"Sudahlah bu, kalaupun membusuk tak mengapa, karena daging-daging itu telah disembelih tanpa menyebut nama Tuhan," cetusku. Ibu menatap langit-langit dapur sambil menghela nafas.
"Sekarang daging-daging itu sudah menjadi barang haram, barang yang tak mampu membantumu meraih mimpi kamu. Â Ibu mohon semangatmu jangan membusuk seperti daging-daging itu!" Ibu menolehkan wajahnya padaku lalu melihat kalender yang tergantung lusuh dipintu menuju ruang tengah.
"Rabu depan sebentar lagi..." suara ibu terputus, ia memilin ujung pakaian atasnya tak lama kemudian terisak. Tangannya bergetar, aku menghampiri dan menunduk mendekatkan diri.
"Duh gustiii...kenapa semua ini terjadi?" kembali ibu terisak makin kuat. "Kasihan kamu Fatur...ya Allah ..kasihan kamu nak,"
"Bu...sebentar lagi Maghrib, kita siapkan untuk Tahlil terakhir malam nanti. Aku shalat maghrib dulu, nanti  kita bicarakan bagaimana soal hari Rabu," aku melepas pelukanku pada ibu lalu bergegas menuju pintu kamar mandi untuk membasuh tubuh dengan air wudhu.
Ibu tak sedang menangisi dirinya, ia menangisi betapa aku yang seharusnya disaat-saat ini bisa pergi ke Jakarta dengan bahagia dan bangga tetapi harus melewati lembaran sejarah yang kelam dan menyakitkan.
Air dari gerabah tanah liat yang ujung pancurannya disumbat karet bekas sandal jepit mengalir membasuhi wajah tangan kepala hingga kakiku. Terasa sejuk dan menentramkan. Bau basah angin senja tercium lewat hidung dan...entah kenapa aku merindukan bau kelobot yang menyengat bercampur basah angin senja.
Tahlil mengalun malam itu, bapak meninggalkan pelajaran berharga padaku betapa dirinya memiliki sekian luas pergaulan. Ratusan orang hadir dari penjuru desa untuk menghadiri malam terakhir tahlilan yang seharusnya berlangsung tujuh hari. Bahkan pak Soleh pedagang kambing dari pasar Gubug tak dinyana datang malam itu dan nampak duduk dipojok kiri bersisian dengan ustadz Romli yang memimpin acara itu.
Tikar-tikar pandan digelar disepanjang halaman depan untuk menampung jemaah yang hadir sementara ibu-ibu tetangga sibuk mengantisipasi dengan menanak nasi lebih banyak dan mengalirkan gelas-gelas air berisi air teh kehadapan setiap yang hadir berikut penganan kecil.
Tahlil dituntaskan dan ustadz Romli memberikan beberapa pesan kepada yang hadir sambil menikmati suguhan penganan kecil beraneka ragam. Aku tak pernah terpikir bagaimana makanan-makanan itu hadir karena ibu tak memiliki banyak simpanan uang sepeninggal bapak. Tetapi begitulah keajaiban acara tahlilan.
Ustadz Romli menyampaikan nasehat makna musibah dan kematian kemudian secara mengejutkan ia menceritakan kepada hadirin tentang diriku yang sebetulnya hendak pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke Jakarta, namun musibah ini merubah segala rencana.