Mohon tunggu...
Ary Ginanjar Agustian
Ary Ginanjar Agustian Mohon Tunggu... -

Tokoh pendidikan karakter

Selanjutnya

Tutup

Money

Service from Heart

8 Juli 2013   09:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:51 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Ary Ginanjar Agustian*

Apa yang membuat Anda terus berkunjung ke sebuah toko atau menggunakan service sebuah perusahaan? Mana yang lebih Anda utamakan kualitas produknya atau pelayanan yang diberikan? Seorang teman bercerita, dia sering berkunjung ke sebuah toko kue dekat rumahnya. Toko itu awalnya usaha kecil seorang ibu rumahtangga, namun kini membesar karena kue-kuenya memang enak dan disukai banyak orang. Namun sekarang teman saya tidak lagi berkunjung ke toko itu. Dia menceritakan pengalamannya, “Satu hari, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya singgah membeli beberapa kue untuk dibawa pulang. Saya benar-benar lapar, namun sewaktu saya membuka bungkusannya di rumah, ternyata kue itu sudah rusak. Saya merasa sangat kecewa. Lalu saya segera ke toko itu. Saya sampaikan kepada pelayan muda di counter bahwa kue itu  sudah rusak. Tanpa menunggu saya selesai bicara, dia menjawab, “Maaf Pak. Saya tak bisa menggantikan kue ini dengan yang baru. Kalau bapak tetap mau… harus menunggu atasan saya datang sore nanti. Atau bapak isi formulir ini…” ujarnya sambil mengulurkan selembar kertas yang perlu di isi.

Saya kaget. Saya jelaskan, “Saya sudah menjadi pelanggan toko ini sejak 3 tahun yang lalu. Tapi ini pertama kali saya menerima kue yang rusak. Saya sampaikan kepada Anda, bukan karena saya mau gantinya…” Belum sempat saya menjelaskan lebih jauh, dia menjawab, “Terus kenapa bapak datang? Seharusnya bapak jangan marah-marah saya… Bapak punya pilihan untuk tidak datang ke sini lagi kalau bapak mau.”

Bagaimana perasaan Anda jika mengalami hal seperti itu? Apakah kue yang enak, mampu menutupi keburukan pelayanan? Menurut teman saya, itulah kali terakhir ia ke toko itu. Kualitas produk yang hebat, belum tentu mampu membuat Anda terus berada nomor satu di pasaran. Australian Customer Service Awards (ACSA) memaparkan, alasan mengapa customer tidak lagi menggunakan jasa sebuah perusahaan adalah 68% karena pelayan yang tidak memuaskan. Direktur ACSA, Alan Lowe berkata, “If you don’t take care of your customers, someone else will.

Mungkin kisah di atas terlalu berlebihan dan tidak menggambarkan pelayanan di perusahaan Anda. Tapi siapa tahu? Apakah Anda mempunyai data sejauhmana perusahaan Anda mampu mempertahankan kesetiaan pelanggan? Apakah Anda pernah turun ke bawah melihat bagaimana karyawan-karyawan Anda memberikan pelayanan? Apakah mereka sabar seperti Anda? Apakah mereka memegang nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang Anda pegang selama mengembangkan perusahaan hingga sukses? Terutama yang masih muda dan baru di perusahaan. Apakah mereka mengerti apa sesungguhnya yang dibutuhkan untuk memastikan pelanggan terus datang dan setia pada perusahaan?

Menurut KR Consulting, ada dua hal yang sesungguhnya diinginkan oleh pelanggan pertama, produk atau pelayanan yang ditawarkan mencapai tahap yang mereka harapkan. Kedua, bagaimana Anda melayani mereka; bagaimana Anda menghormati hak mereka sebagai pelanggan, mementingkan keinginan mereka, membuat mereka merasa diperlukan, mengutamakan saran dan kritikan yang diberikan. Semua hal yang kedua ini sesungguhnya adalah dari sisi bagaimana Anda menjaga emosional mereka. Dari kajian menunjukkan bahwa dalam membuat keputusan pembelian, pengaruh emosi enam kali lebih tinggi berbanding pemikiran rasional.

Ini sesungguhnya sangat disadari oleh kebanyakan perusahaan karena itu mereka membelanjakan miliaran rupiah setiap tahun untuk memberikan pelatihan customer service excellence kepada para karyawan.  Para karyawan terutama yang berinteraksi langsung dengan pelanggan diberi training kecerdasan EQ seperti teknik membina hubungan dengan cepat, strategi membina kepercayaan, komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesanan, metode membaca keinginan pelanggan, teknik mendengar dengan empati dan sebagainya. Bahkan bukan itu saja, perusahaan juga memperkenalkan berbagai konsep untuk membentuk budaya melayani dengan kualitas.  Di antaranya konsep Total Quality Management yang diambil dari kajian kesuksesan perusahaan-perusahaan di Jepang dan kemudian dibawa ke seluruh dunia.

Tujuan akhir dari TQM adalah untuk menyenangkan pelanggan. Memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan pelanggan berarti perubahan penekanan dari jangka pendek ke jangka panjang dan dari produk kepada mendengarkan pelanggan, beradaptasi pada kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Namun tetap hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Customer Satisfaction TQM tetap gagal karena dikritik oleh para karyawan terutama di barat yang merasa semua perubahan itu dipaksakan kepada mereka hanya untuk keuntungan dan manfaat perusahaan semata. Setelah beberapa bulan dilatih dengan berbagai keterampilan, karyawan kembali kepada sikap lama. Objektif untuk mencapai service excellence akhirnya gagal. Sikap yang ingin diubah kembali ke asal. Ini sangat mengecewakan. Menurut Stephanie Lai, seorang trainer professional dan coach yang sukses di bidang service, "Excellence is an attitude". Apa yang membedakan perusahaan-perusahan yang mempunyai nama di peringkat dunia seperti Hilton, American Express, Singapore Airline dari perusahaan yang biasa-biasa adalah attitude para karyawan mereka terhadap service. Service excellence adalah hasil dari attitude yang ditunjukkan dari setiap departemen dan setiap orang di perusahaan. Tidak peduli apakah ia seorang kasir, disain grafis, administrasi, manajer hingga CEO. Attitude mereka terhadap service telah berkembang menjadi budaya perusahaan akan memberi pengaruh terhadap brand perusahaan secara keseluruhan. Persoalannya sekarang, bagaimana menyiapkan para karyawan dengan attitude yang benar sehingga mereka mau menggunakan semua pengetahuan dan keterampilan itu untuk membangun dan menjaga brand perusahaan? Sehingga diawasi atau tidak, mereka bersikap sama. Tanpa dimonitor, kualitas pelayanan yang diberikan kepada internal atau external customer adalah sama. Sesungguhnya kita sering bicara soal bagaimana membahagiakan pelanggan. Memberikan pelayanan yang excellent kepada para customer. Namun sesungguhnya hal itu tidak akan berhasil atau bertahan lama jika yang memberikan pelayanan itu sendiri tidak bahagia dalam melakukan pekerjaan itu. Ia sama seperti penerangan yang sering diberikan di dalam pesawat komersil sebelum tinggal landas: “Please secure your oxygen mask before assisting other passengers.”Jika para karyawan kita sendiri tidak mampu merasa bahagia melayani, bagaimana kita mampu mengharapkan mereka bisa melayani para pelanggan sehingga pelanggan bahagia dan setia? Para karyawan Anda sesungguhnya aset yang paling berharga dan merupakan duta perusahaan pada para pelanggan dan potensi pelanggan Anda. Berikan mereka makna melayani sehingga nilai itu hadir dari hati mereka. Sesungguhnya tidak cukup hanya kecerdasan emosi mereka kuasai. Mereka memerlukan kecerdasan spiritual sebagai  "engine" untuk mampu melayani dari hati. Seperti kata para ahli, belilah hati mereka dahulu maka tangan dan kaki mereka akan bekerja seperti yang diharapkan. Beri mereka makna melayani, mengapa mereka perlu melakukannya dan apa manfaat untuk diri mereka sendiri . Hasilnya, Anda akan lihat mereka bekerja dan melayani bukan untuk Anda lagi tetapi dari hati untuk perkembangan dan pembangunan diri mereka sendiri. Service from the heart akan menyatukan perusahaan, karyawan, dan pelanggan. Anda akan melihat para karyawan sebagai duta perusahaan yang membawa nilai-nilai yang dicari pelanggan.

*Founder ESQ

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun