya mengakui adanya satu dunia, yaitu dunia fenomena. Nietzsche tidak berpikir secara metafisik. Ia tidak bicara tentang alam noumenal dan alam fenomenal, melainkan ia melihat di mana saja ada hidup, di situ ada kehendak untuk timbul, tumbuh, menjadi besar, mempertahankan diri, menjadi kuat, dan berkuasa. Hidup baginya adalah kehendak untuk berkuasa. Segala apa yang hidup mencari kekuasaan, bahkan hanya mencari kekuasaan. Karena hidup adalah nilai tertinggi manusia yang betul-betul menjadi diri, manusia yang mencari identitasnya harus mengatasi cita-cita kemanusiaan yang ditentukan oleh moralitas lama dan mewujudkan kehendak untuk berkuasa (Franz Magnis-Suseno 1997:198-199).
Selanjutnya adalah bagaimana dengan gagasan hidup adalah kehendak untuk berkuasa? Nietzsche mendefinisikan hidup sebagai "sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan". Proses pemeliharaan adalah kehendak untuk mengoperasikan kekuatan-kekuatan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kehendak untuk berkuasa dari seluruh kekuatan yang termasuk dalam proses itu (St. Sunardi 1999:48). Berdasarkan pemahaman ini, Nietzsche mengakui bahwa pada prinsipnya manusia dan binatang adalah sama. Keduanya merupakan sekumpulan kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan. Namun manusia masih mempunyai kelebihan, karena manusia mempunyai potensi untuk mengatasi diri dan mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri. Kedua unsur ini tidak ada dalam diri binatang. Dengan kedua unsur ini, manusia dapat meningkatkan kehendak untuk berkuasa secara optimal. Unsur ini merupakan kebesaran bagi manusia (St. Sunardi 1999:49). Ciri paling menonjol dalam hidup adalah hidup ialah kecenderungan mencari hambatan untuk diatasi. Ciri ini berkaitan langsung dengan ciri kehendak untuk berkuasa. Secara asali kehendak untuk berkuasa hanya dapat dirasakan sebagai berkembangnya kekuasaan. Orang merasa dirinya benar-benar hidup, kalau dia merasakan pergolakan kehendak untuk berkuasa. Ringkasnya, kehendak untuk berkuasa berarti membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segala macam aturan yang mengerem nafsu dan insting. Berkuasa berarti bersemangat dan hidup menurut semangat itu.[26] Â
4. ÜbermenschÂ
Sampai sekarang, paling tidak ada dua istilah Inggris yang dipakai untuk menerjemahkan kata bermensch. Oscar Levy dan R.J. Hollingdale, penulis yang pernah merevisi dan meredaksi karya terjemahan Thus Spoke Zarathustra menerjemahkan kata bermensch dengan kata Inggris Superman. Kauffman dan Danto menilai bahwa penggunaan kata Superman dapat menyesatkan pemahaman konsep bermensch. Untuk itu Kauffman mengusulkan penggunaan istilah Overman. Namun Danto masih tidak setuju dengan pilihan Kauffman itu. Untuk itulah dalam tulisan ini penulis tetap menggunakan istilah aslinya bermensch (St. Sunardi 1999:93-94; Franz Magnis-Suseno 2006:76). Ajaran Nietzsche tentang Übermensch diperkenalkan lewat mulut tokoh Zarathustra. Ajaran ini merupakan salah satu buah rohani terpenting dari kontemplasi Zarathustra diperbukitan selama 10 tahun diperbukitan.[27 Bagi Nietzsche kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai pada saat itu telah runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Karena itulah Nietzsche melalui tokoh Zarathustra (Zoroaster), mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini tidak lain adalah bermensch. bermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. bermensch adalah manusia baru yang kembali ke semangat kekuasaan, yang telah bebas dari belenggu sistem dan moralitas lama serta mewujudkan kehendak untuk berkuasa. bermensch adalah manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang tidak dihadang oleh belas kasih sayang dengan yang lemah, dan yang seperlunya berani bertindak kejam. bermensch adalah manusia yang sepenuhnya menghayati, atau lebih tepat membiarkan diri diresapi oleh kehendak untuk berkuasa.[28] Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. Bagi Nietzsche pemberian makna pada dunia hanya dapat dicapai lewat bermensch. bermensch berada di dunia ini dan tidak di seberang dunia seperti yang dipikirkan resi tua itu. Orang yang memaknai dunia lewat bermensch menjadi tidak gentar menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahsyat (St. Sunardi 1999:96-98).
Dari uraian di atas dapat diringkaskan bahwa bagi Nietzsche bermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. bermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar. Melalui bermensch orang tidak perlu lagi memberi makna pada dunia dan hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Sebab bermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak (St. Sunardi 1999:99). Menurut Nietzsche, kedudukan manusia berada di antara binatang dan bermensch. Di satu pihak, kedudukan macam ini ditandai dengan bahaya untuk menyerah pada dorongan hidup dan resiko untuk berperang. Di lain pihak, kedudukan ini justru menandakan kebesaran manusia yang tidak identik dengan binatang. Kebesaran manusia ini hanya dapat dialami oleh orang yang mengarahkan dirinya pada bermensch, yaitu suatu kemungkinan optimal seseorang berdasarkan potensialitas kemanusiaannya atau dorongan hidupnya. bermensch ini begitu dekat dengan manusia dan setiap saat direalisasikan, karena ia justru diciptakan untuk memenuhi kehendaknya untuk berkuasa (St. Sunardi 1999:103).
Di atas telah diuraikan apa itu bermensch. Selanjutnya adalah siapa bermensch? Kalau Nietzsche berbicara tentang bermensch, ia seolah-olah menunjuk suatu pribadi yang pada satu saat benar-benar akan datang. Ada orang yang menafsirkan bahwa bermensch sebagai seorang pribadi yang kuat: sepenuhnya kerasan di dunia, tidak merasa perlu menghiraukan orang lain, tidak berpikir sedikit pun tentang apa yang terjadi di balik kubur (St. Sunardi 1999:104). Pemahaman bermensch yang bercorak mesianistik dan superlativistik ini jelas tidak sesuai dengan arti bermensch yang adalah kemungkinan terbesar yang bisa dilihat dan dapat dicapai seseorang berdasarkan prinsip kehendak untuk berkuasa. Dengan demikian bermensch selalu berada di depan mata setiap orang yang berkehendak untuk berkuasa. Kalimat terakhir ini sekaligus menyatakan bahwa bermensch tidak akan pernah dapat ditunjuk dalam perjalanan sejarah. Dia tidak sama dengan Hitler, Goethe, Napoleon, Michelangelo dan Julius Caesar yang sangat dikagumi Nietzsche. Mereka dikagumi karena mereka tokoh-tokoh yang mempunyai dorongan hidup sangat besar sekaligus dapat mengatur dorongan itu. Mereka tidak disebut Nietzsche sebagai bermensch. Mereka tidak lebih daripada orang-orang yang melihat bermensch. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan bermensch menjadi tujuan dari kehendaknya untuk berkuasa. Nietzsche menyebut mereka orang-orang besar. Sedang tentang adanya bermensch dengan tegas ia berkata, "Belum pernah ada seorang bermensch". Bagi Nietzsche makna terbesar dari dunia terletak pada bermensch. Untuk mencapai makna terbesar itu, orang harus selalu menjadi jembatan menuju bermensch. Orang akan menjadi jembatan menuju bermensch, kalau seluruh hidupnya dijiwai semangat kehendak untuk berkuasa. Ini berarti bahwa orang harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya dan mengatur hidupnya sedemikian rupa, sehingga dia terus-menerus mendapatkan pengalaman akan bertambahnya kekuasaan (St. Sunardi 1999:106).
5. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan
Gagasan moralitas budak dan moralitas tuan ini terutama sekali Nietzsche arahkan kepada agama Kristen[29] karena ia sangat benci kepada agama Kristen dan ia menganggap Kekristenan adalah agama yang nihilistik dalam pengertian bahwa mereka menyangkal setiap perbedaan yang paling pokok dari nilai antara satu manusia dengan manusia lainnya.[30] Menurutnya, kekristenan itu bersifat merosot/kemunduran, penuh dengan kebusukan dan elemen excremental. Kekristenan banyak menimbulkan kematian dan kebohongan. Menurutnya, agama Kristen telah memenangkan sikap-sikap yang mencegah perkembangan bermensch yang vital, ganas dan ditentukan oleh kehendak alam kekuasaan (Bertrand Russel 2004:691; Franz Magnis-Suseno 1997:200). Agama Kristen mengajarkan cinta kasih, kesediaan untuk menerima, untuk tidak membalas dendam, untuk memaafkan, untuk mencintai musuh, untuk bersedia mengurbankan diri. Singkatnya, Nietzsche membenci apa yang menjadi inti moralitas Kristiani. Baginya, moralitas Kristiani adalah moralitas budak. Kemenangan agama Kristiani atas agama Romawi diartikannya sebagai pemberontakan kaum budak yang sudah dimulai dalam agama Yahudi. Para budak tidak suka ditindas, tetapi juga tidak mampu membebaskan dirinya. Karena itu, memutarbalikkan semua nilai yang sampai saat itu dianggap positif: ciri-ciri yang dibanggakan oleh orang kuat, moralitas manusia tuan, dijadikan tanda keburukan, sedangkan ketidakmampuan mereka sendiri diangkat menjadi hakikat sikap baik. Jadi menurut Nietzsche moralitas budak lahir dari sentimen orang lemah terhadap orang kuat (Franz Magnis-Suseno 1997:200-201; 1998:195).
Dalam teori kehendak Nietzsche, ia mengatakan bahwa moral bukanlah tentang baik-buruk, tapi tentang keberdayaan dan ketakberdayaan subjek untuk mengutuhkan dan mendominasi hidupnya sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan, kehendak yang cacat, kehendak yang terserak (tidak utuh) yang tidak mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai gerak-memerintah (Affekt des Commandos) akan melahirkan moral budak. Ketakberdayaan budak ini tampak dalam diri Unta penurut yang selalu bersikap ya-naif atas apa pun doktrin "kamu harus" yang dibutuhkannya, maupun dalam diri Singa pemberontak yang selalu meraung tidak-naif terhadap apa pun yang berbau "kamu harus". Subjek yang terserak itu, bukannya melakukan instrospeksi diri tetapi malah memproyeksikan kemarahan dirinya kepada realitas.[31] Dari sini dapat dilihat bahwa, agama Kristen bagi Nietzsche merupakan kumpulan orang-orang yang tidak dapat mengutuhkan kehendaknya (dirinya), kumpulan orang-orang yang moralitasnya adalah moralitas budak, yaitu moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas orang yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan karena itu lalu merasa sentimen terhadap mereka yang mampu/kuat. Kasarnya, agama Kristen adalah agama Unta penurut dan Singa pemberontak. Seorang dosen mengatakan agama Kristen adalah agama orang-orang kalah, yang oleh Franz Magnis-Suseno[32] dikatakan mereka menyulap kehinaan mereka menjadi keutamaan sehingga seakan-akan tampak memiliki nilai moral yang tinggi padahal tidak sama sekali.
Selanjutnya, bagaimana dengan moralitas tuan? Untuk melawan moralitas budak itu, Nietzsche memberikan pemahaman mengenai moralitas tuan. Moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa. Inti moralitas/etika tuan adalah tekad untuk otentik, untuk berani menjadi diri sendiri, untuk merealisasikan diri. Dalam moralitas tuan, "baik" adalah sama dengan "luhur" dan "buruk" sama dengan "hina'. Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung; begitu pula si pencuriga, si penjilat dan terutama si pembohong. Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan, cirinya adalah orang yang seluruhnya membenarkan dirinya (Franz Magnis-Suseno 1998:196; 1997:202-203). Moralitas tuan akan melahirkan bermensch karena itu artinya manusia mewujudkan sendiri nilai-nilainya. Mengenai bagaimana konkretnya moralitas tuan itu dan apa artinya sikap-sikap seperti "luhur" dan "mulia" Nietzsche tidak banyak membantu. Yang jelas, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting, pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri.[33]
Beberapa Karya Nietzsche
- 1872         : Die Geburt der Tragödie (Kelahiran Tragedi)
- 1873-1876   : Unzeitgemsse Betrachtungen (Pandangan Non-Kontemporer)
- 1878-1880 Â Â : Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu Manusiawi)
- 1881         : Morgenrthe (Merahnya Pagi)
- 1882 Â Â Â Â Â Â Â Â : Die frhliche Wissenschaft (Pengetahuan Jenaka/Ilmu Ceria)
- 1883-885    : Also Sprach Zarathustra (Begitulah Sabda Zarathustra/Demikianlah Kata Zoroaster)
- 1886 Â Â Â Â Â Â Â Â : Jenseits von Gut und Bse (Melampaui Kebajikan dan Kejahatan/Di seberang baik dan jahat)
- 1887 Â Â Â Â Â Â Â Â : Zur Genealogie der Moral (Mengenal Silsilah Moral/Tentang Asal Moral
- 1888         : Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
- 1889 Â Â Â Â Â Â Â Â : Gtzen-Dmmerung (Menutupi Berhala)
- 1889 Â Â Â Â Â Â Â Â : Der Antichrist (Sang Antikristus)
- 1889 Â Â Â Â Â Â Â Â : Ecce Homo (Lihat Sang Manusia/Lihatlah Manusia)
4. Analisis Kritis
Dalam analisa kritis ini, penulis sedikit mengikuti analisa yang dilakukan oleh Franz Magnis-Suseno.
- Apakah kritik Nietzsche terhadap moralitas umum sebagai moralitas budak kena? Apakah moralitas yang memperhatikan orang lemah dan sakit serta menganjurkan agar orang tahu diri dan menguasai nafsu-nafsunya tidak lebih dari ungkapan sentimen mereka yang tidak berdaya? Jasa Nietzsche bahwa ia membuka ambivalensi yang inheren dalam moralitas itu. Bahwa budaya hati lebih daripada kemampuan untuk mengambil sikap-sikap tata krama tepat dalam setiap situasi, bahwa manusia hendaknya berani menjadi otentik, berani menjadi diri sangatlah penting dan menjadi inti utama dalam etika Eksistensialisme. Etika tersebut merupakan sebuah etika yang hanya menekankan penyesuaian diri dan sikap menerima, yang memutlakkan kerukunan dan menutup-nutupi konflik, yang menuntut agar orang selalu membawa diri secara seimbang serta jangan sampai menonjol karena dapat menjadi kerangkeng dan kebohongan eksistensial. Analisa Nietzsche dapat membuat kita menjadi lebih kritis terhadap mutu moralitas kita sendiri. Petunjuk pada peran sentimen sebagai salah satu daya motivatif kuat yang dapat meracuni seluruh sikap seseorang merupakan salah satu penemuan Nietzsche yang paling penting.
- Pemahaman Nietzsche di atas tentunya tidak dapat dilepaskan dari keadaan zamannya. Kebencian Nietzsche akan agama Kristen muncul setelah melihat kenyataan bahwa agama waktu itu hanya sebagai pelarian dari masalah di dunia nyata. Akan tetapi, kebencian Nietzsche kepada agama Kristen dan seluruh umat Kristen pada saat itu terlampau ekstrim atau terlalu memukul rata semua penganut agama Kristen. Karena bisa saja ada orang-orang Kristen yang memeluk agama Kristen bukan sebagai pelarian melainkan karena benar-benar keinginan dari hati.
- Tuhan yang dibunuh Nietzsche lebih mirip "Tuhan psikologi". Karena dia sama sekali tidak menyentuh eksistensi Tuhan.
- bermensch yang diungkapkan oleh Nietzsche tampak sebagai sesuatu yang utopis belaka, karena dia sendiri mengaku belum ada manusia yang bisa dianggap sebagai bermensch -- artinya dia sendiri pun belum masuk kategori bermensch.
Bibliografi
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Benson, Bruce Ellis. Graven Ideologies: Nietzsche, Derrida, and Marrion On Modern Idolatry. Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2002.
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1990.
Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
_____. 13 Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_____. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar Ruzz, 2008.
Nietzsche, Friedrich. On the Genealogy of Morality. United Kingdom: Cambridge University Press, 2007.
_____. Down: Thoughts On The Presumptions of Morality. Stanford, California: Stanford University Press, 2011.
Russel, Bertrand. History of Western Philosophy. London and New York: Routledge, 2004.
Sunardi, ST. Nietzsche: Kontemplasi tentang Kehendak untuk Berkuasa. Yogyakarta: LKiS, 1996.
Wibowo, A. Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI