Mohon tunggu...
Asdhar Palopo
Asdhar Palopo Mohon Tunggu... -

SAYA ADALAH WARGA BIASA SAJA Salam kenal, saya adalah warga baru di Kompasiana yang mencoba menuangkan ide kedalam tulisan. Tentu saja saya mengharap masukan dan kritik dari teman teman kompasianer atas tulisan yang saya post. Thanks.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keberadaan Masyarakat Adat Dongi di Sorowako (1)

12 November 2010   11:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berjuang Mempertahankan Tanah Leluhur

[caption id="attachment_74872" align="aligncenter" width="300" caption="Salah seorang warga Dongi saat menggelar aksi demonstrasi dalam memperingati hari adat sedunia, beberapa waktu lalu. (Sumber foto: Istimewa)"][/caption]

“Bagaimana pun beratnya hidup di sini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air danau Matano, begitu dekat di hati. Tak ada tempat lain di dunia yang bisa menggantikan tanah kami.”

Sepenggal kata-kata diatas adalah bentuk ungkapan hati seorang Yuliana, 60, warga Suku dongi yang kini tinggal di Sorowako. Jalan menuju ke rumah Yuliana, 60, hanya berjarak sekitar 500 meter dari Bumi Perkemahan (Bumper) Sorowako. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, Yuliana masih beraktifitas seperti biasa, yakni berkebun dan bercocok tanam di lahan dekat rumahnya.

Yuliana, merupakan satu dari puluhan warga Suku Dongi yang berada di desa kampung Baru, kecamatan Nuha, Luwu Timur. Keberadaan perkampungan milik masyarakat Dongi itu tampak kontras dengan pembangunan kemewahan di kawasan areal pertambangan milik PT International Nickel Indonesia (Inco). Hanya terdapat beberapa rumah tempat tinggal warga suku Dongi yang berada tepat di samping Lapangan Golf milik perusahan nikel terbesar di Sulawesi itu.

Konflik antara masyarakat Dongi dengan PT Inco memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Saat itu, masyarakat Dongi telah melakukan berbagai upaya lobby dengan pihak perusahaan dan pemerintah daerah, agar mereka dapat kembali menguasai tanah leluhur mereka.

Penderitaan warga Suku Dongi memang sangat panjang, setidaknya mereka sudah merasakan penderitaan sejak jaman kolonial Belanda lalu. Yuliana menceritakan, Tahun  1870, masyarakat Dongi yang cikal-bakalnya berasal dari tanah Witamorini meninggalkan Lembomoboo, yaitu setelah meletusnya perang antara Kolonilisme Belanda melawan Masyarakat Dongi di Bentewita (Saat ini wilayah tersebut berada di Propinsi Sulawesi Tengah).

Witamorini ditinggalkan secara praktis, pada tahun 1880. Masyarakatnya kemudian terpencar dan berpindah-pindah hidup. Bukti-bukti perpindahan dan kehidupan mereka hingga saat ini masih dapat kita saksikan melalui situs-situs perkampungan dan kuburan leluhur mereka yang terdapat di beberapa areal yang dikuasai oleh PT Inco. Secara berangsur, warga Dongi kemudian kembali ke tanah leluhur mereka.

Pada masa timbulnya pergolakan sosial di Sulawesi Selatan oleh DI/TII sekitar tahun 1950an, maka Masyarakat Dongi dan Masyarakat Sorowako pada umumnya kembali mengungsi ke Soluro Pada tahun 1954/1956. Pada tahun 1957 Kekacauan semakin meningkat dan memaksa Masyarakat Karunsi'e Dongi yang mengungsi di Soluro terpaksa harus menyebar hingga ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Pada tahun 1969-1976 Masyarakat Dongi yang ada di Pengungsian mulai kembali ke Dongi atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Baru. Namun, kondisi di tanah Dongi sudah berubah. Pasalnya, baik perkampungan, sawah, lahan perkebunan dan hutan adat sudah dikuasai oleh PT Inco melalui kontrak karya yang diperoleh dari Pemerintah pada tahun 1968.

Bagi masyarakat Dongi, keberadaan PT Inco merupakan bentuk pengambil alihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat Adat Dongi, yakni berupa tanah tanpa pemberian ganti rugi atau kompensasi apapun.

Perkampungan itu kini telah menjadi pemukiman karyawan PT Inco dan lapangan golf, tetapi situs-situs perkampungan sebagian besar masih eksis bahkan terawat dengan baik hingga saat ini, termasuk jalan raya, kuburan, tanaman jangka panjang, dan sejumlah peninggalan lainnya.

“Saat ini, bekas kampung Dongi sudah dikuasai oleh perusahaan, namun, kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah tanah peninggalan leluhur,” ujar Yuliana.

BAca juga artikel ini di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun