Jika tidak ada aral melintang Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) akan diluncurkan sebentar lagi. Persiapan administrasi dan kelembagaan terus dipacu. Indonesia siap menyongsong era ekonomi kerakyatan berbasis komando melalui koperasi. Tidak kurang dari 80 ribuan desa yang akan merasakan manfaatnya. Meski banyak yang pesimis, KDMP harus diakui sebagai instrumen ekonomi desa yang pembentukannya cepat, kerangka hukum jelas dengan aliran sumberdaya yang besar.Â
Pesimisme hadir, mempertanyakan bagaimana kesiapan mental dan perilaku para pengurus dan anggotanya?
Kekuatan utama KDMP adalah pengurus sebagai garda terdepan. Sebagai mahluk sosial, mereka tidak luput dari  bias konfirmasi. Bias ini menggambarkan kecenderungan Pengurus mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang sesuai keyakinan awal mereka. Jika yakin jenis usaha tertentu pasti menguntungkan, sinyal peringatan atau data yang berlawanan bisa jadi diabaikan. Akibatnya keputusan investasi menjadi kurang optimal atau bahkan merugikan.Â
Pengurus terkadang juga  meremehkan risiko dan melebih-lebihkan peluang keberhasilan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan individu membuat keputusan rasional karena kurangnya informasi atau keterampilan (Bounded rationality). Bias ini sering membuat orang cenderung  menggunakan intuisi atau mengandalkan kebiasaan lama. Contoh klasik, misalnya, saat koperasi memutuskan membuka usaha simpan pinjam tanpa kajian kebutuhan pasar atau manajemen resiko. Keputusan itu dibuat karena itu yang "umum dilakukan."
Heuristik ketersediaan juga bisa memengaruhi. Pengurus mungkin mengambil keputusan berdasarkan informasi yang paling mudah diingat atau pengalaman yang paling baru, bukan berdasarkan data lengkap. Misalnya, jika ada kisah sukses koperasi serupa, mereka mungkin cenderung meniru model tersebut tanpa mempertimbangkan konteks KDMP yang unik. Praktek ini cukup banyak menyebabkan kegagalan dan kerugian dibanyak koperasi.Â
Partisipasi warga desa  menjadi anggota aktif juga menjadi tantangan. Namun, perilaku warga juga lepas yang tidak lepas pengaruhi psikologis, aversi kerugian, bisa memengaruhi keinginan untuk bergabung. Bias ini membuat warga cenderung lebih termotivasi untuk menghindari kerugian daripada mendapatkan keuntungan yang setara. Akibatnya mereka enggan berinvestasi atau mengambil risiko kecil dalam koperasi jika mereka merasakan potensi kerugian. Meski, ada peluang keuntungan yang besar.Â
Karenanya, keberhasilan KDMP tidak bisa mengabaikan kesiapan mental dan perilaku pengurus dan anggotanya.Â
Paling tidak ada beberapa intervensi berdasarkan ekonomi perilaku yang  dapat diterapkan. Pertama melakukan edukasi perilaku yang terstruktur. Pengurus tidak hanya diberikan pelatihan teknis, tetapi juga pelatihan yang mengakui dan mengatasi bias kognitif. Misalnya, simulasi pengambilan keputusan yang menunjukkan dampak bias konfirmasi atau aversi kerugian.  Penggunaan teknologi sederhana untuk pelaporan keuangan yang real-time dan mudah diakses oleh semua anggota juga harus terus didorong  untuk digunakan. Jika ada program tabungan atau investasi, perlu dibuat  opsi default yang bisa mendorong partisipasi. Meski demikian pengurus dan anggota tetap diberikan kebebasan untuk memilih alternatif (opt-out).Â
Nudging (dorongan halus) juga perlu sering dilakukan. KDMP perlu mendorong  sistem pelaporan keuangan yang transparan dan mudah diakses sehingga  dapat mendorong akuntabilitas dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Pengelola dan anggota juga perlu diberikan insentif non-moneter, seperti pengakuan publik atas kinerja, untuk memotivasi mereka bekerja lebih efektif.
Efek bandwagon juga bisa berperan. Jika banyak warga lain bergabung atau berpartisipasi dalam kegiatan koperasi, individu lain cenderung mengikutinya. KDMP dapat memanfaatkan ini dengan menyoroti keberhasilan anggota lain atau menciptakan "duta koperasi" dari kalangan warga yang dihormati.
Kepercayaan menjadi aspek paling penting diperhatikan. Transparansi  pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan adalah fondasi utama. Pertemuan rutin yang terbuka, laporan keuangan yang mudah dipahami, dan mekanisme pengaduan yang jelas dapat meningkatkan kepercayaan anggota.  Norma sosial yang positif ini akan membangun perilaku pro-koperasi dan dukungan.