Mohon tunggu...
Wurry Agus Parluten
Wurry Agus Parluten Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Ayah dan Suami.

Pernah menjadi Penulis Skenario, Pembuat Film Indie, Penulis (jadi-jadian), Pembaca, (semacam) Petani, (semacam) Satpam. Sekarang gemar dengan #tagar atau #hashtag guna mengisi sisa hidup.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepuluh Kebutuhan Primer

27 Juni 2022   09:00 Diperbarui: 27 Juni 2022   09:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Salam kenal! Setelah sekian lama, saya kembali menulis di Kompasiana dengan umur yang tentu saja kian berkurang. Saya sadar, bahwa di usia lebih dari 40 tahun ini, rasanya tak ada lagi yang bisa saya lakukan selain meninggalkan jejak digital semasa hidup. 

Ya, jika bukan saya sendiri, siapa lagi yang peduli dengan apa yang ada di isi otak ini. Daripada saya terjebak oleh gejala penyakit baper yang tak berkesudahan, lebih baik saya kembali menulis, karena sejatinya saya memang pernah menjalani hidup sebagai penulis.
-----
Menjadi penulis itu ada enaknya, ada juga enggak enak. Apalagi selama menjadi penulis saya cenderung freelance, alias serabutan (kata orang, sih). Gak enaknya jadi "freelance writer" itu adalah saat tulisan kita yang udah diperjuangkan sampai titik darah penghabisan ternyata tak sesuai dengan keinginan klien. Dasarnya saya bukan tipe yang suka protes-protes (apalagi di usia tua ini), saya pun cenderung memperbanyak ibadah agar suasana hati kembali kepada hikmah.
-----
Sebenarnya ditolak klien belum seberapa, sebab ada yang menyakitkan lagi dibanding itu, yaitu dibajak. Tulisan kita yang katanya ditolak itu dibajak oleh orang lain, dan sukses. Kita hanya bisa gigit jari sambil garuk-garuk pantat. Saya pernah berada di fase ini, bahkan pada level ide-ide tulisan. 

Tapi karena saya ingat dulu suka beli-beli CD/DVD bajakan, maka di usia sekarang saya tersadar, mungkin inilah yang dimaksud dengan hukum karma. 

Kebiasaan nonton bajakan, download dengan cara membajak, dsb. Bikin saya sadar diri dengan tindakan buruk yang pernah saya lakukan. Ujung-ujungnya, ya sudahlah. Daripada memaksakan diri untuk mengejar eksistensi, lebih baik mencari cara lain dulu untuk bertahan hidup sambil terus belajar.
-----
Yang enak dari menjadi "freelance writer" ini adalah saat dapat khabar bahwa honor sudah ditransfer, zaman dulu berita-nya kalau nggak dari sms, ya ditelpon. Kalau uang sudah diterima, keluar dari ATM senyum langsung sumringah, mata yang tadinya sayu pun berubah jadi segar. 

Waktu pulang bertemu istri pun beda, sebelumnya suka menggerutu ngalor-ngidul nggak jelas karena honor belum masuk, eh pas saldo tabungan bertambah, entah kenapa istri jadi tambah cantik-jelita harum mempesona. Ini beneran lebay, nggak bohong. Meski argumennya bersifat personal, tapi ilmiah. Walaupun ilmiahnya subjektif berdasarkan pandangan saya saja.
-----
Beberapa teman saya bahkan ada yang dapat insentif bonus, alias tambahan di luar dari honor tadi. Khabarnya ini berlaku jika tulisan skenario kita mendapat rating yang fantastis (untuk TV) atau jumlah penonton membludak (untuk Film). Jika sampai di level ini, pertanda bahwa segala usaha kita tidak sia-sia. 

Jerih payah otak memikirkan inovasi jalan cerita (ceile) pun terbayar sudah oleh hasil yang nyata. Konon khabarnya, insentif nggak melulu berbentuk uang. 

Ada insentif berbentuk mobil, rumah (mungkin), dsb. Yang jelas, kecenderungan insentif bonus ini diberikan karena si Penulis Skenario sudah berjasa bikin Produser jadi untung. Sebab kalau Penulis Skenario bikin Produser jadi buntung, boro-boro insentif, minta air putih di Production House (PH)-nya saja belum tentu dikasih. Apalagi sekedar numpang kencing.
-----
Suka duka jadi penulis ini sudah mendarah daging dalam kehidupan saya, sampai-sampai di zaman BlackBerry dan WhatsApp memutuskan untuk kurangi menulis, tetap saja, tangan masih tetap terus menulis. 

Mulai dari menulis aktif di status Facebook, lalu baca-tulis di Blogspot, kemudian hobi membuat tagar di Twitter, sampai kembali ke kebiasaan orang-orang dulu yang menulis buku harian pakai tangan. Makin ke mari, saya kian sadar bahwa betapa pentingnya setiap kata yang diciptakan di dunia ini. 

Dengan kata, saya bisa menelusuri kebingungan yang muncul akibat instan-nya informasi/pengetahuan di masa sekarang (beda zaman dengan era Departemen Penerangan).
-----
Salah satu contohnya, ketika saya menemukan tagar #TenBasicNeeds. Padahal awalnya, pengetahuan saya tentang kebutuhan primer hanya terdiri dari Sandang-Pangan-Papan. 

Era sekarang sudah berubah, kebutuhan primer (basic needs) kian bertambah. Bahkan khabarnya (jika mengintip kesimpulan Wikipedia), sekarang ini masanya dimana setiap kelompok (atau yang se-tipe) punya cara masing-masing dalam menciptakan klasifikasi kebutuhan primer. Inilah yang membuat saya makin yakin, bahwa tagar #TenBasicNeeds layak untuk diselami. Meskipun sebenarnya ada sudut pandang lain, seperti pendekatan Abraham Maslow yang lebih kental dengan nuansa psikologis.
-----
"Ten Basic Needs" dibuat bukan untuk sok-sok memakai bahasa Inggris, justru sebenarnya saya sedang melatih diri dengan kosakata-nya. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, barangkali terjemahan-nya lebih pas menjadi "Sepuluh Kebutuhan Primer", terdiri dari:
1. Air (Udara),
2. Water (Air),
3. Food (Makanan/Pangan),
4. Clothing (Pakaian/Sandang),
5. Shelter (Rumah/Papan),
6. Sanitation (Sanitasi)
7. Healthcare (Kesehatan),
8. Energy (Energi),
9. Internet,
10. Education (Pendidikan).
-----
Saya sebenarnya nggak ngerti, mengapa awalnya tertarik dengan topik ini? Mungkin karena sudah sangat jarang menulis skenario lagi, maka saya mencari hal-hal utama di dalam kehidupan sehari-hari. 

Buat saya pribadi, ini semacam mengembalikan pola pikir yang dulunya cenderung ke arah fiksi menjadi non-fiksi. Sebab terjebak di dunia fiksi itu suka dianggap "drama", padahal hidup ini nggak sekedar genre drama saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun