Dalam tata kehidupan masyarakat tradisional, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan masih terasa kental. Rasa persaudaraan yang begitu melekat tampak dan terasa dalam semua sendi kehidupan. Dalam suasana duka atau berkabung, masyarakat akan berkumpul bukan sekedar untuk sekedar mengucapkan belasungkawa ( Jawa: nglayat ). Tetapi juga saling membantumempersiapkan dan membantu pemakaman. Sedangkan dalam suasana bahagia, mereka berkumpul untuk ikut merasakan kebahagiaan. Misalnya saat ada pesta sunatan, perkawinan, dan kelahiran bayi.
[caption id="attachment_268418" align="aligncenter" width="500" caption="Nah, yen iki padha kumpul merga arep mangan...."]
Pertemuan semacam ini pihak tuan rumah biasanya memberi jamuan dengan makanan dan minuman atau sekedar camilan yang sepantasnya bagi para tamu yang hadir. Disinilah makna ‘mangan ora mangan sanajan kumpul’ artinya sekalipun tidak bisa ikut menikmati jamuan makan karena alasan tertentu kita tetap berkumpul.
Ada pendapat yang kurang tepat, bahwa ‘mangan ora mangan sanajan kumpul’ berarti kita tidak perlu berpisah ( untuk bekerja atau belajar di rantau ) asal selalu berkumpul dalam keluarga. Pendapat ini muncul karena sering diplesetkannya wejangan kearifan lokal atau tradisional Jawa bahwa sekalipun hidup kekurangan jangan sampai salah satu pergi dari keluarga. Atau mungkin karena sudah tidak memahami lagi pesan-pesan tradisional.
Mangan ora mangan sanajan ngumpul. Aja ngumpul yen arep mangan wae. Kembul bujana marakake guyub.
Makan atau tidak, dalam perjamuan asal ikut menyatu. Jangan hanya berkumpul pada saat akan makan saja. Makan bersama semakin mengakrabkan kita.