Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisahku bersama "Paijo", Si Bule Jerman yang Doyan Traveling

22 September 2015   16:24 Diperbarui: 22 September 2015   16:24 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Collect Moments Not Things!"][/caption]Di dunia ini ada banyak kisah-kisah luar biasa yang menyentuh hati. Kebanyakan, cerita luar biasa itu datang dari orang biasa, dengan kehidupan yang biasa, namun diwarnai dengan tekad dan semangat yang luar biasa. Artikel ini dibuat sebagai ungkapan syukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan bagi saya untuk tetap berkarya dan tersenyum

Terlahir sebagai anak keempat dari sebuah keluarga sederhana tak membuat saya mendapat perlakukan istimewa dari keluarga. Kami tidak lahir dan dibesarkan dalam keadaan berkelimpahan, namun berkecukupan. Ayah saya yang adalah seorang perantau dari pulau nan jauh mengadu nasibnya dan menafkahi keluarga dengan jerih lelahnya berjualan makanan. Suatu ketika, saya lupa waktu tepatnya namun pernah terucap satu doa dari mulut, "Tuhan, aku pengen bisa pergi jauh, tapi nggak tau gimana caranya." 

Waktu berlalu dan doa tersebut nyaris terlupakan hingga hari ini saya menyadari bahwa Tuhan memeluk setiap doa umatNya. Hari Minggu, 8 Desember 2013, kala itu saya masih duduk di semester 3 kuliah. Minggu sore yang cerah, saya bersiap mengikuti ibadah di sebuah gereja kecil yang terletak di tengah kota Yogyakarta. Karena datang terlalu cepat sebelum jam ibadah dimulai, saya pun duduk-duduk di pelataran seraya mengamati kendaraan lalu lalang. Tiba-tiba ada seorang bule jangkung mengendarai sepeda motor matic. Ia mematikan mesin motornya, lalu bengong sambil melihat papan gereja. Karena tak mengerti, ia menghampiri saya dan menanyakan waktu ibadah disini. Singkat cerita, kami berkenalan, bertukar nomor handphone. Sebelum berpisah seusai ibadah, saya mengajaknya untuk bertemu kembali pada hari Selasa untuk mengikuti perkumpulan mahasiswa di kampus dan ia pun setuju. 

Baiklah, itu merupakan pengalaman pertama saya berbicara seorang diri kepada seorang Bule. Namanya adalah Johannes Tschauner, seorang mahasiswa Teknik kebangsaaan Jerman yang sedang melakukan internship selama lima bulan di Yogyakarta. Kami tidak saling mengenal sebelumnya, namun setelah pertemuan di Gereja, perlahan ada kisah-kisah unik yang mulai terbentuk. 

Kala itu, saya tidak fasih berbahasa Inggris, bisa juga dibilang tidak bisa malahan. Gagap, adalah hal yang pasti terjadi ketika saya mencoba berbicara. Susunan kata-kata mendadak ambyar ketika mencoba bicara, alhasil hanya aa...ee..aa..ee yang keluar dari mulut. Tapi, baiklah, semua akan bisa jika berlatih. Hari Minggu, saat itu juga saya mulai belajar bahasa Inggris bermodalkan Google Translate, Youtube dan juga cermin di kosan. Seperti orang gila, dalam dua hari saya mencoba berbicara sendiri di depan cermin menggunakan bahasa Inggris. Namun, siapa peduli yang penting setidaknya saya bisa ngomong dikit-dikit, ya sekedar bisa basa-basi dalam bahasa Inggris pun sudah lumayan. 

Hari selasa, tepat seperti perjanjian sebelumnya, saya dan Johannes bertemu kembali dan berangkat ke sebuah persekutuan mahasiswa di timur Jogja. Kami janji untuk bertemu pada pukul 18:00. Saya telah tiba di tempat sejak pukul 17:30 dengan alasan tidak mau datang terlambat dan bikin malu nama Indonesia. Dia mengirim sms yang mengatakan kalau ia akan datang terlambat. Namun, terlambat versi Indonesia dan Jerman jelas berbeda. Bagi saya, terlambat ya paling tidak sekitar 15 menit sampai 1 jam. Ternyata, Johannes tiba pukul 18:02, hanya terlambat dua menit dan dia tetap meminta maaf. Waw! 

Singkat cerita, selama lima bulan di Yogyakarta kami habiskan dengan berkeliling Jawa. Bermodalkan motor bebek yang saya miliki, kami menyusun rencana ngebolang menysuri pantai selatan Yogya hingga ke Pacitan, menapaki langkah di pegunungan Jawa Tengah, pergi  pulang kampung ke Bandung hingga ke Jepara. Tak terasa, lima bulan berlalu begitu cepat dan Johannes pun kembali ke Jerman untuk melanjutkan studinya dan bekerja. 

1 Februari 2014, kami berpisah diiringi tangis entah kapan akan bertemu lagi. Masing-masing kami melanjutkan kehidupan. Saya kembali jadi mahasiswa Jogja yang bermimpi dan berusaha bangun untuk bisa pergi menjelajah pelosok negeri. Tanpa saya sadari, persahabatan selama lima bulan tersebut telah mengubah pola pikir saya. "Jika orang jerman bisa, maka saya juga bisa, toh kita sama-sama makan nasi." Dari bahasa Inggris yang amburadul, setidaknya sekarang sudah lumayan. Tanpa les, tanpa bayar, malah dapat jalan-jalan. 

[caption caption="Sumatra Overland Journey, 25 Juni - 25 Juli 2015"]

[/caption]

Hampir dua tahun kami berpisah, tahun 2015 menjadi tahun yang luar biasa. Johannes yang kini lebih akrab dipanggil Paijo telah menyelesaikan studinya dan resign bekerja. Ia bersiap melakukan perjalanan darat mengelilingi Asia selama enam bulan. Tepat bulan Februari ia berangkat dari Jerman, menjelajah India, mengunjungi adiknya di Bangladesh, dan Indonesia menjadi negara tujuan akhirnya sebelum kembali bertolak ke Jerman. 

Sebelum perjalanannya dimulai, ia mengirimi saya pesan di facebook dan mengajak untuk bersama-sama pergi menjelajahi Sumatera selama satu bulan. Waw, senang bukan main rasanya. Segera saya mengurusi urusan kuliah, magang dan lainnya. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di Medan pada 25 Juni 2015 dan melakukan perjalan menjelajah Sumatera. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun