Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (12)

5 Januari 2021   05:21 Diperbarui: 5 Januari 2021   05:46 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pakaian berwarna merah lelaki itu terlihat menyala ditimpa matahari yang baru saja menjorok ke barat. Niken nampak dalam pakaian hijaunya dengan renda kuning yang menghias kerah lehernya. Rambut gadis itu kekanan dan ke kiri disibak angin. Sekali lagi wangi lavender terus menelusup kerelung hidungku. Tak perlu anjing pelacak untuk mendeteksinya.

"Jadi kamu pikir kematian bapakmu akan membuat hidupmu lebih mudah? Berharap semua harta bapakmu jatuh ketanganmu?" lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Hutan jati yang sepi merekam suara-suara itu dengan jelas. Aku menjaga jarak agar tetap tak terlihat. Si kelabu bergerak tanpa suara, tanpa denting bel juga tanpa gesekan penutup rantai.

"Kenapa kamu tak bersedih sedikitpun atas kematian bapak, Sukra?" suara Niken begetar.

"Sedih?...hahahaha, cukup sehari saja aku bersedih. Jika setiap kematian membuatku larut bersedih maka bagaimana aku  bisa bekerja selama ini. Kamu anak kemarin sore tak tahu bagaimana kerasnya hidup, Menghadapi kebandelan pedagang pasar, yang cuma mau pinjam uang tapi tak mau membayar. Kalau aku lemah lantas bagaimana mungkin bapakmu akan sekaya sekarang. Lagipula setelah ia mati hanya kamu yang berhak mendapatkan hartanya. Huh...sungguh enak saja!" gertak lelaki yang dipanggil oleh Niken sebagai Sukra.

"Kalau kau ingin harta itu, ambillah! aku juga tak ingin mengambil itu semua!" hentak Niken pada Sukra. Kembali tawa membahana memecah keheningan hutan jati.

"Surat wasiat berkata lain, aku bukan siapa-siapa dan bapakmu tak sebarispun menyebut namaku bahkan nama ibu tirimu. Lelaki itu terlalu! tak memikirkan betapa aku dan ibu tirimu yang selama ini mengolah uangnya hingga setiap hari bertambah besar, bertambah banyak," Sukra bersungut-sungut.

"Tapi ia kan memberimu gaji yang cukup selama ini. Lantas mengapa kamu mempersoalkan warisannya. Atau jangan-jangan kau yang menghabisinya?" ketus Niken. Aku tak menyangka gadis itu berkata demikian. Aku sontak menghentikan sepeda dan memilih bergeser ke pinggir hutan agar makin tak terlihat.

"Hati-hati kamu bicara Nona! Jika aku ingin membunuhnya niscaya aku akan lakukan sedari dulu. Sehari sebelum kematiannya ia menyimpan semua uangnya ke Bank di Kota Semarang. Tak ada untungnya aku membunuhnya jika aku tak mendapatkan warisan apa-apa dan hanya kamu yang bisa mewarisi rekening banknya. Mana bisa tanda tanganku berlaku untuk rekening bapakmu? Bodohnya, kamu terlalu banyak menghirup udara kota," mereka berdua menghentikan laju sepeda. Niken nampak terkejut mendapat gertakan seperti itu. Sukra membalikkan badan dengan jari telunjuk yang menekan kening Niken.

Andai Niken adalah milikku aku akan terjang Sukra dan menantangnya untuk berhadapan denganku. Beberapa jurus silat yang bapak miliki dan warisi dari buyut kami telah juga diturunkan kepadaku. Kalah menang soal nanti tetapi untuk masalah nyali, bapak telah mewarisinya untukku dengan sempurna. 

"Lantas apa maumu, Sukra?" Tanya Niken dengan suara bergetar.

"Nanti bisa kau tanyakan pada ibu tirimu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun