Mohon tunggu...
RORO ARUM SRI WIKARTI
RORO ARUM SRI WIKARTI Mohon Tunggu... -

Sanguinis-Melankolis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3rd Jepara Workcamp 2015: Bersatu dalam Perbedaan, Wujudkan Kebersamaan

10 Februari 2015   05:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:31 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Selalu ada jalan untuk pulang”

Mungkin kalimat itu yang dapat menggambarkan perjalanan saya di awal tahun 2015. Untuk kedua kalinya menjamahi sebuah desa yang sudah saya anggap seperti kampung halaman sendiri. Berhubung saya sudah tidak memiliki kampung halaman. Sembilan belas tahun menetap di pinggiran hiruk-pikuk kota metropolitan, terkadang membuat saya jenuh. Namun di desa ini, saya selalu menikmati setiap detiknya. Begitu betah. Begitu nyaman.

What is Workcamp?

Awal tahun 2015 saya kembali memutuskan untuk mengikuti kegiatan Jepara Workcamp sebagai volunteer. Awal tahun lalu merupakan kali pertama saya mengikuti Workcamp. Bulan Agustus 2014 saya mengikuti Workcamp di desa Nganget, Tuban, Jawa Timur yang diikuti juga oleh beberapa mahasiswa dari Jepang serta beberapa mahasiswa dari Indonesia. Namun saya diamatkan untuk menjadi Project Team dari kegiatan tersebut. Itu berarti, Jepara Workcamp 2015 merupakan Workcamp ke-3 saya.

Workcamp merupakan kegiatan yang diadakan oleh LCC (Leprosy Care Community) Universitas Indonesia. LCC UI merupakan komunitas sosial yang fokus terhadap stigma dan diskriminasi orang-orang yang pernah mengalami kusta. LCC UI memiliki pengurus yang seluruhnya merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Saya sendiri merupakan salah satu pengurus LCC UI tahun 2014. Meskipun begitu, LCC UI juga bekerja sama dengan UNDIP dan UNAIR.

Logo LCC UI

Jepara Workcamp 2015 adalah kegiatan yang ke-3 kalinya dilaksanakan oleh LCC UI, tidak hanya UI, UNDIP, dan UNAIR saja yang dapat mengikuti kegiatan ini, namun Universitas lain yang ada di Indonesia juga diperbolehkan untuk ikut. Para volunteers, sebelumnya menjalani 2 tahap seleksi, yaitu yang pertama seleksi berkas serta esai, dan yang kedua seleksi wawancara.

Kegiatan ini terdiri dari kegiatan Home Visit ke koloni orang-orang yang pernah mengalami kusta, Work Project memperbaiki fasilitas-fasilitas warga yang rusak, Education Program untuk anak-anak di sana. Para volunteer selama kurang lebih 2 minggu tinggal di dalam basecamp. Selama kurang lebih 2 mingu, volunteer memasak segala keperluan untuk makan sendiri di dapur yang disediakan di dalam basecamp.

Where are you going?

“Setiap tempat memiliki cerita”

Jepara Workcamp dilaksanakan di koloni orang-orang yang yang pernah mengalami kusta. Tepatnya di desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Donorojo berasal dari dua suku kata, yaitu Dono yang berarti ‘dana’ dalam bahasa Jawa dan ‘Rojo’ yang berarti raja. Dulunya Donorojo ini merupakan daerah pemberian dari raja Portugis yang peduli dengan para penderita penyakit kusta di daerah Hindia Belanda khususnya di pulau Jawa. Maka dari itu, desa tersebut dinamakan Donorojo.

Tak banyak masyarakat Jawa Tengah yang mengetahui tentang keberadaan desa tersebut. Saya sempat bertemu dengan ibu-ibu di sebuah rumah makan dekat stasiun Semarang Poncol.

“Neng, mau ke mana? Mau ke Karimunjawa ya?” tanyanya dengan logat sedikit medok.

“Enggak bu. Mau ke Donorojo, sama teman-teman,” jawab saya seraya tersenyum.

“Oh, mau ke Jawa Timur ya? Ada yang jemput ya neng?” tanya ibu itu lagi.

Kalaulagi di dalam komik, mungkin di atas kepala saya sudah dipenuhi tanda tanya. Donorojo di Jawa Timur? Hahaha.

“Donorojo itu di Jawa Tengah, ibu. Daerahnya dekat benteng Portugis. Di sana dekat rumah orang-orang yang pernah mengalami kusta. Saya mau ada kegiatan sosial,” jawab saya.

Ibu itu sepertinya sedikit tidak mempercayai omongangan saya. Ia langsung bertanya pada temannya tentang kebenaran tempat tersebut. Tapi, sepertinya temannya pun tidak mengetahuinya. Tidak memperpanjang lagi, si ibu akhirnya mendoakan saya agar hati-hati di jalan dan selamat sampai tujuan.

Huf. Sudahlah.

Desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, berada di belakang bukit dan di pinggiran Pantai Keling.

Bukit yang terlihat dari desa.

Pantai Keling, pantai dengan pasir coklat. Sayang, musim hujan hujan membuat air laut menjadi butek seperti air kali.

Bintang laut di pinggiran pantai Keling, Jepara, Jawa Tengah.

Transportasi umum tidak ada ke desa yang terpelosok ini. Namun, kami difasilitasi beberapa mobil dan mobil jenazah dari Rumah Sakit Kusta, Donorojo.

Rumah Sakit Kusta Donorojo, Jepara Jawa Tengah.

Untuk menuju beberapa fasilitas umum seperti pasar, harus menempuh ±5-6 km. Desa Banyumanis memiliki 3 area utama, yaitu Rumah Sakit Donorojo dan perumahan pegawai yang terdapat di depan Rumah Sakit (ssst...mayoritas pegawai Rumah Sakit beragama non-muslim, sepanjang rumah pegawai terdapat satu ajing yang mendiami masing-masing rumah. Tahun lalu saya dan teman-teman pernah di kepung oleh beberapa anjing setelah magrib. That was a horrible moment), desa rehabilitasi yang dikelola Rumah Sakit Kusta Donorojo, dan areaLiposos (Lingkungan Pondok Sosial) yang dikelola oleh Dinas Sosial.

Pelangi yang terlihat dari area Liposos.

Welcome to the Basecamp....

Basecamp dan saya (abaikan muka saya).

Basecamp yang terlihat dari bawah.

Dari tanggal 15 Januari – 28 Januari 2015, para volunteer tinggal di guest house atau yang biasa kami sebut basecamp. Basecamp di Jepara Workcamp merupakan basecamp yang sangat amat nyaman. Karena di sini, workcamp serasa liburan. Bayangkan, dari pintu depan saya bisa melihat pemandangan Pantai Keling, dengan rerumputan nan hijau, domba-domba yang berkeliaran, serta Pulau Mandalika.

Pulau Mandalika, rumput hijau, dan laut biru dari depan basecamp.

Yap, Pulau yang ‘katanya’ berpasir putih tersebut dapat terlihat dari desa Banyumanis. Menurut penuturan warga, Pulau Mandalika tak berpenghuni, namun di sana terdapat mercusuar yang dijaga oleh 3 orang karyawan. Perahu dari pinggir pantai Keling bisa mengantarkan warga atau wisatawan yang ingin pergi ke Pulau tersebut dengan harga kisaran Rp 5.000 – Rp 10.000, sayangnya dua kali ke sana, dua kali pula saya tidak pernah bisa ke Pulau Mandalika.

Guamanik pecatu park merupakan fasilitas yang dikelola oleh Rumah Sakit Kusta Donorojo. Tidak hanya basecamp yang saya singgahi, namun ada 2 guest house lagi yang berukuran lebih kecil. Di sekitar Pantai Keling, juga terdapat villa-villa yang memang disediakan untuk berwisata.

Guamanik Pecatu Park

Guamanik memang tempat wisata. Konon Guamanik merupakan sebuah Goa yang dijaga oleh arwah-arwah raja zaman dahulu (kalau tidak salah ingat). Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat goa tersebut.

Pulau Mandalika yang terlihat dari tempat yang ‘katanya’ terdapat goa.

Ada beberapa cerita misteri sekaligus mengerikan di daerah basecamp yang saya singgahi. Beruntungnya, cerita tersebut terkuak saat perjalanan pulang.

Di dekat Pantai Keling juga terdapat Benteng Portugis, namun saya tidak pernah mampir ke sana. Saya hanya sempat foto-foto di pinggir Pantai dekat Benteng Portugis dan Gerbang Benteng Portugis.

Foto di dekat gerbang benteng Portugis (bukan benteng Portugis).

Home Visit

Kegiatan mengunjungi warga desa Banyumanis dilakukan secara per kelompok. Orang-orang yang pernah mengalami kusta jarang bertemu dengan keluarganya. Bahkan ada beberapa warga yang sudah tidak pernah sama sekali bertemu dengan satu pun sanak keluarga. Jangankan orang yang pernah mengalami, orang yang sedang mengalaminya pun juga begitu. Mereka diasingkan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak jarang diantara mereka mendapat cemoohan dan perilaku yang kurang nyaman. Di samping itu orang-orang yang pernah mengalami kusta dengan disabilitas terkadang merasa minder dengan masyarakat. Sehingga mereka jarang berkomunikasi dengan masyarakat.

Aku bersama mbah Karti, pasien inventaris RS Kusta Donorojo yang kini bekerja sebagai karyawan RS tersebut.

Orang-orang yang pernah mengalami kusta pada akhirnya lebih memilih tinggal di daerah koloni orang yang pernah mengalami kusta. Selain diberikan tanah untuk dikelola sendiri, hewan ternak, serta beras, mereka juga hidup bermasyarakat dengan mereka yang senasib. Dengan kata lain, mereka tidak perlu merasa minder, toh, semua warga sama-sama juga pernah mengalami kusta. Pemikiran yang seperti itu yang membuat warga desa Donorojo merasa lebih nyaman tinggal di sana ketimbang kembali ke sanak keluarganya.

Aku (sebelah kanan), kak Naini, pak Kemat (warga Liposos), Clara, dan kak Yudi

Hal itu yang membuat mereka jarang berkomunikasi dengan lingkungan luar. Dengan diadakannya kegiatan home visit, diharapkan warga dapat berkomunikasi dan berbagi cerita dengan para volunteer. Mayoritas warga Liposos dan desa rehabilitasi ataupun pasien inventaris RS Kusta Donorojo yang didatangi mengaku senang dengan kedatangan para volunteer. Banyak yangmenceritakan pengalaman hidup termasuk tindakan kasar dari masyarakat yang pernah mereka alami.

Aku (sebelah kiri), bu Saodah (warga desa rehabilitasi), Clara, pak Mustofa (suami bu Saodah), dan kak Naini.

Dahulu kusta dianggap sebagai penyakit kutukan. Meski di zaman sekarang pandangan masyarakat terhadap orang yang mengalami kusta sudah lebih baik daripada zaman dahulu, namun terkadang masih saja terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang yang pernah mengalami kusta. Tindakan itu semua sejatinya masih termasuk ke dalam pelanggaran HAM. Penderita atau orang yang pernah mengalami kusta mempunya hak yang sama untuk hidup bebas. Mereka sama-sama memiliki HAK untuk berprestasi dan menjadi manusia yang bermakna.

Pasien penderita kusta dan orang yang pernah mengalami kusta hanya ingin didengarkan ceritanya dan diperlakukan sama seperti kita. Ayo, jangan ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap mereka.

Info tentang kusta dapat dilihat di: http://penyakitkusta.com/

Work Project

Fasilitas yang biasa dipakai oleh warga terkadang sudah ada yang rusak, pada akhirnya menghambat warga dalam kegiatan sehari-hari. Work Project tahun ini lebih kepada memperbaiki saluran air. Biasanya saat melakukan kegiatan ini beberapa warga juga turut membantu. Tidak jarang para volunteer diberikan makanan dan minuman, ataupun kelapa muda gratis yang diambil secara langsung dari pohonnya.

Work Project dilakukan oleh volunteer pria maupun perempuan.

Pesta degan (kelapa muda) setelah work.

Education Program

“Children make you want to start life over.” - Muhammad Ali

Education Program 1

Seneng bukan kalau kalian bisa mengajarkan dan bermain dengan anak-anak yang hidupnya seperti tidak punya beban? Di workcamp ini, saya dan para volunteer lain diajak untuk mengajar dan menemani anak-anak desa Banyumanis bermain. Asik bukan? Mengajarkan mereka 7 langkah cuci tangan, mengajak mereka beragam macam tepuk, tepuk superman lah, tepuk ikan kembung, dan lain sebagainya. Di sini kami juga menemani mereka menggambar cita-cita dan membuat kerajinan tangan. Sehabis kegiatan ini biasanya anak-anak diberikan beberapa makanan ringan dan jelly, Yummy!

“Abis gambar cita-cita peace dulu yuk, Rum”

World Leprosy Care Day Celebration and Farewell Party

Leprosy Day Camp bersama LCC J

Perayaan Hari Kusta Sedunia yang ke-63 cukup meriah. Pasalnya, para volunteer Jepara Workcamp tahun ini diajak memeriahkan acara tersebut di Rumah Sakit dr. Rehatta, Kelet, Jepara, Jawa Tengah. Rumah sakit yang cukup besar dilengkapi dengan hotel dan tempat wisata. Di sana juga ada fasilitas outbound. Beberapa kali pasien kusta di RS Kusta Donorojo dipindahkan di RS ini.

Kampoeng Rehatta.

Kampoeng dr. Rehatta benar-benar terlihat menakjubkan karena dikelola oleh pihak rumah sakit. Entahlah, saya sendiri kurang tahu untuk apa fasilitas seperti itu diadakan di lingkugan rumah sakit. Mungkin ditujukan untuk pengembangan fasilitas RS dr. Rehatta serta peningkatan pelayanan pada pasien di RS tersebut.

Tenda-tenda imut.

Di sana para volunteer awalnya diajak untuk berkemah di tenda. Saya merasa sangat bersemangat karena merasa seperti mengenang masa SMP. Malam harinya, para volunteer menampilkan tarian pengiring bersama ibu Nur Juariyah dengan lagu Sakitnya tuh di sini dan lagu Alamat Palsu, menyanyikan lagu medley, dan menari tarian Fortune Cookies a la JKT 48. Sebenarnya ada wacana bahwa bapak Wakil Gubernur Jawa Tengah akan hadir, namun karena satu dan lain hal beliau berhalangan hadir.

Panggung perayaan World Leprosy Care Day 2015.

Karena hujan yang cukup lama, akhirnya para volunteer tidak jadi berkemah di tenda, tetapi menginap di guest house yang bernuansa spa Bali. Tempatnya cukup nyaman untuk berlibur bersama keluarga (ini kenapa jadi promosi). Tapi di guest house yang saya tempati, di bagian kamar mandinya ada sarang lebah madu yang menurut saya sengaja dipelihara. Saya berasumsi seperti itu karena sarang lebah tersebut terbuat dari plastik, layaknya buatan manusia.

Keesokan harinya, di pagi hari yang cerah, paravolunteer diajak untuk mengikuti kelas yoga gratis. Namaste!

Kelas Yoga gratis. Hmm.. Namaste!

Saat berada di Kampoeng Rehatta volunteers mendapatkan 3 kali makan gratis yang cukup lezat dan mewah menurut saya, apabila dibandingkan dengan makanan-makanan di basecamp. Hihihi.

Kemudian saya dan para volunteer juga mengadakan peringatan Hari Kusta Sedunia di desa Banyumanis dengan mengadakan lomba untuk warga. Ada lomba cantol topi, lomba memindahkan air, dsb untuk anak-anak. Lomba voli untuk bapak-bapak, serta lomba make-up dengan mata tertutup untuk ibu-ibu. Pemenang lomba diumumkan pada acara puncak, yaitu Farewell Party, semacam acara perpisahan.

Lomba cantol topi.

Saya cukup terkejut dengan panggung yang cukup besar pada saat kegiatan Farewell Party tahun ini.

Menari Sirih Kuning. Saya memakai selendang ungu.

Pada kegiatan perpisahan yang diselimuti dengan haru, kami menampilkan beberapa penampilan seperti sinden dan tarian Sirih Kuning. Di acaraini juga ada penerbangan lampion lho. Lampion tersebut dituliskan harapan-harapan para warga dan volunteers.

Penerbangan lampion harapan.

Gallery

Kak Riki (kiri), kak Yuli (tengah), dan kak Yudi (kanan) bersama pak Slamet yang jago menyanyi dan adzan

“Li..li..li hat kecoa, bergerak-gerak, geliii”

Pasien Kusta RS Kusta Donorojo.

Tas daur ulang hasil buatan warga.

Tulisan di lemari salah satu pasien inventaris RS Kusta Donorojo L

Sangkar burung, salah satu hasil kerajinan tangan oleh warga.

Kayu-kayu ukir buatan warga.

Gerja tua samping RS Kusta Donorojo.

Pantainya butek bikin galau L

Cover handbook volunteers yang ada wajah sayanya, cikikik

Bersama pak Kunto, Direktur RS dr. Rehatta

Bersama seluruh volunteer JWC 3.

Sekian cerita pengalaman saya kali ini semoga bermanfaat.

3rd Jepara Workcamp 2015: Bersatu dalam Perbedaan, Wujudkan Kebersamaan

“Selalu ada jalan untuk pulang”

Mungkin kalimat itu yang dapat menggambarkan perjalanan saya di awal tahun 2015. Untuk kedua kalinya menjamahi sebuah desa yang sudah saya anggap seperti kampung halaman sendiri. Berhubung saya sudah tidak memiliki kampung halaman. Sembilan belas tahun menetap di pinggiran hiruk-pikuk kota metropolitan, terkadang membuat saya jenuh. Namun di desa ini, saya selalu menikmati setiap detiknya. Begitu betah. Begitu nyaman.

What is Workcamp?

Awal tahun 2015 saya kembali memutuskan untuk mengikuti kegiatan Jepara Workcamp sebagai volunteer. Awal tahun lalu merupakan kali pertama saya mengikuti Workcamp. Bulan Agustus 2014 saya mengikuti Workcamp di desa Nganget, Tuban, Jawa Timur yang diikuti juga oleh beberapa mahasiswa dari Jepang serta beberapa mahasiswa dari Indonesia. Namun saya diamatkan untuk menjadi Project Team dari kegiatan tersebut. Itu berarti, Jepara Workcamp 2015 merupakan Workcamp ke-3 saya.

Workcamp merupakan kegiatan yang diadakan oleh LCC (Leprosy Care Community) Universitas Indonesia. LCC UI merupakan komunitas sosial yang fokus terhadap stigma dan diskriminasi orang-orang yang pernah mengalami kusta. LCC UI memiliki pengurus yang seluruhnya merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Saya sendiri merupakan salah satu pengurus LCC UI tahun 2014. Meskipun begitu, LCC UI juga bekerja sama dengan UNDIP dan UNAIR.

Logo LCC UI

Jepara Workcamp 2015 adalah kegiatan yang ke-3 kalinya dilaksanakan oleh LCC UI, tidak hanya UI, UNDIP, dan UNAIR saja yang dapat mengikuti kegiatan ini, namun Universitas lain yang ada di Indonesia juga diperbolehkan untuk ikut. Para volunteers, sebelumnya menjalani 2 tahap seleksi, yaitu yang pertama seleksi berkas serta esai, dan yang kedua seleksi wawancara.

Kegiatan ini terdiri dari kegiatan Home Visit ke koloni orang-orang yang pernah mengalami kusta, Work Project memperbaiki fasilitas-fasilitas warga yang rusak, Education Program untuk anak-anak di sana. Para volunteer selama kurang lebih 2 minggu tinggal di dalam basecamp. Selama kurang lebih 2 mingu, volunteer memasak segala keperluan untuk makan sendiri di dapur yang disediakan di dalam basecamp.

Where are you going?

“Setiap tempat memiliki cerita”

Jepara Workcamp dilaksanakan di koloni orang-orang yang yang pernah mengalami kusta. Tepatnya di desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Donorojo berasal dari dua suku kata, yaitu Dono yang berarti ‘dana’ dalam bahasa Jawa dan ‘Rojo’ yang berarti raja. Dulunya Donorojo ini merupakan daerah pemberian dari raja Portugis yang peduli dengan para penderita penyakit kusta di daerah Hindia Belanda khususnya di pulau Jawa. Maka dari itu, desa tersebut dinamakan Donorojo.

Tak banyak masyarakat Jawa Tengah yang mengetahui tentang keberadaan desa tersebut. Saya sempat bertemu dengan ibu-ibu di sebuah rumah makan dekat stasiun Semarang Poncol.

“Neng, mau ke mana? Mau ke Karimunjawa ya?” tanyanya dengan logat sedikit medok.

“Enggak bu. Mau ke Donorojo, sama teman-teman,” jawab saya seraya tersenyum.

“Oh, mau ke Jawa Timur ya? Ada yang jemput ya neng?” tanya ibu itu lagi.

Kalaulagi di dalam komik, mungkin di atas kepala saya sudah dipenuhi tanda tanya. Donorojo di Jawa Timur? Hahaha.

“Donorojo itu di Jawa Tengah, ibu. Daerahnya dekat benteng Portugis. Di sana dekat rumah orang-orang yang pernah mengalami kusta. Saya mau ada kegiatan sosial,” jawab saya.

Ibu itu sepertinya sedikit tidak mempercayai omongangan saya. Ia langsung bertanya pada temannya tentang kebenaran tempat tersebut. Tapi, sepertinya temannya pun tidak mengetahuinya. Tidak memperpanjang lagi, si ibu akhirnya mendoakan saya agar hati-hati di jalan dan selamat sampai tujuan.

Huf. Sudahlah.

Desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, berada di belakang bukit dan di pinggiran Pantai Keling.

Bukit yang terlihat dari desa.

Pantai Keling, pantai dengan pasir coklat. Sayang, musim hujan hujan membuat air laut menjadi butek seperti air kali.

Bintang laut di pinggiran pantai Keling, Jepara, Jawa Tengah.

Transportasi umum tidak ada ke desa yang terpelosok ini. Namun, kami difasilitasi beberapa mobil dan mobil jenazah dari Rumah Sakit Kusta, Donorojo.

Rumah Sakit Kusta Donorojo, Jepara Jawa Tengah.

Untuk menuju beberapa fasilitas umum seperti pasar, harus menempuh ±5-6 km. Desa Banyumanis memiliki 3 area utama, yaitu Rumah Sakit Donorojo dan perumahan pegawai yang terdapat di depan Rumah Sakit (ssst...mayoritas pegawai Rumah Sakit beragama non-muslim, sepanjang rumah pegawai terdapat satu ajing yang mendiami masing-masing rumah. Tahun lalu saya dan teman-teman pernah di kepung oleh beberapa anjing setelah magrib. That was a horrible moment), desa rehabilitasi yang dikelola Rumah Sakit Kusta Donorojo, dan areaLiposos (Lingkungan Pondok Sosial) yang dikelola oleh Dinas Sosial.

Pelangi yang terlihat dari area Liposos.

Welcome to the Basecamp....

Basecamp dan saya (abaikan muka saya).

Basecamp yang terlihat dari bawah.

Dari tanggal 15 Januari – 28 Januari 2015, para volunteer tinggal di guest house atau yang biasa kami sebut basecamp. Basecamp di Jepara Workcamp merupakan basecamp yang sangat amat nyaman. Karena di sini, workcamp serasa liburan. Bayangkan, dari pintu depan saya bisa melihat pemandangan Pantai Keling, dengan rerumputan nan hijau, domba-domba yang berkeliaran, serta Pulau Mandalika.

Pulau Mandalika, rumput hijau, dan laut biru dari depan basecamp.

Yap, Pulau yang ‘katanya’ berpasir putih tersebut dapat terlihat dari desa Banyumanis. Menurut penuturan warga, Pulau Mandalika tak berpenghuni, namun di sana terdapat mercusuar yang dijaga oleh 3 orang karyawan. Perahu dari pinggir pantai Keling bisa mengantarkan warga atau wisatawan yang ingin pergi ke Pulau tersebut dengan harga kisaran Rp 5.000 – Rp 10.000, sayangnya dua kali ke sana, dua kali pula saya tidak pernah bisa ke Pulau Mandalika.

Guamanik pecatu park merupakan fasilitas yang dikelola oleh Rumah Sakit Kusta Donorojo. Tidak hanya basecamp yang saya singgahi, namun ada 2 guest house lagi yang berukuran lebih kecil. Di sekitar Pantai Keling, juga terdapat villa-villa yang memang disediakan untuk berwisata.

Guamanik Pecatu Park

Guamanik memang tempat wisata. Konon Guamanik merupakan sebuah Goa yang dijaga oleh arwah-arwah raja zaman dahulu (kalau tidak salah ingat). Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat goa tersebut.

Pulau Mandalika yang terlihat dari tempat yang ‘katanya’ terdapat goa.

Ada beberapa cerita misteri sekaligus mengerikan di daerah basecamp yang saya singgahi. Beruntungnya, cerita tersebut terkuak saat perjalanan pulang.

Di dekat Pantai Keling juga terdapat Benteng Portugis, namun saya tidak pernah mampir ke sana. Saya hanya sempat foto-foto di pinggir Pantai dekat Benteng Portugis dan Gerbang Benteng Portugis.

Foto di dekat gerbang benteng Portugis (bukan benteng Portugis).

Home Visit

Kegiatan mengunjungi warga desa Banyumanis dilakukan secara per kelompok. Orang-orang yang pernah mengalami kusta jarang bertemu dengan keluarganya. Bahkan ada beberapa warga yang sudah tidak pernah sama sekali bertemu dengan satu pun sanak keluarga. Jangankan orang yang pernah mengalami, orang yang sedang mengalaminya pun juga begitu. Mereka diasingkan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak jarang diantara mereka mendapat cemoohan dan perilaku yang kurang nyaman. Di samping itu orang-orang yang pernah mengalami kusta dengan disabilitas terkadang merasa minder dengan masyarakat. Sehingga mereka jarang berkomunikasi dengan masyarakat.

Aku bersama mbah Karti, pasien inventaris RS Kusta Donorojo yang kini bekerja sebagai karyawan RS tersebut.

Orang-orang yang pernah mengalami kusta pada akhirnya lebih memilih tinggal di daerah koloni orang yang pernah mengalami kusta. Selain diberikan tanah untuk dikelola sendiri, hewan ternak, serta beras, mereka juga hidup bermasyarakat dengan mereka yang senasib. Dengan kata lain, mereka tidak perlu merasa minder, toh, semua warga sama-sama juga pernah mengalami kusta. Pemikiran yang seperti itu yang membuat warga desa Donorojo merasa lebih nyaman tinggal di sana ketimbang kembali ke sanak keluarganya.

Aku (sebelah kanan), kak Naini, pak Kemat (warga Liposos), Clara, dan kak Yudi

Hal itu yang membuat mereka jarang berkomunikasi dengan lingkungan luar. Dengan diadakannya kegiatan home visit, diharapkan warga dapat berkomunikasi dan berbagi cerita dengan para volunteer. Mayoritas warga Liposos dan desa rehabilitasi ataupun pasien inventaris RS Kusta Donorojo yang didatangi mengaku senang dengan kedatangan para volunteer. Banyak yangmenceritakan pengalaman hidup termasuk tindakan kasar dari masyarakat yang pernah mereka alami.

Aku (sebelah kiri), bu Saodah (warga desa rehabilitasi), Clara, pak Mustofa (suami bu Saodah), dan kak Naini.

Dahulu kusta dianggap sebagai penyakit kutukan. Meski di zaman sekarang pandangan masyarakat terhadap orang yang mengalami kusta sudah lebih baik daripada zaman dahulu, namun terkadang masih saja terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang yang pernah mengalami kusta. Tindakan itu semua sejatinya masih termasuk ke dalam pelanggaran HAM. Penderita atau orang yang pernah mengalami kusta mempunya hak yang sama untuk hidup bebas. Mereka sama-sama memiliki HAK untuk berprestasi dan menjadi manusia yang bermakna.

Pasien penderita kusta dan orang yang pernah mengalami kusta hanya ingin didengarkan ceritanya dan diperlakukan sama seperti kita. Ayo, jangan ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap mereka.

Info tentang kusta dapat dilihat di: http://penyakitkusta.com/

Work Project

Fasilitas yang biasa dipakai oleh warga terkadang sudah ada yang rusak, pada akhirnya menghambat warga dalam kegiatan sehari-hari. Work Project tahun ini lebih kepada memperbaiki saluran air. Biasanya saat melakukan kegiatan ini beberapa warga juga turut membantu. Tidak jarang para volunteer diberikan makanan dan minuman, ataupun kelapa muda gratis yang diambil secara langsung dari pohonnya.

Work Project dilakukan oleh volunteer pria maupun perempuan.

Pesta degan (kelapa muda) setelah work.

Education Program

“Children make you want to start life over.” - Muhammad Ali

Education Program 1

Seneng bukan kalau kalian bisa mengajarkan dan bermain dengan anak-anak yang hidupnya seperti tidak punya beban? Di workcamp ini, saya dan para volunteer lain diajak untuk mengajar dan menemani anak-anak desa Banyumanis bermain. Asik bukan? Mengajarkan mereka 7 langkah cuci tangan, mengajak mereka beragam macam tepuk, tepuk superman lah, tepuk ikan kembung, dan lain sebagainya. Di sini kami juga menemani mereka menggambar cita-cita dan membuat kerajinan tangan. Sehabis kegiatan ini biasanya anak-anak diberikan beberapa makanan ringan dan jelly, Yummy!

“Abis gambar cita-cita peace dulu yuk, Rum”

World Leprosy Care Day Celebration and Farewell Party

Leprosy Day Camp bersama LCC J

Perayaan Hari Kusta Sedunia yang ke-63 cukup meriah. Pasalnya, para volunteer Jepara Workcamp tahun ini diajak memeriahkan acara tersebut di Rumah Sakit dr. Rehatta, Kelet, Jepara, Jawa Tengah. Rumah sakit yang cukup besar dilengkapi dengan hotel dan tempat wisata. Di sana juga ada fasilitas outbound. Beberapa kali pasien kusta di RS Kusta Donorojo dipindahkan di RS ini.

Kampoeng Rehatta.

Kampoeng dr. Rehatta benar-benar terlihat menakjubkan karena dikelola oleh pihak rumah sakit. Entahlah, saya sendiri kurang tahu untuk apa fasilitas seperti itu diadakan di lingkugan rumah sakit. Mungkin ditujukan untuk pengembangan fasilitas RS dr. Rehatta serta peningkatan pelayanan pada pasien di RS tersebut.

Tenda-tenda imut.

Di sana para volunteer awalnya diajak untuk berkemah di tenda. Saya merasa sangat bersemangat karena merasa seperti mengenang masa SMP. Malam harinya, para volunteer menampilkan tarian pengiring bersama ibu Nur Juariyah dengan lagu Sakitnya tuh di sini dan lagu Alamat Palsu, menyanyikan lagu medley, dan menari tarian Fortune Cookies a la JKT 48. Sebenarnya ada wacana bahwa bapak Wakil Gubernur Jawa Tengah akan hadir, namun karena satu dan lain hal beliau berhalangan hadir.

Panggung perayaan World Leprosy Care Day 2015.

Karena hujan yang cukup lama, akhirnya para volunteer tidak jadi berkemah di tenda, tetapi menginap di guest house yang bernuansa spa Bali. Tempatnya cukup nyaman untuk berlibur bersama keluarga (ini kenapa jadi promosi). Tapi di guest house yang saya tempati, di bagian kamar mandinya ada sarang lebah madu yang menurut saya sengaja dipelihara. Saya berasumsi seperti itu karena sarang lebah tersebut terbuat dari plastik, layaknya buatan manusia.

Keesokan harinya, di pagi hari yang cerah, paravolunteer diajak untuk mengikuti kelas yoga gratis. Namaste!

Kelas Yoga gratis. Hmm.. Namaste!

Saat berada di Kampoeng Rehatta volunteers mendapatkan 3 kali makan gratis yang cukup lezat dan mewah menurut saya, apabila dibandingkan dengan makanan-makanan di basecamp. Hihihi.

Kemudian saya dan para volunteer juga mengadakan peringatan Hari Kusta Sedunia di desa Banyumanis dengan mengadakan lomba untuk warga. Ada lomba cantol topi, lomba memindahkan air, dsb untuk anak-anak. Lomba voli untuk bapak-bapak, serta lomba make-up dengan mata tertutup untuk ibu-ibu. Pemenang lomba diumumkan pada acara puncak, yaitu Farewell Party, semacam acara perpisahan.

Lomba cantol topi.

Saya cukup terkejut dengan panggung yang cukup besar pada saat kegiatan Farewell Party tahun ini.

Menari Sirih Kuning. Saya memakai selendang ungu.

Pada kegiatan perpisahan yang diselimuti dengan haru, kami menampilkan beberapa penampilan seperti sinden dan tarian Sirih Kuning. Di acaraini juga ada penerbangan lampion lho. Lampion tersebut dituliskan harapan-harapan para warga dan volunteers.

Penerbangan lampion harapan.

Gallery

Kak Riki (kiri), kak Yuli (tengah), dan kak Yudi (kanan) bersama pak Slamet yang jago menyanyi dan adzan

“Li..li..li hat kecoa, bergerak-gerak, geliii”

Pasien Kusta RS Kusta Donorojo.

Tas daur ulang hasil buatan warga.

Tulisan di lemari salah satu pasien inventaris RS Kusta Donorojo L

Sangkar burung, salah satu hasil kerajinan tangan oleh warga.

Kayu-kayu ukir buatan warga.

Gerja tua samping RS Kusta Donorojo.

Pantainya butek bikin galau L

Cover handbook volunteers yang ada wajah sayanya, cikikik

Bersama pak Kunto, Direktur RS dr. Rehatta

Bersama seluruh volunteer JWC 3.

Sekian cerita pengalaman saya kali ini semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun