Mohon tunggu...
Bang Fu
Bang Fu Mohon Tunggu... Penulis - Kuncen di kolom #Criticaldailyreportase dan #PedagogI'n'AnalogI

"meletup-letuplah api kebersamaan dan jadikanlah daku penerang untuk gelapnya dunia ini" -sastrus24

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Identitas Sebagai Entitas Kehidupan

20 Februari 2018   00:24 Diperbarui: 20 Februari 2018   00:55 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Identitas Sebagai Entitas Kehidupan

Dalam peradaban yang serba cepat namun terbatas oleh bentuk kehidupan, identitas adalah hal dasar yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Salah satu karya fenomenal shakespeare: Romeo and juliet dituliskan What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.

Kalimat inilah bentuk representasi yang menjadi corak pemikiran khas sana (baca: Barat). Namun, di sisi lain dalam penulisan cerita epik dan fenomenal di timur tengah layla dan majnun, justru corak nama sebagai identitas itu yang sangat dipertahankan eksistensinya, lalu manakah diantara dua corak ini yang mengandung kebenaran ?

Sebelum lanjut pada tahap lanjutan. Ada kejadian menarik yang sekilas terlintas di benak saya. Tentu pembahasan identitaslah yang menjadi pokoknya. Beberapa hari yang lalu saya ditegur oleh bapak mengenai puisi yang berjudul dewa telah hidup (kembali) dikarenakan ada beberapa kalimat yang dianggap lalai. Mengapa ditegur ? peneguran ini terjadi dengan alasan yang konkret sebab dalam ruang lingkup kajian filsafat bahasa baik beraliran strukturalis, poststrukturalis, maupun superstrukturalis terdapat perdebatan panjang kajian bahasa yang menyimpan teka-teki menarik untuk dipecahkan.

Proses ini dimulai dari analisa Ferdinand de Sausure terhadap fenomena-fenomena bahasa yang terjadi, walau ia sendiri tidak pernah berinisiatif untuk membukukan teorinya yang kelak justru pemikirannya mengilhamimuridnya untuk dibukukan dan teorinya digunakan dalam memahami teks maupun konteks kebahasaan.

Dalam definisi yang ditawarkan oleh Paul Ricoeur, seorang filsuf bahasa, bahasa diklaim terdiri dari "struktur" dan "sistem" yang mereferensikan suatu nama dan suatu kata kerja, nama inilah yang menjadi bentuk artifisial dari keadaan diakronik berupa pesan. sedangkan kata kerja adalah reprentasi dari peristiwa yang cenderung bersifat sinkronik. Peran ganda inilah menyimpan kekuatannya yang besar dalam pertarungan abadi berbentuk ideologi dan cenderung disalahgunakan maupun diboomingkan oleh warganet. Sebagai contoh, klaim "agama itu candu"oleh marx adalah sepotong teks yang cenderung dipolitisasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi maupun kekuasaan. sebab dilihat dari sudut basis pendukung, marx memiliki basis pengikut yang lumayan besar sehingga peluang memelintir teks tersebut sangat besar.

Identitas sendiri mempunyai beragam bentuk sesuai mengikuti konteks yang berlaku. Misalnya, marga pada nama menunjukkan identitas suku dia berasal, cara beribadah menunjukkan identitas agama maupun kepercayaan yang dianutnya. Masalahnya, pada generasi Z - Generasi dimana kehidupan cenderung mengalami ketidakpastian -- mengalami alienasi terhadap informasi yang disampaikan serta perubahan peradaban yang terlalu cepat menimbulkan ketertinggalan yang berakibat pada kecemburuan sosial.

Perkenankan saya paparkan beberapa kisah yang dialami oleh keluarga saya sebagai sumber primer data ini. Keluarga saya menceritakan bagaimana sulitnya mereka dalam menjalankan kehidupan beragama, terutama kaum perempuan. Pada zaman orba, hampir setiap orang yang memakai jilbab dituduh sebagai teroris dan cenderung dikucilkan utamanya di lembaga-lembaga pendidikan. Secara psikologis, perlakuan ini sejatinya tidak dibenarkan sebab menodai hak mereka dalam beragama hingga muncullah gerakan-gerakan oportunis terhadap peraturan ini. Hal ini masih dapat kita lihat dari corak novel yang ditawarkan oleh Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawannya. Inilah yang saya sebut sebagai usaha perebutan identitas.

Perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut akhirnya bisa kita nikmati sekarang. Dimana-mana dapat kita saksikan orang-orang mulai berhijab dan menciptakan gaya busana hijab mereka masing-masing. Tidak ada lagi bentuk represif seperti pada masa-masa suram itu. Adapun teks (dalil) yang dijadikan landasan hukum kegiatan ibadah ini mengalami substansi permasalahan yang sama dengan kajian kebahasaan sehingga pengkajiannya relatif cukup komperehensif dengan kriteria-kriteria yang eksklusif.

Lalu, pada generasi Z ini entah karena tuntutan kehidupan yang lebih terarah pada materialis. Pengikisan identitas kita baik dalam beragama, bernegara, berbangsa dan lain sebagainya sudah dilakukan sejak lama. Hal ini bisa dilihat dalam jurnal-jurnal yang membahas masalah kaum urban -- dan tentu ini pembahasan yang intensif. Namun, saya tidak sependapat pada ujaran salah seorang penulis perbandingan sastra yang menyebutkan bahwa penggunaan jilbab sejak kecil terindikasi sebagai bentuk pemaksaan. Hal ini sangat perlu digarisbawahi bahwa penggunaan jilbab kecil sejak kecil bukanlah pemaksaan melainkan penanaman nilai identitas beragama. Hal inilah yang sering disalahpahami oleh beberapa kalangan yang sudah menyatakan keengganan mereka dalam melihat dari sudut pandang agama seperti halnya penanaman nilai dan identitas kebangsaan.

Dogma agama tidak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar, mengapa ? dengan berpihaknya kita pada salah satu sisi justru akan menutup dialog kritis terhadap kebenaran dalam beragama. Dipicunya kehidupan yang serba instan memunculkan komersialisasi dogma pemahaman maupun ideologi dan cenderung mengiyakan apa yang mereka terima. Padahal, perintah belajar (learning) dari lahir hingga kubur merupakan perintah melakukan pencarian ulang (research) atas dogma yang kita terima, dan mereka yang abai inilah yang menilai sekedar dari permukaannya saja. Begitu pula dalam bernegara maupun berbagsa.

Dengan semakin sesaknya kehidupan ini, maka hal yang menjadi rujukan pembeda kehidupan satu dengan kehidupan lain tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah identitas. Sehingga pemaknaan dan pelaksanaan inilah yang perlu kita kaji lagi.

Surabaya, 20 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun