Mohon tunggu...
Asa Mulchias
Asa Mulchias Mohon Tunggu... -

Author | Columnist | Editor | Book Mentor

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Muslim & Natal

12 Desember 2014   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418377283702816191

Saya mengerti: ada sebagian orang yang ingin bertoleran. Ingin menjaga hubungan baik dan pertemanan. Lalu, benarkah pembicaraan yang menyebutkan: mengucapkan selamat pada hari Natal, haram total? Apakah tidak ada jalan tengah untuk keluar?

Pertama, perlu kita paham, Islam adalah rahmat seluruh alam. Bahwa Allah menurunkannya sebagai petunjuk untuk diikut, dengan sepenuh yakin akan akhirat dan pembalasan. Sehingga, apa-apa yang diatur di dalamnya, adalah untuk kebaikanmu juga. Bukan buat yang lain.

Kedua, dalam agama ini: ada hal-hal yang tak bisa diganggu gugat. Ada yang kebalikan. Salah satunya adalah aqidah. Amat ketat, sampai-sampai penegasannya sampai turun ayat. Asbabun Nuzul-nya, dibacakan. Diriwayatkan, suatu hari, Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Aswad bin Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datangi Rasul untuk sebuah penawaran. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Muhammad, mari kita mengadakan persekutuan, yakni menyembah apa yang kami sembah, kemudian pada saarnya kami akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan bersekutu dalam semua urusan. Kamulah yang menjadi pimpinan dalam hal ini.” Maka, turunlah peringatan dari Allah untuk Rasulullah dan segenap umat. Tentang hakikat dari apa yang ditawarkan. surat Al-Kafirun: satu sampai enam.
"Katakanlah, 'Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.'"

Ketiga, tafsir keenam ayat ini menjelaskan: agar kita berlepas diri dari agama kaum kuffar. Agar kita mampu mengatakan: aku tak akan beribadah dengan ikuti ibadah yang orang kafir lakukan. Hanya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia cintai. Dia ridhai. Lakum diinukum, Imam Bukhari mengartikan, bagi kalian kekafiran yang kalian lakukan. “Wa iiya diin” maksudnya bagi kami agama kami. Dalam ayat ini tidak disebut dengan diinii karena kalimat tersebut sudah terdapat huruf “nuun” kemudian “yaa” dihapus sebagaimana hal ini terdapat pada kalimat “yahdiin” atau “yashfiin”. Ulama lain mengatakan bahwa ayat: “laa ‘abudu ma ta’buduun” maksudnya adalah aku tidak menyembah apa yang kalian sembah untuk saat ini. Aku juga tidak akan memenuhi ajakan kalian di sisa umurku (artinya: dan seterusnya aku tidak menyembah apa yang kalian sembah), sebagaimana Allah katakan selanjutnya “walaa antum ‘abiduuna maa a’bud”.

Empat, lalu, bagaimana dengan ucapan natal? Apakah termasuk dalam pelarangan? Ada yang menjawab persoalan ini dengan menyebutkan sejarah Natal dan betapa kentalnya momen ini dengan aqidah Nashrani. Sehingga, pengucapan "selamat" atasnya, berarti mengakui aqidah Nashrani itu sendiri. Dan, oleh karenanya, ia termasuk hal-hal yang telah dilarang Allah dalam surat di atas. Ada pula yang berpendapat bahwa mengucapkan hal tersebut adalah diperbolehkan dan merupakan kebaikan tersendiri, antar sesama makhluk. Ada lagi yang mengatakan, bahwa pengucapan Natal itu kasuistik, tidak bisa digeneralisir, ada syarat-syaratnya. Tidak setiap kesempatan kita boleh mengatakannya. Tidak setiap kesempatan juga kita haram mengatakannya.

Kelima, jalan keluarnya? Kita ambil pendapat yang membolehkan, tapi dengan syarat-syarat yang ketat. Kenapa? Kalau sepenuhnya diharamkan, tidak sesuai juga dengan sirah Nabi yang mulia. Di mana kita jumpai kisah Ammar bin Yasir. Yang disakiti dan hampir meninggal oleh kaum kuffar. Ia menyebut nama berhala, dan karenanya siksaan dihentikan. Namun, setelah itu, ia datang penuh penyesalan pada Rasul. Takut kalau-kalau dirinya telah berdosa besar. Kemudian turun surat An-Nahl, ayat 106. Allah mengatakan, "Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar."

Dengan pijakan ini, kita dapat mengambil kesimpulan: boleh mengucapkan selamat dalam momen Natal pada umat Nashrani bila nyawa kita terancam ketika tidak melakukannya. Bila kita tinggal di negeri di mana muslim adalah minoritas, dan mungkin intimidasi terjadi--yang menyebabkan jiwa melayang. Syariat Islam turun itu untuk menyelamatkan lima hal. Yakni: agama, nyawa, akal, harta, keturunan.
Bagaimana jika memilih untuk tetap tidak mengucapkan, kemudian mati terbunuh?
Insya Allah, kita juga menemukan kisah Sumayyah, ibunda Ammar. Yang memilih tak ucap kata kufur, dan syahid dalam perjuangan. Hal ini dipuji Allah dan RasulNya. Karenanya, ini masalah pilihan. Jika mau memilih seperti Sumayyah, silakan. Jika memilih seperti Ammar, juga tak mengapa. Semuanya memiliki ganjarannya masing-masing.

Kesimpulannya: dalam kondisi negeri yang aman dan kondusif, kita tidak perlu mengucapkan selamat pada kaum Nashrani. Bukan karena kita tak mengenal toleransi, tapi ini adalah aturan yang Allah turunkan. Jika kita mau bertoleransi, sebagai umat Islam, juga perlu mendengar apa kata Allah, bukan kata manusia. Apa yang menurut manusia adalah toleransi, belum tentu di mata Allah demikian adanya. Bagaimana mungkin kita menjunjung tinggi persepsi manusia tentang toleransi antar manusia, sedang kita mengabaikan batas-batas toleransi yang ditetapkan Tuhannya manusia?

Dalam Islam, toleransi antar umat beragama sudah ditetapkan: dalam sekup muammalah, bukan aqidah. Tak mengapa bergaul dengan mereka. Berdagang, bekerja sama, bertetangga, dan sebagainya. Selama itu tidak ada di wilayah agama. Bila kita merasa tidak enak karena umat Nashrani telah ucapkan Selamat Idul Fitri, maka kita perlu paham: tidak ada kewajiban yang dibebankan Allah atas kita untuk membalas hal serupa. Jika umat Nashrani melakukannya, itu dikembalikan lagi pada "aturan" agama mereka. Jika aqidah mereka membolehkan, itu urusan mereka. Bukan kita. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.

Semoga kita bisa hidup rukun dengan umat agama lain, bukan hanya Nashrani, dengan tetap memegang kukuh agama kita masing-masing. Allahu'alam....

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun