Maka memeriksa agama secara serius butuh keberanian, keterbukaan serta kerendahan hati pada perubahan. Dua surat wasiat yang ditinggal menunjukkan kesalehan religious itu, bahwa para pelaku tumbuh dalam suasana masyarakat Indonesia yang memang religious. Di awal surat baik dari Muh Lukman Alfariz pelaku bom bunuh diri Makasar atau Zakiah Aini pelaku penembakan di Mabes Polri mengawali dengan kata-kata yang sama. Kata-kata itu berbunyi “Wasiat kepada orang yang saya cintai karena Allah”. Dilanjutkan dengan permohonan maaf kepada keluarga dan nasihat menjalankan hidup seturut ajaran agama. "Senantiasa beribadah kepada Allah dan jangan tinggalkan sholat". Wasiat ini semakin konkret sampai pada urusan ekonomi, perihal meminjam uang, perihal pemilu. Di bagian ini dapat kita temukan resiko persinggungan antara ruang publik dan agama.
Ketiga, Pasca teks sebagaimana pra-teks adalah teks demikian juga pasca teks sejatinya adalah teks. Bila tindakan bom bunuh diri atau penyerangan menjadi sebuah teks maka kita perlu memeriksa berbagai narasi agama di ruang publik. Sebuah pemikiran termasuk pemikiran religious tak lahir di ruang kosong. Ia lahir dari konteks yaitu pembicara, isi pembicara, dan pendengar, ini merupakan syarat sebuah diskursus. Agama di ruang publik sebagai diskursus harus menjadi sebuah diskursus dengan memakai istilah Jurgen Habermas, sebuah diskursus rasional dan bebas dari tekanan apapun. Dan jalan ini perlu kita tempuh dengan keberanian sebagaimana telah dimulai para pendiri bangsa Indonesia sejak 1928 dalam Sumpah pemuda dan ketika 1945 dalam sidang-sidang BPUPK (Dokurito Zyunbi Tyoosakai). Bila kita kehilangan arah, memang kita perlu melihat kembali kepada spirit awal kita, bukan untuk bernostalgia tentang masa lalu tetapi untuk menatap masa depan yang lebih baik. Kita perlu menimba spirit negeri ini yang telah dimulai dengan sangat baik oleh para pendiri bangsa ini. (Andreas Doweng Bolo)