Mohon tunggu...
Arta Elisabeth
Arta Elisabeth Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Pembaca yang sedang senang-senangnya membaca dan menghayati sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Menyelamat-i/kan Natal dan Tahun Baru

30 Desember 2019   11:22 Diperbarui: 30 Desember 2019   15:27 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NAtal dan TAhun baRU (sumber: dokpri)

Akhir-akhir ini mudah menemukan "Nataru" dalam berbagai pemberitaan di media cetak maupun online nasional, juga yang ada di kota "Jogja Istimewa." Nataru yang merupakan akronim dari NAtal dan TAhun baRU tidak ada di KBBI dan tidak ada yang tahu persis kapan diksi ini mulai digunakan layaknya seperti sebuah kata baku yang disepakati.

Keajaiban kata Nataru ternyata cukup laris digunakan di banyak tempat wisata, pusat perbelanjaan, pasar, kuliner, hotel antara lain hotel Cokro yang dekat UGM dengan gambar Kembang Api berjudul "Sambut Nataru, Tjokro Style Yogyakarta Buka Promo Menarik" (Obsession news), pasar Beringharjo dengan harga telur yang melonjak naik (Kumparan), Monumen Titik Nol di ujung Malioboro dalam menyambut akhir tahun (Republika), PT KAI (Media Indonesia) dan berita lainnya.

Nataru digunakan sebagai sebuah pernyataan yang hanya mengedepankan momen libur akhir tahun. Nataru adalah siasat untuk mengingat demi melupa dua peristiwa asal muasalnya. Nataru tampaknya menjadi sebuah tanda yang memiliki kuasa menciptakan ketertarikan atau sebuah provokasi untuk mempermainkan suatu identitas massal demi kepentingan konsumsi global sekaligus mengarahkan pada sikap manusia global dengan segala konsumerismenya (Perempuan Psotkolonial dan Identitas Komoditi Global. 2001).

Bagaimana ketika ternyata arahan-arahan itu adalah demi dominasi kepentingan tertentu dalam proses globalisasi di segala bidang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat bermuara pada struktur ekonomi atau kebudayaan yang tidak adil?

Apalagi kemampuan media komunikasi massa modern dalam menawarkan makna-makna dan citra selalu saja menghasilkan yang lebih baru. Oleh karena itu, sangat memungkinkan jika fantasi tentang yang lebih baru ini akan juga menentukan - dan kemudian mengarahkan selera dan cita rasa akan semua hal sebagai komoditas belaka.

Bahkan kuasa kata Nataru yang direkayasa secara berlebihan dapat setara dengan siasat translasi (alih bahasa) dari Michel Foucault tentang pipa cangklong dalam bukunya This is Not A Pipe (1973). Foucault, melalui lukisan kanvas dari Ren1 FranJois Ghislain Magritte (1929) menjelaskan bahwa bahasa dan wacana tampaknya lebih berkuasa dibandingkan benda yang dinamai sebagai pipa cangklong tembakau atau rokok. Hal ini ingin menegaskan bahwa perlu kewaspadaan dalam menganalisa makna di balik kata-kata tentang hal dan barang (arkeologis) tertentu.

Apalagi penggunaan kata "Nataru" di berbagai media menjadi sebuah diksi yang lumrah, digunakan terus-menerus, berulang-ulang tanpa pengecualian, hingga akhirnya menjadi sebuah bahasa baku publik yang diyakini mengandung kebenaran bahwa Nataru menjadi hal wajar.

Bukankah analogi ini mirip dengan propaganda Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang terkenal dengan istilah argentum ad nausem atau teknik big lie (kebohongan besar) yang disebarkan secara terus menerus melalui media hingga menjadi sebuah "kebenaran publik." Nataru memang bukan kebohongan, namun istilah yang sama sekali tidak baku dan digunakan oleh semua media akan seolah-olah baku.

Dengan demikian Nataru menjadi sesuatu hal baru yang berkuasa;karena disematkan pada identitas yang bernuansa pemujaan komoditas dagang tertentu belaka. Akan tetapi, sebagaimana Foucault jeli memandang kenyataan di depan sepasang matanya sebuah "pipa cangklong" - tentu saja itu hanya gambar/lukisan dari sebuah benda "yang bukan pipa air."

Semoga kita juga tetap perlu jeli, waspada, ingat untuk tidak melupa, dan bersikap bahwa dibalik kumpulan enam huruf "Nataru" masih ada dua peristiwa yang patut dirayakan secara istimewa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun