"Kamu sudah cukup. Bahkan ketika kamu merasa tidak."
Seandainya berdamai dengan diri sendiri itu semudah memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, mungkin dunia akan lebih tenang. Tapi kenyataannya, tak semudah itu.
Kita hidup di tengah tuntutan, standar sosial, dan ekspektasi baik dari orang lain maupun dari diri sendiri. Kita sering merasa belum cukup: belum cukup cantik, belum cukup pintar, belum cukup sukses.
Kita terlalu sering menghakimi diri, membandingkan hidup, dan melupakan satu hal penting yaitu menerima diri apa adanya.
Self-acceptance atau penerimaan diri, bukan berarti kita menyerah dan berhenti berkembang. Sebaliknya, itu adalah fondasi penting untuk pertumbuhan yang sehat.
Menerima diri bukan berarti kita puas dengan semua kekurangan, tapi kita berhenti memusuhi diri sendiri karenanya. Kita bisa mengakui kelemahan tanpa kehilangan rasa hormat pada diri.
Banyak dari kita belajar untuk menyenangkan orang lain sejak kecil. Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai kita bergantung pada pencapaian atau validasi luar.
Maka ketika gagal, kita merasa hancur. Padahal, dalam self-acceptance, kita belajar untuk berkata, "Aku gagal, tapi aku tetap layak dicintai. Aku kecewa, tapi aku tetap berharga."
Berdamai dengan diri sendiri juga berarti menerima bagian-bagian dari kita yang tidak sempurna: trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, keputusan bodoh yang pernah dibuat.
Ini adalah proses panjang dan kadang menyakitkan. Tapi itulah proses yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih damai.
Salah satu cara melatih penerimaan diri adalah dengan mengubah cara kita berbicara kepada diri sendiri. Bukannya berkata, "Aku bodoh karena gagal," kita bisa berkata, "Aku manusia, dan manusia bisa gagal."