Secara naluriah, para kepala Daerah lebih memilih menghindari rasa sakit itu. Itulah sebabnya, meski kebijakan PYS secara matematis untuk efektivitas anggaran, bagi daerah, secara psikologis, kebijakan ini adalah "pukulan" yang tidak bisa diterima.
Betapa tidak. Anggaran TKD itu sudah dialokasikan dalam berbagai akun mental, misalnya akun proyek jalan, akun tunjangan guru, akun bantuan sosial. Pemotongan ini terasa seperti orang lain seenaknya mengobrak-abrik celengan yang sudah direncanakan dengan rapi.Â
Rasa keadilan (fairness) juga seperti di challenged. Daerah yang sudah kerja keras mencari pemasukan sendiri, merasa dipukul rata. Para Gubernur bukan hanya protes karena dananya dipotong, tetapi juga karena merasa tidak dihargai dan diperlakukan tidak adil.
Friksi ini seperti membaca keselarasan logika negara dengan naluri rakyat. Negara memang butuh penerimaan, antara lain dari efesiensi dan efektivitas anggaran. Namun di daerah, rakyat membutuhkan intervensi kebijakan langsung dari Kepala Daerah.
Sejatinya, keberhasilan sebuah kebijakan tidak hanya bergantung pada kebenaran teknis-ekonominya, tetapi juga pada bagaimana kebijakan tersebut "dirasakan" dan "diproses" secara psikologis oleh masyarakat.
Kebijakan PYS jangan sampai gagal membaca kekuatan dan pengaruh  "loss aversion"  dan "fairness heuristic" ini. Â
Pusat perlu menyadari  bahwa dalam aritmatika kekuasaan, kolom "perasaan" sama pentingnya dengan kolom "penerimaan dan pengeluaran". Perlu disadari, komunikasi dan rasa hormat sama pentingnya dengan angka.Â
Melibatkan Kepala Daerah sejak awal, menjelaskan kesulitan dengan transparan, dan memberi mereka rasa memiliki dalam solusi akan menjelaskan posisi daerah bukan "pion dalam game" fiskal Pemerintah Pusat.
Sebaliknya bagi daerah, perlu bertanya lebih mendalam, apakah kebijakan fiskal sudah untuk peruntukan yang jelas, dengan penyerapan yang terukur. Atau apakah anggaran itu hanya di tabung dalam bentuk SiLPA. Kita semua perlu kembali bertanya. Jika kebijakan ini benar secara angka, apakah demikian juga benar dengan yang dirasakan oleh mereka yang terkena dampaknya?
"Game of Thrones" bukan sekadar serial TV yang menghibur. Konsepnya mengajarkan kita bahwa kekuasaan adalah permainan yang kompleks, di mana idealisme, kekuatan, uang, dan informasi saling bertarung.
Pemotongan TKD jangan seperti "Game of Thrones". Bahwa saat kamu memainkan permainan tahta, kamu menang atau kamu mati. Tidak ada jalan tengah. "When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground".