“Mengapa, apa maksud kamu?” tanyaku tetap perlahan.
“Seseorang membunuh ayahku, ditepi hutan. Mereka membiarkan tubuhnya tergeletak disana dengan tujuh luka tusukan. Pagi ini aku diminta menjadi saksi pelapor…aku sendiri,”
Mendadak aku masygul. Kehilangan itu dapat aku rasakan, tak beda dengan Ayu adikku, kehilangan seorang bapak karena direnggut nyawanya oleh orang lain. Tetapi Ayu tak mengeluh dan merasa sendiri karena ia masih memiliki ibu dan aku.
“Kalau boleh tahu, dimana kamu tinggal?” selidikku
Wajah cantik perempuan itu menoleh kembali padaku. Ya Tuhan, dalam kesedihannya dia masih menebari keindahan wajah yang menggetarkan. Air matanya bagai gletser yang mencair dari puncak gunung salju, garis semu merah pada pipinya seperti alur para peseluncur ski yang halus dan berpola indah sementara satu dua helai rambutnya yang melintas dipipinya bak jalur kereta gantung ski yang membentuk mozaik keindahan pegunungan Alpen.
“Aku dari Desa Randu dampit. Aku selama ini bersekolah di Jogjakarta karena ayah tak menginginkan aku tinggal disini…sekarang ia pergi, seseorang telah membunuhnya”
Ingin aku mengusap air mata dari hulu matanya. Membagi kesedihan dan rasa kehilangan yang ia rasakan seperti juga yang aku rasakan. Tapi satu hal menyadarkanku, teringat ketika Sersan Rustam yang semula berencana ke desa Randu Dampit di hari ini untuk sebuah kasus pembunuhan.
Gadis yang tiba-tiba menggetarkan hatiku ini pastilah….. anak rentenir itu! Inikah air mata balasan Tuhan dari apa yang sering ditumpahkan oleh ayahnya terhadap orang-orang yang tak sanggup menanggung beban bunga hutangnya?
Aku seolah berubah menjadi seorang hakim tanpa palu. Wajah indah yang tengah tenggelam dalam kesedihan begitu membekas dalam hati, namun jauh didalam hati pertanyaan itu muncul: haruskah aku iba pada air mata dari seorang anak lintah darat yang terbunuh beberapa hari lalu?
Sementara itu aku tak sanggup berhenti menatap kecantikan sebuah mutiara dihadapanku.
-Part 10-