Di tengah tekanan dunia kerja yang makin kompleks, istilah "kabur aja dulu" mulai banyak muncul di media sosial sebagai ekspresi dari generasi muda---khususnya Gen Z---yang memutuskan keluar dari pekerjaan secara mendadak, tanpa pemberitahuan formal. Sekilas terkesan impulsif, bahkan tidak profesional, tetapi jika dilihat dari sisi hubungan industrial, ini mencerminkan krisis yang lebih dalam: pekerja muda merasa tidak didengar, tidak dilindungi, dan tidak diberi ruang untuk tumbuh.
Dalam artikel yang diterbitkan Think Policy (2024), fenomena ini muncul dari pengalaman nyata para pekerja muda yang mengalami tekanan kerja berlebihan, burnout, serta lingkungan kerja yang dianggap toksik. Mereka merasa bahwa prosedur resign secara formal terlalu panjang, birokratis, dan pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah utama: mereka tidak merasa aman secara mental dan emosional di tempat kerja.
Fenomena "kabur aja dulu" pun menjadi semacam bentuk protes diam-diam. Banyak pekerja muda merasa tidak punya ruang untuk menyampaikan keluhan atau mencari solusi. Ini menunjukkan bahwa hubungan industrial di banyak tempat kerja masih lemah dan timpang, di mana suara pekerja tidak mendapat tempat dalam pengambilan keputusan. Ketika tidak tersedia ruang aman dan dialog sosial, maka pekerja cenderung memilih jalan keluar sendiri---bahkan jika caranya tidak sesuai prosedur.
Di sisi lain, kegagalan dalam menyediakan perlindungan kesehatan mental juga menjadi penyebab utama dari meningkatnya fenomena ini. Dalam banyak kasus, tidak tersedia mekanisme internal yang bisa membantu pekerja menghadapi tekanan, seperti konseling, cuti burnout, atau fleksibilitas kerja. Padahal, lingkungan kerja yang sehat secara psikologis merupakan bagian dari hak dasar pekerja menurut prinsip hubungan industrial yang berkeadilan.
Selain itu, ketidakjelasan status kerja turut memperburuk situasi. Dalam laporan SMERU Research Institute (2022), ditemukan bahwa banyak pekerja muda, khususnya di sektor informal atau dengan sistem kontrak jangka pendek, tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas. Tanpa kontrak yang mengikat, pekerja pun merasa tidak punya kewajiban moral atau hukum untuk menyelesaikan hubungan kerja secara resmi. Maka tak heran jika mereka merasa bebas untuk "kabur" kapan saja, tanpa harus melalui proses yang panjang dan melelahkan.
Namun tentu saja, tindakan "kabur" juga membawa risiko. Banyak pekerja yang kehilangan hak atas gaji terakhir, surat pengalaman kerja, bahkan bisa masuk daftar hitam internal perusahaan. Artinya, keputusan ini merugikan tidak hanya perusahaan, tetapi juga pekerja itu sendiri. Tingkat turnover karyawan yang tinggi menyebabkan proses rekrutmen dan pelatihan ulang terus-menerus dilakukan, yang tentu menguras waktu dan biaya. Di saat yang sama, citra perusahaan pun bisa rusak di mata pencari kerja lain.
Dari sudut pandang hubungan industrial, fenomena ini menjadi bukti bahwa dunia kerja sedang mengalami krisis kepercayaan antara pekerja dan pengusaha. Jika tidak segera direspons dengan serius, maka kondisi ini bisa memperburuk kualitas hubungan kerja secara nasional.
Karena itu, solusi jangka panjang perlu segera diterapkan. Perusahaan perlu mulai membangun sistem kerja yang lebih manusiawi, dialogis, dan fleksibel. Salah satunya dengan menghadirkan kebijakan yang melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan serta menyediakan dukungan kesehatan mental yang nyata. Sementara itu, pekerja muda juga perlu memahami hak dan kewajiban mereka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, agar tidak selalu mengandalkan keputusan emosional atau instan.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa hubungan industrial bukan sekadar urusan administratif. Ia adalah ruang hidup bersama antara pekerja dan pengusaha. Dan selama dunia kerja belum mampu membangun ruang yang aman, sehat, dan adil, maka "kabur aja dulu" akan tetap menjadi pilihan diam-diam yang terasa paling masuk akal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI