Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dekonstruksi Penulisan Sejarah “Kolonialisme dan Imperialisme”

2 September 2016   05:54 Diperbarui: 2 September 2016   07:30 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarawan, untuk selalau memperbaharui interpretasi konstruksi terhadap event dalam sejarah. Dalam struktur kognitif sejarawan terutama di era post modern ini, pemakaian multi disiplin ilmu menjadi hal yang tidak terbantahkan untuk memperkuat pencarian epistemologi dalam sejarah. Bisa saja, pembahasan penulisan sejarah adalah mengenai kolonialisme dan imperialisme yang dapat dianalisis melalui beberapa teori. Pertentangan yang terjadi sekitar abad-13 pasca perang Salib, terjadi apa yang dinamakan seangan dari kaum Orientalis. 

Menurut Said Edward dalam bukunya “Orientalism” (1977: 50-56), perbuatan kaum orientalis, yang terdiri dari orang-orang Barat murni Barat merampok secara keseluruhan ilmu-ilmu yang dimiliki islam. Secara historis, ini terjadi masa pemerintahan Harus Al Rasyid, kemudian Salahudin Al Ayubi yang bertugas mengekspansi wilayah-wilayah Barat saat terjadi serbuan kaum Orientalis. Sehingga, apa yang terjadi adalah soal kekuasaan. 

Periode selanjutnya, orientalisme dalam sejarah dibangun berdasarkan hegemoni 3G Gold, Glory, Gospel. Berdasarkan teori Hegemoninya Antonio Gramsci, penguasa sengaja (baik itu penguasa struktural maupun kultural) meletakkan kuasanya diatas ideologi, tujuan bersama, dan slogan-slogan penuh kepentingan penguasa. Kekayaan, dan kejayaan yang berusaha dicari penjajah Barat melalui sistem keagamaan. Untuk menjalankan politiknya, maka penjajah dapat menggunakan politik pembedaan antara beradab-tidak, berbudaya-tidak, pribumi dan asing.

 Ini dapat dianalisis melalui teori Michael Foucault tentang My Self and TheOther, politik pembedaan ini sengaja dipakai untuk melemahkan karakter suatu suku, penduduk yang ditaklukan. Sebutan-sebutan seperti inlander (terjajah) dan nederlander(penjajah), orang-orang menjijikkan yang pernah dilontarkan Inggris terhadap suku Indian akhirnya menyisakan hanya 200 penduduk Indian hasil pembantaian, untold story (Jakarta Post, 2014) yang memberitakan dibalik euforia perjuangan arek-arek Surabaya, ternyata terjadi pembunuhan dan pemerkosaan oleh pihak Jepang dan Indonesia sendiri terhadap perempuan.

Homi K Bhana menyebutkan, dikursus kajian post kolonial ini dapat dihubungkan dengan konstruksi identitas, dimana penduduk asli dibuat patuh dan menganggap mereka (penjajah) sebagai patron. Tak pelak cara-cara seperti ini menimbulkan memori kolektif yang diliputi kesedihan, kebencian dikalangan penduduk ex-kolonialisme. Hal ini bukan sesuatu ‘lumrah’ di masa lampau, jika sejarawan konvensional hanya berlindung dibalik fakta-fakta yang sudah ada maka yang terjadi adalah pengaburan sejarah. 

Berbeda dengan pemikiran awal Jackques Derrida atau Michael Foucault yang menjadi dasar bagi sebagian besar teori sejarah postmodernisme, kesadaran dekonstruktif dalam historiografi menurut Alan Muslow tetap berdasar pada fakta kritis dan naratif. Masa depan sejarah, sekali lagi Alun Muslow menyebutkan tidak lepas dari dekonstruksi epistemologi (ilmu tentang pengetahuan) (page 24-25), karena merupakan tantangan dari paradigma empirik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun