Mohon tunggu...
Catatan Tepi
Catatan Tepi Mohon Tunggu... profesional -

Ary Noer : Pekerja kantor, Trainer, Konsultan QHSE, Entrepreneur UKM, Penulis Catatan Tepi , Seorang suami dan juga seorang ayah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Untukmu Cintaku, Untukku Agamaku

26 Maret 2013   10:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:12 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1364270962157566904

Pagi itu cerah, langitkawasan East Gosford dihiasi awan tipis. Bunga‘gerbera’ berjajar di sepanjang pintu masuk ‘Propagation Plant’ merekah dengan indah . Musim panas belumlah berakhir ketika semua orang di sana sibuk menyiapkan ribuan bibit bunga untuk dipindahkan dari media sementara ke media yang lebih besar.

Saya menurunkan kecepatan sedan Hyundai excel yang saya kendarai ketika jalan mulai menikung ketempat parkir yang tertutup gravel. Suhu tak terlalu dingin dan seperti dihari yang lain di musim panas kala itu, setiap jam temperature akan naik hingga tengah hari dan mencapai puncaknya ke lebih dari angka empat puluh derajat Celsius.

Suara burung Kookaburadi sebuah pohon menyambut seduhan sereal yang saya tuangkan didalam cangkir keramik berbendera Indonesia yang saya bawa dari Jakarta. Sepucuk surat tergeletak rapi di atas meja saya yang penuh dengan beberapa elektroda boiler setelah kemarin dikirimkan oleh dua teknisi yang saya panggil untuk membetulkan pemanas air di ruang produksi.

Setelah mengaduk sereal agar bercampur, tangan saya meraih amplop kuning mudadan menyobek ujungnya dengan perlahan.

“Aaah..You’ve got a love letter!” sapaan Amy yang tiba-tiba melintas membuat saya terkejut bukan alang kepalang. Hampir saja sereal tertumpah ke keyboard ketika Amy seorang staff kantor menyapa saya yang tengah membuka sebuah surat. Saya melempar Amy dengan segumpal kertas dan ia tertawa lepas menuju ruangannya, ia memang yang meletakkan surat itu kemarin sore.

Surat itu bertabur bunga, kombinasi warna biru, hijau dan merah menyala dengan lipatan yang unik dan saya mengenalinya, Surat dari Shinta, yang begitu lama tak menyapa dan tak pernah bertukar kabar sekian tahun berjalan. Karena hari masih pagi, setengah jam sebelum rapat pagi dimulai, saya membawa diri ini kebawah pohon eucalyptus yang menjulang tinggi dan menghenyakkan diri saya ke sebuah kursi panjang yang disediakan untuk tea time, tak sedikitpun hembusan angin menyapa wajah, pagi itu begitu tenang.

Shinta lama tak saya jumpai, seorang yang amat baik hati, gadis berlesung pipit berkulit putih, adik kelas di masa sekolah menengah atas yang senantiasa menemani perjalanan sekolah saya dulu. Ia seorang peranakkan jawa, dengan ayah dan ibu yang amat kental kultur jawanya. Hari sekolah selalu indah bersama dia, karena ia kerap membantu saya mengerjakan beberapa soal pekerjaan rumah pelajaran kimia yang amat saya benci, pulang mengantarnya ke halte bus adalah hal rutin yang setiap hari saya lakukan. Hingga lulus sekolah SMA dan berjuang untuk membiayai kuliah, saya masih bersama dirinya tanpa tahu apa yang mendasari hubungan kami berdua, sebuah hubungan yang bersifat seperti adik dan kakak namun terbersit rasa saling mengagumi satu sama lain. Saya tak tahu perasaan apa yang saya rasakan ketika itu, namun ketakutan saya selalu muncul ketika mengetahui bahwa kita berbeda, berbeda dalam hal yang sangat mendasar yaitu perbedaan Agama, saya seorang muslim dan ia seorang Protestan. Jika hanya sekedar berteman ketakutan itu mestinya tidak perlu ada, dan itu mungkin menandakan sebuah rasa yang berbeda pada dirinya.

Selama bersamanya, kami terkadang bicara soal perbedaan itu, ia mengajarkan pada saya mengenai agama yang ia anut sedang saya dalam beberapa kesempatan yang sama juga memberikan pandangan padanya tentang agama saya padanya. Ibu dan bapaknya memandang kami seperti dua sejoli yang pasti sudah menginjak pada Hubungan berpacaran, namun sejatinya saya tak pernah melangkah lebih dari sebuah persahabatan, bahkan meskipun mungkin bukan sesuatu yang mustahil, untuk menciumnya pun saya tak pernah berani melakukannya.

Kami memang tak pernah saling mengungkapkan perasaan cinta, dan itu semua berlangsung sekian lama dan rasa itu ada ditutupi oleh kedekatan kami dalam beberapa kegiatan bersamayang terkadang tak sempat untuk membahasnya.Saya meyakini kami berdua tak berani untuk menyakiti keyakinan kami masing-masing yang memang berbeda dan mungkin saja akan jadi prasyarat harus dipersamakanjika kami memutuskan untuk menjadi pasangan hidup.

Seiring waktu kami membiarkan diri masing-masing larut dalam pengejaran masa depan, Shinta kuliah dan sayapun berjuang untuk kuliah sambil bekerja. Waktu memang dibuat oleh Yang maha kuasa agar manusia tak larut dalam masalah dan dijadikan sebagai ruang yang bisa dijadikan untuk mengisi hal lain selain yang ada di masa lalu. Perlahan kami mulai salingtidak menyapa baik lewat surat maupun pertemuan, tak ada kata berpisah atau janji apa-apa, kami terpisah ruang juga waktu.

Ketika saya mendapati seorang perempuan lain yang sama baiknya dan begitu mengerti siapa saya, bayangan Shinta perlahan bukan menghilang namun muncul sesekali. Bahkan setelah sekian lama menilai dan mempelajari siapa perempuan itu dan di sore hari saat saya bertekad menyatakan bahwa seluruh hidup saya kedepan akan saya bagi bersama perempuan yang kelak menjadi istri saya maka perasaan bersalah menghinggapi, apakah saya telah mengkhianati persahabatan? Mengkhianati Shinta?.

Ibu saya menguatkan, bahwa saya tak perlu merisaukan karena saya dan Shinta berbeda. Sangat perlu pengorbanan bila kami ingin bersatu karena tak mungkin menyatukan ikatan yang di ikrarkan di hadapan Sang Maha pencipta sementara kami memiliki cara dan paham yang berbeda.

“Kamu tidak mengkhianatinya, kamu tak perlu memberitahu dan meminta persetujuannya karena tak satupun janji yang pernah kamu berikan padanya. Ibu tahu ia anak yang baik, baik pula untuk jadi menantu, tapiperbedaan itu begitu prinsip dan sebaiknya kamu melupakannya ketika kamu memutuskan memilih orang lain yang sama atau lebih baik darinya untuk jadi istrimu!” Ibu memberi saya nasehat ditengah kebimbangan yang ada antara perlunya saya menghubungi Shinta atau tidak karenalima tahun lamanya kami tak saling mengetahui kabar masing-masing. Akhirnya saya merancang pernikahan tepat ketika kantor tempat saya bekerja memutuskan untuk mengirim saya bertugas di Australia, kami merencanakan akan melaksanakan pernikahansaat pulang di satu tahun setelah keberangkatan saya ke negeri di bumi selatan itu.

Ketika kata demi kata saya baca dari surat Shinta yang telah terbuka, desir hati terasa kembali ke masa lalu. Seorang yang dari hari kehari membuat saya hidup bersemangat sebelum hadirnya calon istri saya, dengan kulit putih yang halus berlesung pipit dengan rambut ikal disertai tawa yang membuat hari tak pernah sepi.

“…………….Aku mendengar kamu berencana menikah tahun depan, untuk itu aku kirim surat ini setelah mendapat alamat dari seorang teman. Meski sekian lama tak bertukar kabar, tetapi ada rasa kehilangan yang tiba-tiba menyergap aku danmembuat hampa. Kita memang tak pernah berikrar, aku tahu karena kamu meragukan perbedaan kita tak akan pernah bisa disatukan, meski aku sempat berpikir untuk berjalan bersama keyakinan kamu dan aku ingin kamu tahu itu sejak dulu. Semua sudah menjadi keputusan, keputusan diri kamu dan keputusan Tuhan, mungkin aku terlambat mengungkapkan atau adat timur yang menjadikan aku tak mungkin mengungkapkan. Sepenuhnya aku memahami keputusan kamu, karena aku mengenal kamu, mengenal sosok sahabat yang tak pernah surut ketika memutuskan yang terbaik. Aku mendoakan selalu untuk kamu dan calon istri kamu, semoga Tuhan memberi orang yang sama baik dengan diri kamu untuk aku..Semoga!” Meskipun surat itu tak berbunyi, saya merasakan lirih suara shinta membacakan surat itu bagai menyayat tepian hati menggores berbekas bagai pahatan pisau di batang pohon Eucaliptus yang tengah saya sandari.

Burung Kookaburra beranjak dari atap kayu persemaian, suaranya bagai menyampaikan salam dari seberang, dari seseorang yang selama ini hilang dalam waktu-waktu saya mengejar baiknya kehidupan. Semenit kemudian saya meraih Nokia dan men-dial nomor telephone yang di torehkan dalam surat berwarna kuning itu.

“ Halo..siapa ini?” suara dari seberang sana, diwaktu yang menunjukkan pukul lima pagi waktu Jakarta. Saya terdiam lama, tak peduli roaming internasional yang merambat naik detik demi detik.

“Ini saya…Bagaimana kabar kamu!” terdengar hentakan setelah kalimat jawaban saya itu, ia begitu mengenali suara saya. Shinta menangis, sangat perlahan suaranya karena ia mungkin tak ingin orang lain mendengar isaknya, saya tetap menunggu hingga ia berbicara.

“Kabarku baik, selamat ya ,aku senang kamu sudah berhasil mencapai cita-cita kamu sejak dulu, ingin pergi dan tinggal di luar negeri..dan.. selamat juga untuk rencana kamu menikah tahun depan!” Sahut Shinta.

“Maafkan saya…maaaf!”

“Nggak ada yang salah..aku memang tak bisa berbuat lebih sebagai sahabat, kamu pasti menganggap perbedaan kita tak mungkin menyatukan kita. Ary..sesungguhnya jika dulu kamu meminta, aku pasti akan menuruti, kamu pasti akan membimbing aku!” Shinta kembali terisak, saya tercekat.

“Shinta, Saya tak pernah berpikir untuk menyatukan keyakinan kita hanya karena kita ingin hidup bersama. Saya memang menyayangi kamu sejak dulu, kamu tahu itu saya tak berani bicara..ya khan. Namun cinta itu tak harus merubah apa yang kamu yakini, agama adalah meyakini sebuah kebenaran dan itu tak layak harus berubah karena cinta. Cinta itu penuh emosi dan perasaan bisa datang dan pergi jika tak terjaga, sedang agama adalah keyakinan, keyakinan yang penuh dengan konsekuensi!” Tangan saya bergetar.

“Jikapun aku atau kamu harus berubah, menjadi salah satu untuk mempersamakan,maka itu karena keyakinan pada kebenaran itu, bukan karena daya tarik cinta pada seseorang!” lanjut saya.

Orang-orang mulai berdatangan, pukul sembilan hampir tiba dan bunyi berbagai peralatan di masing-masing tempat kerja mereka bersahutan.

“Shinta, sekali lagi maafkan saya..saya tak ingin berubah hanya karena sebuah cinta, sebaliknya kamu juga tak saya harapkan begitu. Kita boleh berubah jika memang itu berasal dari pengembaraan pencarian kebenaran dalam diri kita dan itu tak bisa di pengaruhi hanya oleh sebuah rasa cinta, apalagi cuma sekedar cinta antar manusia yang bisa hilang sekejap hanya dengan tingkah laku dan satu perkataan saja. Aku menyayangi kamu..sungguh, tetapi saya telah memilih seseorang untuk menemani saya yang meyakini sebuah kebenaran sesuai dengan yang saya yakini. Jangan berubah karena saya, berubahlah karena keyakinan diri kamu!” Tak lama shinta menyatakan hal yang sama, dan ia meminta saya untuk tidak lagi menghubunginya.

“Aku tak inginkamu mengkhianati istri kamu, maka lepaskan semua rasa kita yang selama ini ada. Aku bahagia bisa punya masa lalu bersama sahabat seperti kamu. Doakan saja aku dalam Shalat kamu ya!” ia menutup sambungan seluler pagi itu, pagi yang meruntuhkan semangat kerja saya, pagi yang membawa saya ke suasana bertahun-tahun lalu, suasana indah bersama Shinta.

Sebuah teh hangat tiba-tiba disodorkan seorang perempuan Australia di meja hadapan saya, Christie. Seseorang yang selama di Australia menjadi sahabat dekat saya dan menghujamkan kebimbangan menjelang sebuah pernikahan menghadapi godaan masa lalu dan masa kini. Saya melipat surat kuning muda penuh bunga itu didepan Christie.

“Mari masuk, meeting sudah mau dimulai!” ajak dia, ramah.

Harum ‘Aigner’ dari blouse Christie, merebakkan aroma kebimbangan. Tiga wanita terbaik, yang tiba-tiba hadir ditengah masa ketika keputusan kuat sudah di maklumatkan.Di timur matahari, bercahaya memberikan kehangatannya, merefleksikan kehangatan hatidari beberapa kebaikan yang harus dipilih, dipilih untuk tidak saling menyisakan kepedihan meskipun harus memilih.

Kini shinta memilih tetap sendiri dalam hidup bersama keimanannya semula, sementara saya memilih untuk tidak tenggelam pada masa lalu sedang Christie melanjutkan hidupnya di Queensland bersama suami dan anak-anaknya.

“Hidup itu adalah memilih, Jangan berubah hanya karena sebuah Cinta, berubahlah karena keyakinan akan sebuah kebenaran, maka setelahnya jagalah cinta yang kamu peroleh dengan kejujuran dan tanggung jawab!”

Maka bagi yang tengah menyemai cinta masa muda, jangan menunda dan menunda, ungkapkan dan siapkan kekuatan untuk menerima setiap keputusan, karena Masa depan selalu dimulai dari hari Ini. Jangan biarkan sakitnya sebuah keputusan hari ini terasakan dimasa nanti hanya karena menunggu, Bicaralah,!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun