Green IT: Sekedar Label atau Jalan Menuju Masa Depan?
Artikel "Governance and Management of Green IT: A Multi-Case Study" terlihat seperti upaya akademis yang mulia mendesain framework GMGIT 2.0 sebagai panduan untuk organisasi menjalankan praktik teknologi informasi yang ramah lingkungan. Ada audit, ada maturity model, ada checklist. Lengkap, rapi, dan tampaknya siap digunakan. Tapi persoalannya bukan di framework. Masalahnya: siapa yang benar-benar peduli?
Mayoritas organisasi masih sibuk mengejar efisiensi dan profit jangka pendek. Server masih menyala 24 jam, pembelian perangkat tak memperhitungkan siklus hidup karbon, dan "mematikan komputer di malam hari" sudah dianggap tindakan lingkungan yang heroik. Ironi terbesar? Salah satu organisasi peserta studi pusat keamanan siber berskala Eropa ternyata berada di maturity level 0. Nol. Sama sekali belum siap, meskipun ikut proyek ini.
Framework GMGIT memang dibuat untuk menambal lubang besar: tidak adanya standar internasional yang benar-benar fokus pada Green IT. Ia berbasis pada COBIT, namun ditambah aspek-aspek keberlanjutan. Tapi tanpa tekanan dari regulator, pelanggan, atau investor, kebanyakan organisasi tidak akan repot-repot mengukur "berapa banyak CO2 yang dikurangi" atau "berapa kilowatt listrik yang dihemat". Dan tanpa metrik, praktik Green IT hanya akan jadi proyek tempelan atau upaya kosmetik menjelang audit ISO.
Green IT terlalu sering dikerdilkan jadi strategi PR. Beli printer hemat energi, kurangi cetak dokumen, lalu pamerkan sebagai pencapaian besar dalam laporan keberlanjutan. Padahal isu ini seharusnya menyentuh lebih dalam: efisiensi pusat data, penggunaan energi terbarukan, hingga pengelolaan e-waste yang berkelanjutan. Sayangnya, artikel ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi tidak punya dokumen resmi, tidak punya strategi, bahkan tidak tahu bagaimana mengukur keberhasilan Green IT mereka.
Framework seperti GMGIT bisa sangat berguna. Tapi seperti manual mobil sport yang diberikan ke orang yang baru belajar menyetir, panduan secanggih apapun takkan berguna jika komitmen dasarnya belum ada. Terlebih jika tidak ada reward atau penalti yang nyata dari pasar.
Green IT harusnya jadi bagian dari budaya operasional organisasi, bukan sekadar jargon elitis. Tanpa kesadaran struktural dan dorongan sistemik, Green IT akan tetap menjadi "ornamen audit" ditunjukkan saat perlu, lalu dilupakan setelahnya.
Referensi :
Patn-Romero, J. D., Baldassarre, M. T., Rodrguez, M., Runeson, P., Hst, M., & Piattini, M. (2020). Governance and Management of Green IT: A Multi-Case Study. Information and Software Technology. https://doi.org/10.1016/j.infsof.2020.106414
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI